[caption caption="Dokumentasi by Ayub Anggadireja; Bersama Bunda Pipiet Senja di Tainan"][/caption]Di akhir pementasan kelompok teater asal kota kembang, saya mendapatkan kesempatan berharga malam itu. Pertama, berdiskusi dengan dua tokoh penting teater payung hitam: daeng Rusli Keeleng dan kang Nugraha Nur Santo untuk release berita citizen reporter media online tanah air. Kedua, mendapatkan pencerahan dari seorang penulis yang namanya menjadi trending topic hampir sebulan menghiasi halaman koran Taiwan dan media sosial teman-teman mahasiswa dan buruh migran Indonesia (BMI) di Taiwan.
Alhamdulillah, hasil diskusi dengan dua seniman teater mengisi sejumlah media online lokal di Makassar dan terkejutnya bisa menembus satu media online nasional. Setelah membaca tulisan sang penulis di laman blog pribadinya, nampak sekali kualitas cara beliau menuturkan informasi seputar pementasan di taman mount River Street 129 Lane kota Tainan. Pengalaman dan kematangan seseorang telah menghasilkan ratusan karya yang telah dinikmati pembaca, bahkan telah diangkat menjadi beberapa film.
Kehadiran beliau telah menyita perhatian saya, untuk menyempatkan waktu di sela aktivitas perkuliahan dan deadline paper yang menanti untuk bisa menghadiri workshop kepenulisan yang diadakan tanggal 10 April nanti. Ibarat the dream come true,seorang teman menyampaikan "bunda Pipiet Senja, ada juga nonton di sini". Seperti masih mimpi, hampir seminggu rasa penasaran ingin bertemu dan mengikuti workshopnya. Seketika hadir di depan mata, membayangkan kejadian itu, seperti menonton sinetron tukang bubur naik haji.
Dinginnya malam itu dengan suhu berkisar 12 derajat tidak mengurangi keinginan untuk berdiskusi dengan beliau. Menggunakan kesempatan emas, meminta waktu beliau untuk berdiskusi tentang pengalaman sebagai penulis dan berbagi kiat-kiat menulis yang baik. Dengan penuh keakraban beliau menyampaikan kisah yang menginspirasi dalam menghasilkan cerpen dan novel.
Diawali beberapa pertanyaan yang bersifat teknis untuk meningkatkan kemampuan menulis, dijawab dengan baik tanpa adanya kesan menggurui. Sebagai pemula, rasa penasaran itu muncul dan akhirnya keluarlah pertanyaan pamungkas "bunda bagaimana agar tulisan kita itu bisa dinikmati pembaca ?". Beliau memaparkan tentang bagaimana ide itu muncul dari kepekaan kita dalam melihat fenomena dengan langsung bersentuhan dan merasakan apa yang dialami masyarakat. "Jangan pernah berpikir tulisan kita akan menjadi fenomenal atau laku di pasaran, biarlah karyamu menemukan takdirnya". Pesan ini tiba-tiba membuat suasana hening, seiring dengan kosongnya taman ditinggal penonton.
Keinginan menulis, biasanya terhambat karena diawal sudah berpikir bahwa tulisan kita akan menjadi best seller seperti novel Siti Nubayanya Marah Rusli, laskar pelanginya Andrea Hirata, atau Supernovanya Dee Lestari. Inilah yang menjadi penjara bagi penulis, sehingga berhenti dan stagnan dalam berkarya. Pesan bunda pipiet tadi menjadi spirit, biarlah tulisan itu mengalir apa adanya. Biarlah pembaca yang akan menilainya, dan biarlah kelak takdir yang menentukan di akhir prosesnya.
Terima kasih Bunda atas pencerahannya malam itu, jangan pernah berhenti berbagi ilmu untuk kami yang masih belia dalam menulis. Kami selalu menanti karya-karya bunda berikutnya.Â
Â
Kaohsiung, 5 April 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H