Ga tau kapan mulainya saya bisa memasak, mengalir begitu saja dengan sendirinya. Tetapi entah mengapa, saya merasa inilah talenta terbesar saya, karena hanya dengan melihat, hanya dengan merasakan, saya bisa meraba apa saja racikan atau bumbu-bumbu di dalamnya.
*****
Sejak kecil di dalam keluarga kami, anak perempuan terbiasa membantu ibu di dapur, ibu memiliki empat anak, yang pertama perempuan dan yang terakhir (saya) pun perempuan. Ibu saya itu "koki" handal dan kerjanya pun cepat, Sejak kami masih kecil-kecil, ibu membantu ayah saya yang seorang polisi menjadi "tukang masak" pada acara-acara selamatan, hajatan, kenduri dan sebagainya. Terkadang menerima juga pesanan dalam box. Bila tak ada pesanan ibu tetap memasak untuk keluarga.
Karena pekerjaan sambilan ibu inilah tenaga kami berdua dikerahkan, walaupun tidak memasak, kami tetap diwajibkan membantu mengulek bumbu, mengiris dan memotong sayuran, serta mencuci sayuran. Dari sinilah insting saya berjalan, karena seringnya melihat ibu memasak dalam jumlah banyak ataupun hanya untuk komsumsi sendiri. Learning by doing, saya bisa memasak dengan sendirinya. Tak hanya insting, ini juga anugrah, talenta, passion, sebab kakak saya tidak terilhami sebagaimana yang saya rasakan. Sejak saat itu saya suka dunia masak memasak.
Saya baru menikah di tahun 2011, agak terlambat untuk ukuran perempuan, karena terlena dengan enaknya sendiri, ga ada yang ngatur-ngatur, menikmati hidup banget, eh tau-tau udah sekian umurnya. Kebetulan suami saya dari suku Minang, Suami berasal dari Bukittinggi, nama kampungnya Sungai Pua, suami lahir di Sungai Penuh, Kerinci (dulu bagian dari Sumatera Barat tapi sekarang masuk wilayah Jambi) karena orangtuanya merantau. Dalam keluarga suami, istri itu harus pandai memasak, syukurlah saya ga malu-maluin ibu saya, anak gadisnya teruji dengan baik (ciee sombongnya)...tapi bener loh, kita itu membawa nama orangtua.
Setelah menikah selama setahun kami menetap di Jakarta, karena dari lahir saya memang domisili di sini, baru setelah itu ke Padang untuk merayakan pesta pernikahan kami lagi, kalau istilah di Jawa "ngundu mantu". Delapan bulan di Padang, baru kami kembali ke Jakarta, ketika disanalah saya sering memperhatikan ibu mertua memasak, kami sering masak bersama, sembari membantu, saya masukan dalam memori otak saya. Ibu mertua tidak jarang memasak sambal khas dari kampungnya, yaitu sambal Cangkuak. Menjadi favorit di keluarga suami, apalagi bila sanak saudara ada yang berkunjung, hukumnya menjadi wajib.
Dimana-mana masakan ibu itu pasti yang paling juara, maka dari itu sesekali saya memasak makanan yang bercitarasa Minang untuk suami, saya belum pernah sekalipun memasak sambal cangkuak, bahkan ketika di Padang, tetapi saya masih ingat betul resep ibu mertua saya, hanya bedanya saya modifikasi dengan cabe rawit merah supaya lebih josss, Nah kalau saya sudah buat ini...hu ga usah diminta kata-kata sayang terus meluncur dari lelaki saya itu. Makan pun pasti tambah-tambah, Puas rasanya memanjakan suami dengan hal yang sederhana, Gak usah susah-susah jumpalitan untuk membuat pasangan senang, cukup lewat masakan, yap makanan yang diolah sendiri dengan perasaan cinta.
Dengan memasak cangkuak berarti saya juga ikut melestarikan makanan tempo dulu, ada yang mau buat? ini resepnya..
- Cabe merah keriting (pilih yang segar dan panjang) 10 buah, bila suka pedas tambahkan lagi cabe rawit merah 10 buah di giling halus
- Bawang merah 3 buah, di iris tipis
- Bawang putih 1 buah, digiling halus
- 1 buah jeruk nipis (yang kecil saja)
- Tomat merah 1 buah (pilih yang besar) di potong dadu kecil-kecil
- Teri secukupnya (saya biasa pakai teri jengki yang sudah dibelah 10 buah)
- Minyak sayur 3 sendok makan
- 1/2 papan petai dibelah menjadi 2 atau 4 terserah sesuai dengan selera
- Garam 1/2 sendok teh
- Semua bahan dimasukan dalam satu wadah, bisa mangkuk (tahan panas), kemudian aduk merata, terakhir masukan perasan jeruk nipis dan minyak sayur, kukus selama 25 menit dalam api sedang, jika sudah matang siap di hidangkan.
Â
Selamat mencoba...