Mahkamah Konstitusi menjadi titik ujung perjalanan Panjang terhadap upaya menggagalkan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai melemahkan Lembaga Antirasuah itu. Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring itu, Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan Judicial Review uji formil serta Sebagian permohonan Judicial Review uji materiil Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Perlu untuk diketahui bahwa Permohonan Judicial Review uji formil merupakan permohonan agar Mahkamah Konstitusi melakukan peninjauan terhadap prosedur proses pembentukan uu yang dianggap bertentangan dengan ketentuan yang mengatur tentang mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Judicial Review uji materiil adalah permohonan agar Mahkamah Konstitusi melakukan peninjauan terhadap materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Dari tujuh permohonan uji formil terhadap Undang-Undang KPK hasil revisi, tidak ada satu pun permohonan yang diterima oleh mahkamah, Sehingga hal ini mematahkan ekspektasi dan harapan para pemohon untuk memberikan peluang mengembalikan KPK sebagai lembaga yang independen karena menganggap bahwa Pembentukan UU KPK Cacat Formil dan Tidak Memenuhi Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni tidak memiliki naskah akademik dan bukan termasuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2019, kemudian Tahapan pembahasan UU KPK sebagai bagian penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dalam waktu yang singkat dan di luar kelaziman, serta dianggap oleh para pemohon melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
SIKAP HAKIM
Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi satu-satunya yang menyatakan dissenting opinion dalam putusan uji formil Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK ketika semua hakim menolak gugatan mengenai proses revisi UU itu dan menyatakan proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 itu dilakukan dalam waktu singkat dan secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.
Dua Hakim MK lainnya yang mendapat sorotan adalah YM Saldi Isra dan YM Suhartoyo setelah dalam putusan MK Nomor 36 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa KPK adalah rumpun eksekutif, kedua hakim tersebut menyatakan dissentin opinion mereka dan dengan yakin mengatakan KPK adalah lembaga negara independen dan bukan berada di bawah cabang eksekutif, sehingga tak boleh masuk ranah angket DPR. Tapi dalam persidangan kali ini mereka tidak melakukan analisis apa-apa soal dissenting opinion yang mereka bacakan dulu, sehingga terkait dengan lembaga negara mereka mengatakan bahwa KPK di bawah eksekutif. Dari dinamika inilah kemudian banyak yang menganggap bahwa Mahkamah Konstitusi turut memberikan legitimasi terhadap upaya pelemahan KPK.
Dalam Amar Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, majelis hakim MK menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
INDEPENDENSI DAN STATUS PEGAWAI KPK
KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun, tetapi tergolong dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Merupakan logika yang sangat sulit untuk dipahami oleh penulis sehingga menimbulkan disparitas pertanyaan besar mengenai kedudukan dan independensi KPK kedepannya.
Merujuk pada teori Bruce Arnold Ackerman, seorang pakar tata negara dari Amerika Serikat bahwa ada tiga hal yang digunakan untuk mengukur sebuah lembaga independen atau tidak. Di antaranya (1) dimasukkannya lembaga tersebut dalam konstitusi, (2) peran dan fungsi Lembaga tersebut tidak mudah diubah dalam proses legislasi, dan (3) independensi komisioner dan pegawainya dijamin. Ketiga hal ini hamper tidak lagi dimiliki oleh KPK. Walaupun secara kelembagaan KPK tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945, tetapi dengan posisi KPK yang termasuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif menjadikan KPK nantinya akan sangat tergantung pada political will presiden sebagai kekuasaan tertinggi eksekutif.