Mohon tunggu...
Adhea Putri
Adhea Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah Introver

Penyuka petualangan dan literasi. Masih menjalani hidup dengan berproses.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sisi Positif Overthinking Menurut Pandangan Stoicism

1 April 2021   21:47 Diperbarui: 1 April 2021   22:53 2804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata overthinking terdengar sudah tidak asing lagi dibenak masyarakat luas. Secara harfiah overthinking adalah berfikir secara berlebihan. Terletak perbedaan antara negative thinking dan overthinking. Jika negative thinking ciri-cirinya adalah mempertanyakan atau memikirkan hal buruk secara spesifik, overthinking biasanya mempertanyakan atau memikirkan hal buruk secara tidak spesifik. Jika terus menerus negative thinking, maka hal tersebut akan mengarah menjadi overthinking. Dan jika overthinking terus menerus dibiarkan maka hal tersebut akan  membuat energi mental semakin terkuras dan sulit fokus, sehingga akan mengganggu aktivitas sehari-sehari. Overthinking juga tak melulu soal pernyataan atau pertanyaan yang buruk, namun bisa juga tentang hal yang masih abu-abu. Misalnya saja, "Masa depanku akan seperti apa ya nanti?", "Apa aku bisa melakukannya?", dsb. Orang yang overthinkingnya sudah parah, ia akan kesulitan dalam menjalani hari-harinya. Ia bahkan memilih untuk tidak melakukan apapun karena pikiran berlebihnya tersebut.

Lalu apasih kaitannya overthinking dengan stoicism? Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita berkenalan terlebih dulu dengan Filosofi Stoic. Filosofi stoic atau stoicism adalah sebuah filsafat Yunani kuno yang mengajarkan bagaimana menjalani hidup yang tenang dengan fokus hanya kepada hal-hal yang bisa kita kontrol saja.

Seringkali kita merasa kecewa terhadap hal-hal buruk yang terjadi di hidup kita. Tapi sebenarnya rasa kecewa itu disebabkan oleh ekspektasi kita sendiri. Kita menginginkan semua hal berjalan baik dan sesuai dengan apa yang kita inginkan, dan ketika hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan kita maka kita akan kecewa. Padahal ada beberapa hal di dunia ini yang tidak bisa kita kendalikan, ada beberapa hal di dunia ini yang hasilnya tidak bisa selalu sama dengan apa yang kita inginkan. Ketika kita fokus pada hal yang tidak bisa kita kendalikan, maka cenderung kita akan merasa kecewa dan sulit untuk merasa bahagia.

Menurut filosofi stoicism, dibanding berfikir positif dan berekspektasi hal baik, stoicism justru percaya bahwa ekspektasi yang baik adalah ketika kita berekspektasi dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Dalam hal ini stoicism mengajarkan kita untuk tidak berekspektasi berlebih karena seringkali ekspektasilah yang membuat seseorang kecewa. Memikirkan kemungkinan terburuk tujuannya agar kita selalu siap dengan apapun hal buruk yang akan terjadi di kehidupan kita. Jika hal buruk tersebut memang terjadi maka kita tidak akan kaget dan tidak terlalu kecewa karena kita sudah memikirkan hal itu sebelumnya. Jika hal buruk itu tidak terjadi dan malah hal baik yang kita dapat, maka kita akan senantiasa senang dan bersyukur.

Namun, memikirkan kemungkinan terburuk bukan berarti kita tidak melakukan apa-apa dan pasrah begitu saja. Kita harus tetap berusaha dan menyerahkan hasilnya kepada yang Maha Kuasa, dengan kata lain Ikhtiar dan Tawakal. Tujuan memikirkan kemungkinan terburuk adalah agar kita menyiapkan diri dan fokus terhadap proses yang kita lakukan, bukan fokus kepada hasil. Memikirkan kemungkinan terburuk adalah cara kita menurunkan ekspektasi diri.

Bukan berarti jika kita menerapkan hal tersebut kita tidak boleh merasakan emosi negatif. Tentu saja boleh. Para stoic bisa menerima emosi apapun baik itu sedih, marah, atau senang. Karena emosi adalah hal yang tidak dapat kita kendalikan, emosi itu reaksi otomatis. Justru dalam hal ini kita bisa belajar bagaimana mengelola emosi kita.

Balik ke topik awal, lalu apa sisi positif overthinking menurut pandangan stoicism?

Seorang overthinker tentu saja sudah terbiasa bergulat dengan pikiran negatifnya, hal ini sangat berkaitan dengan filosofi stoicism yang mengajarkan kita untuk memikirkan kemungkinan terburuk. Maka bukan hal baru lagi bagi kaum overthinker jika ingin menerapkan salah satu ajaran dari stoicism ini. Namun perlu diingat, jika overthinking cenderung hanya bergulat dengan pikiran negatifnya tanpa melakukan apapun, seorang stoic justru memanfaatkan pikiran negatif tersebut untuk bekerja keras dan berusaha melakukan apa yang diinginkan tanpa memikirkan hasil dan hanya berfokus pada proses. Seorang stoic juga akan memanfaatkan pikiran negatif tersebut dan memikirkan cara agar kemungkinan buruk tersebut tidak terjadi.

Meski ada sisi positif dari overthinking, bukan berarti tidak ada sisi negatifnya ya. Seperti yang sudah dijelaskan diawal, overthinking bisa mengganggu aktifitas sehari-hari. Maka dari itu, perlu adanya batasan dan sedikit demi sedikit mengurangi kebiasaan overthinking ya.

Semoga bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun