Full Team Traveling. Repost artikel lama yang pernah kutulis di laman FB, semoga Kompasianer tertarik untuk membacanya...monggo. Judul trip kami kali ini “Road to PKK” kependekan dari nama 3 kota yang telah kami kunjungi, yaitu Pontianak, Kuching dan Kota Kinabalu. Ide untuk menghabiskan liburan di 3 kota ini, sedikit terinspirasi dari keinginan untuk melintasi Borneo (Kalimantan) dari Barat ke Utara. Sebelumnya aku sudah melintasi Borneo dari Selatan ke Timur walau via udara hehe… Karena liburan ke PKK ini tidak melibatkan pihak travel, maka semua urusan pesan tiket pesawat, bus dan carter mobil berikut hotel dilakukan by online payment, khusus untuk Kota Kinabalu kami memakai jasa travel agensi untuk mengantar kami ke objek-objek wisata disana, sebelumnya aku sudah browsing terlebih dahulu tempat-tempat yang ingin kami kunjungi. Keuntungan independent traveling ( IT ) ini, kita bisa mengatur waktu dan tempat yang ingin kita kunjungi tanpa terikat dengan itinerary pihak travel yang suka menyisipkan wisata belanja, nah…khusus untuk yang satu ini aku agak alergi, karena belanja bukan tujuan wisataku, kecuali bela-beli souvenir khas daerah wisata yang kami kunjungi masih bisa aku terima. Kelemahan IT , sudah jelas biaya yang lebih besar dari paket tour, kecuali gaya backpacker yang bisa meminimalisir pengeluaran sampai serendah-rendahnya, bisa dimaklumi, kalau perginya hanya sendirian, berbeda jika liburan ala keluarga dengan membawa anak-anak, tentu ada ‘faktor kenyamanan’ yang harus diutamakan, sesuatu yang nyaman tentu memerlukan ‘cost’ lebih bukan? Setelah browsing dan bertanya ke teman-teman yang bermukim di kota-kota yang akan kami kunjungi (thanks buat Dini Dipayuda dan Tri Retno Hartiningsih yang ada di Kota Pontianak serta mba Dewi Meong yang mukim di kota Kuching) kecuali Kota Kinabalu, kami berhubungan dengan pihak tour agent disana, aku menyusun itinerary Road to PKK, aku terpaksa men-skip Bandar Seri Begawan (Brunei Darussalam) dari itinerary ku karena beberapa faktor, utamanya faktor waktu liburan yang sempit hanya 7 hari termasuk waktu dalam perjalanan serta faktor budget yang semakin membengkak, apalagi setelah aku check via internet objek wisata di Brunei Darussalam tidak lah banyak, hanya diseputar kota BSB, yaitu Masjid, Istana (tidak boleh masuk), Museum dan Kampung Air. Mungkin next time ya…jika ada rizki lagi dan badan yang sehat, aamiin. Selanjutnya membereskan semua pembayaran online, setelah itu giliran packing traveling bag dan ransel, khusus untuk semua baju kami packing dalam saru traveling bag, khusus untuk keperluan yang ringan aku tempatkan dalam tas-tas ransel. Berhubung aku membawa anak-anak, yang utama harus diperhatikan adalah Obat-obatan, makanan ringan dan mainan buat pengusir bête selama di jalan, sedang aku sendiri harus mempersiapkan aneka charger dari ponsel, camera, tablet maupun handycam, halaaah….hahaha riweh banget emak satu ini buat ber-narsis ria nya. Jangan lupa menghubungi pihak provider seluler untuk aktivasi roaming ponsel dan koneksi internet, syukurlah salah satu provider yang kupakai memberi gratisan roaming paket data selama 3 hari, so…bisa updates traveling selalu. Tanpa berpanjang kata lagi, aku akan mulai dari hari keberangkatan ke Pontianak. PONTIANAK 24 Desember 2011 Jakarta – Pontianak Penerbangan pagi hari berjalan lancar, pukul 9.30 pagi pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Supadio kota Pontianak, kami dijemput oleh de’ Anti sekeluarga (keponakan kami). Sebelum menuju tempat-tempat yang wajib dikunjungi selama di kota Pontianak, kami mampir dulu ke rumah de’ Anti. Melalui daerah-daerah perumahan di kota ini membuatku teringat dengan kota Palembang, ada sedikit kemiripan kondisi geografisnya, yang penuh rawa-rawa. Di depan setiap rumah selalu disiapkan bak penampungan air hujan untuk keperluan minum dan mandi, karena air sumur maupun ledengnya agak payau, lha kalau musim kemarau ya alamat kering kerontang. Buat masyarakat yang tinggal disekitar sungai Kapuas ataupun anak-anak sungai yang ada, tentu tidak ada masalah untuk ketersediaan air. Supadip Airport. Setelah brunch dirumah de’ Anti, kami memulai perjalanan menapaki tempat-tempat yang akan kami kunjungi, walau hanya singgah 12 jam saja, prinsipnya harus maksimal dalam memanfaatkan waktu yang ada. Berlibur dengan anak-anak selalu ada hal-hal yang menggelikan, baru saja tiba di Pontianak, my Mirza sudah ngambek minta dibelikan ayam goreng KFC, diminta sabar masih tetap ngotot, akhirnya sebelum menelusuri objek-objek wisata di kota Pontianak, kami mampir terlebih dahulu di resto KFC, my Mirza tampak senang sekali. Barulah kami menuju ke lokasi “Rumah Betang”. Rumah Betang Rumah Betang Tangganya curam euy.... Ujung tangga yg berwujud manusia. Rumah Betang. Letaknya di jalan Sutoyo, Kota Pontianak, rumah adat suku dayak ini sangat khas…panjang, tinggi dan terbuat dari kayu yang solid, didalamnya dipenuhi dengan corak ornament yang eye catchy, aku memotret setiap sudut Rumah Bentang ini. Sempat kopdar dengan seorang fesbuker asal kota Pontianak, Tri Retno Hartiningsih, berhubung waktu sangat terbatas ketemuannya sebentar saja ya… awalnya mau ketemuan di Tugu Khatulistiwa, tapi karena schedule kunjungan ke Rumah Bentang terlebih dahulu kopdar ikut menyesuaikan waktu dan tempat. Thanks ya Tri sudah mau berjumpa walau hanya sekejap. Beranda Rumah Betang. Ornamen hiasan dindingnya eye's chaching banget. Interior rumah Betang. Kopdar Fesbuker Masjid Jami “Sultan Syarif Abdurrahman” Jika ingin berkunjung kesini bisa ke jalan Tanjung Raya, di kelurahan Beting, lokasinya melalui perkampungan dan pasar, untuk mencapai tempat ini bisa naik mobil melintasi jembatan yang terbentang diatas sungai Kapuas, atau jika ingin melalui jalur sungai bisa menaiki perahu getek. Kami hanya melihat selintas masjid Jami, bangunannya terbuat dari kayu yang kokoh walau sudah tua tetap terlihat menarik. Banyak anak-anak kecil yang keluar dari masjid, sepertinya habis mengikuti pelajaran mengaji. Sungai Kapuas terletak persis didepan masjid ini, mungkin jika bertandang ke masjid ini di bulan Ramadhan suasananya sangat meriah. Ada dermaga kecil dimana para penduduk bisa naik dan turun dari perahu. Masjid Jami Syarif Abdurrahman. Siapa yg mau naik perahu menyusuri Kapuas? Istana Kadriah Selanjutnya kami menuju Istana Kadriah yang terletak tidak jauh dari masjid Jami, penduduk setempat ada yang menyebutnya keraton. Sama dengan masjid Jami, bangunannya terbuat dari kayu, suasana di tempat ini sedikit kurang terawat, tidak jelas apakah Pemda setempat membantu pemeliharaan situs kebudayaan ini. Sebenarnya keberadaan istana Kadriah ini cukup menarik, sebagai salah satu objek wisata yang bersejarah, dari tempat ini bisa diketahui bagaimana perkembangan kota Pontianak dimasa lalu. Tampilan luar bangunan agak sedikit kusam walau eksterior bangunan ini cukup klasik. Istana Kadriah Hakim dengan background kaca pantul seribu, buatan Prancis th 1829. Foto Sultan AlKadri. Singgasana Sultan. Masuk kedalam istana, terlihat benda-benda peninggalan keraton, tidak banyak yang tersisa dari kebesaran istana Kadriah di masa lampau. Ada kursi singgasana kerajaan yang menjadi center point interior didalam ruang utama, beberapa foto-foto keluarga keraton, termasuk foto Sultan Muhammad Al-Kadrie yang masih ada keturunan dari daerah Hadra Maut ( Yaman ), ada cermin seribu pantulan yang dibeli dari Perancis pada tahun 1928, aku perhatikan bagaimana cermin itu bisa memantulkan 1000 bayangan, ternyata cermin itu di frame dengan pinggiran pecahan kaca yang jumlahnya banyak sekali, bisa diandaikan dengan seribu pantulan. Mungkin ada sebagian orang belum faham dengan pencipta lambang burung Garuda Pancasila yang menjadi lambang Negara Indonesia, yaitu Sultan Hamid II yang fotonya terpampang dalam notes ini, semoga bangsa ini tidak akan pernah melupakan jasa para pejuang di masa lalu. Lambang Garuda Pancasila ranvangan Sultan Hamid II. Sultan Hamid II, konseptor lambang Garuda Pancasila. Dibelakang ruang utama ada satu ruangan yang berisi beberapa set furniture tua. Sedang disisi samping bangunan ada kamar yang berisi ranjang kerajaan. Warna dalam interior ruangan didominasi warna kuning cerah. Ada 1 lemari dan 1 set kursi tamu yang dipajang dalam ruangan itu berikut beberapa benda-benda pecah belah, mengingatkan aku kepada furniture dan benda-benda yang terdapat di rumah nenekku. Sepertinya benda-benda itu berasal dari tahun 30-an. Setelah puas memotret dan berbincang dengan seorang ibu yang menjaga istana tersebut, namanya ibu Syarifah Zuhrah binti Pangeran Haji Ibrahim dengan ibu Ratu Citra, yang masih keturunan istana Kadriah, kami menyempatkan diri membeli 2 kain sarung khas Pontianak dan 1 topi Peci yang dijual oleh ibu Syarifah dan kerabatnya disalah satu ruangan yang letaknya dibagian depan istana, kami juga mengisi kotak sumbangan sukarela buat pemeliharaan istana. Saat kami keluar istana kami masih harus memberi sedikit tips buat penjaga halaman istana, seorang bapak tua yang meminta upah menjaga sepatu kami, dia bilang upah itu bukan buat dirinya sendiri tetapi buat anak-anak kecil yang ada dilokasi istana, benar saja setelah kami memberikan sedikit tips ke bapak tua itu, dia langsung memberikannya kepada anak-anak kecil yang tampak sedang bermain di halaman istana. Tugu Khatulistiwa Pergi ke Pontianak tanpa menyempatkan diri ke Tugu Khatulistiwa sama saja jika ke Jogjakarta tanpa mengunjungi jalan Malioboro, ya… ini adalah icon pariwisata di kota Pontianak. Walaupun aku tidak banyak memotret seperti di tempat-tempat sebelumnya, tetapi ada kepuasan tersendiri telah mengunjungi “Titik Khatulistiwa” di tanah air tercinta Indonesia. Terletak di jalan Khatulistiwa, di kelurahan Siantan Hilir, kota Pontianak, untuk masuk ke lokasi objek wisata ini, tariff masuk yang dikenakan “cukup seikhlas” yang mau member di “Kotak Sumbangan”, aduuh….bener-bener Indonesia sekali, sebelumnya hal yang sama terjadi di Istana Kadriah. Jadi jika kondisi tempat wisatanya cukup bersahaja ya harap maklum namanya juga “seikhlasnya”, unsur komersialisasi agak dipinggirkan (hal ini jauh berbeda saat aku berkunjung ke Kuching dan Kota Kinabalu, tunggu catatan selanjutnya ya…). Tugu Khatulistiwa @Pontianak. Tugu Khatulistiwa yang asli. Tugu yang dibangun diluar gedung adalah tugu imitasi dari yang aslinya, sedang monumen yang aslinya dibuat tahun 1928 tersimpan rapih dalam satu ruangan yang fill AC, layaknya museum Khatulistiwa, didalamnya banyak dimuat foto-foto dan keterangan-keterangan seputar monumen Khatulistiwa ini, hanya sayang saat aku meminta brosur tentang sejarah Tugu Khatulistiwa ini, pihak penjaga gedung sedang kehabisan brosur, jadi jika mau tau lebih jelas tentang monument ini silahkan baca di Wikipedia aja ya, hihihi…. Ntar kalau aku jelaskan lebih rinci catatan liburan ini akan makin panjang. Di dalam gedung dijual benda-benda souvenir berupa miniature tugu khatulistiwa, aku hanya melihat selintas, tidak berminat membeli, bagiku yang penting bisa berkunjung langsung dan memotret tugu ini sudah lebih dari cukup. Wisata Kuliner Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 siang, sudah waktunya makan siang, sebenarnya aku sudah memegang beberapa list tempat-tempat kuliner yang khas kota Pontianak dari temanku, berhubung saat aku dan keluarga berada disana pada tanggal 24 Desember, harap maklum terima nasib tempat-tempat kuliner itu pada tutup semua, alamak….nyengir deh hihihi. Kawai (durian hutan) Namun aku cukup bersyukur pada kunjungan ku yang pertama ke Pontianak ini bisa menyicipi “Durian Hutan”, pedagangnya menyebut nama durian ini dengan “Kawai” (dalam bahasa Jepang, Kawai itu artinya cakep ya? ) ceritanya saat kami ingin menuju salah satu resto (yang ternyata tutup saudara-saudara…!) kami melewati pedagang durian, anakku Hakim dan suamiku sangat suka makan durian, jadi mampirlah kami untuk sekedar membeli buah durian untuk dicicipi, berhubung belum makan siang jadi tidak boleh makan banyak. Tumpukan buah durian begitu “memabokkan mata”, tapi mataku tertuju pada tampilan buah durian yang warnanya unik sekali yaitu “Oranye” bukan warna “Krem” yang biasa kita temui dibuah durian pada umumnya. Durian Hutan disebut Kawai ada juga yg menyebutnya Lei. Setelah bertanya berapa harganya disebut Rp. 5.000/buah, aku langsung memutuskan membeli 1 buah untuk mencicipi rasanya (teringat dulu Pak Handoko pernah memuat tulisan tentang buah Durian Hutan di Baltyra). Tampilan buahnya si Okeeh banget, tapiiii…………saat aku merasakan buahnya, alamak! Nggak dua kali deh! Hehehehe….cukup sekali aku mencobanya, mau tau rasanya? Aneh….itulah jawabanku, perpaduan antara rasa durian mentah dan buah kesemek! Kalau ada teman yang belum pernah merasakan buah kesemek, mungjin tidak bisa membayangkan rasanya hehe… Restoran Ale-Ale Berhubung lokasi kuliner local banyak yang tutup, keponakan kami mengajak makan di Resto Ale-Ale yang ada di A Yani Mall, ini adalah mall yang terbesar di kota Pontianak, saat masuk ke mall ini berasa ada di Jakarta, kata de’ Anti, orang-orang yang bermukim disekitar kota Pontianak sebagian besar menghabiskan weekend disini. Pantes aja nyari lokasi parkir susah banget! A Yani Mall. Menu di Pondok Ale-Ale. Resto Ale-Ale yang kami tuju menghidangkan aneka makanan seafood yang menggugah selera. Setelah perut terisi kenyang, kami memutuskan segera pulang ke rumah de’ Anti untuk segera berkemas-kemas mempersiapkan keberangkatan kami ke kota Kuching di Serawak, Malaysia. Kami sudah memesan tiket bus 2 minggu sebelum keberangkatan, satu tiket harganya Rp.165.000 ,- dengan jarak tempuh kurang lebih 9 jam. Berangkat pukul 21 malam tiba di Kuching sekitar pukul 7 pagi waktu Kuching. Malam sebelum berangkat ke Kuching, sempat-sempatnya anakku Hakim minta makan durian, karena saat siang hari sebelumnya aku melarang makan durian, karena perutnya masih kosong belum makan siang, benar-benar pesta durian deh, rata-rata harga durian perbuah dipatok dari harga Rp.5.000,- sampai dengan Rp.10.000,- murah bukan? Durian Pontianak, murah dan lezaat... Berbeda dengan Hakim yang suka makan durian, anakku yang bungsu Mirza justru tidak suka buah durian, alhasil dia minta makan mie ayam malam itu, hehehe….dan acara makan mie ini akan terus berlangsung sampai ke Kota Kinabalu. Jauh-jauh liburan ke Pontianak ujung-ujungnya masih makan mie ayam “Jakarta” juga. 24 Desember 2011 (malam) Pontianak – Kuching Akhirnya waktu sudah mendekati pukul 21 malam, kami segera bergegas ke agent bus SJS, buat de’ Anti dan de’ Happy, terima kasih yang tulus kami ucapkan, karena sudah mengantar kami dan mentreat makan sampai kenyang, mudah-mudahan dilain waktu kami mempunyai kesempatan yang sama untuk menjamu de’ Anti sekeluarga, aamiin. de' Anti and Happy, thanks for your hospitality. Bersambung………… AMH, BDL 3012012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H