Mohon tunggu...
Adhe Junaedi Sholat
Adhe Junaedi Sholat Mohon Tunggu... Buruh - Memahamimu. Memahamiku

Catatan pendek dari pikiran panjang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Setiap Tahun Ada Musim Durian, Hari Terberat Bagi Lidah yang Menolak Rasanya

23 Januari 2025   18:36 Diperbarui: 23 Januari 2025   18:36 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim durian memang selalu heboh, terutama buat orang kayak saya yang gak suka durian. Keluar rumah sekarang rasanya kayak masuk ke dunia paralel yang penuh aroma durian. Pinggir jalan? Penuh sama penjual durian yang stoknya kayak gak habis-habis, padahal buah ini ukurannya segede kepala.  

Aromanya pun menyeruak ke mana-mana, sampai-sampai angin pun seolah bersekongkol buat memastikan semua orang tahu, "Hei, musim durian tiba!" Dari warung kecil sampai emperan jalan, semua bersatu mempromosikan si "raja buah" ini. Kadang saya sampai mikir, apa musim durian itu sebenarnya konspirasi buat menguasai indra penciuman kita?  

Lucunya, penjual durian ini berjejer kayak sedang lomba. Masing-masing memamerkan durian dengan ukuran dan durasi aroma yang seakan berkata, "Beli di sini aja, durianku lebih harum!" Buat yang suka durian, ini mungkin surga. Tapi buat saya? Ya Tuhan, ini tantangan baru. Rasanya ingin buru-buru masuk rumah dan nutup semua ventilasi biar aroma itu gak ikut masuk.  

Dan yang bikin tambah "seru," di beberapa tempat bahkan sampai macet gara-gara parkir mobil yang asal-asalan, semua demi mencicipi durian di tempat. Rasanya, musim durian ini lebih heboh dari musim apapun. Kalau ditanya, kapan saya bisa menikmati musim ini? Mungkin kalau aroma dan rasa durian berubah jadi seperti semangka. Sampai saat itu tiba, saya sih mending jalan terus, tutup hidung, dan berharap musim ini cepat berlalu!

Saya ini dari dulu gak suka durian. Bukan karena baunya---itu masih bisa saya maklumi. Masalahnya ada di rasanya, yang rasanya gak cocok di lidah saya. Durian itu kayak buah yang terlalu percaya diri, penuh karakter, tapi malah bikin lidah saya bingung: ini enak, aneh, atau terlalu ribet?  

Tapi yang selalu bikin saya penasaran, kenapa cuma durian yang punya tradisi dibeli lalu dimakan di tempat? Coba pikir, kapan terakhir kali kita lihat orang beli semangka terus langsung duduk di tikar pinggir jalan, makan rame-rame? Atau beli mangga, langsung kupas di depan toko sambil ngobrol? Gak ada. Tapi kalau durian, begitu sampai di penjual, kulit dibuka, dan dagingnya langsung disantap, seolah-olah kalau dibawa pulang rasanya bakal turun kasta.  

Yang lebih nyebelin lagi, habis makan, kulit durian itu sering banget dibiarkan jadi "artefak" di pinggir jalan. Bekas-bekas durian yang setajam lidah netizen itu dibuang sembarangan, bikin pemandangan jadi gak enak. Gak ada yang mau tanggung jawab. Penjualnya? Cuek aja. Pembelinya? Udah pulang kenyang, lupa sama jejak kulinernya. Sampah durian ini jadi kayak "warisan budaya" yang gak diinginkan.  

Jadi, bukan cuma saya yang gak cocok sama rasanya, tapi lingkungan juga kayaknya gak cocok sama sampahnya. Durian memang buah yang unik, tapi kalau tradisi makannya cuma ninggalin masalah, ya saya makin yakin buat tetap di tim "tidak suka durian." Buat apa pusing dengan rasa yang ribet dan sampah yang jadi PR? Saya sih mending makan pisang---simpel, enak, dan kulitnya gampang dibuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun