Sepucuk Surat
Hari ini saya duduk disebuah depan sebuah museum pendidikan, membuka lattop saya dan menuliskan beberapa ide yang sering kali melintas dipikiran saya. Belum lama saya duduk, terlihat seorang ibu-ibu dengan dandanan rapi berjalan menuju ruang kuliah pascasarjana di kampusku. Ternyata ibu tadi seorang dosen dengan gelar Doktor (S3) dan juga seorang penulis buku pendidikan terkenal.
Bukan mengenai sosok ibu dosennya yang membuat saya tertegun tetapi sempat terpikir di benak saya sebuah pertanyaan. Apakah perempuan zaman sekarang mengetahui bahwa di zaman modern ini mereka dapat mengenyam pendidikan sampai tingkat setinggi apapun tanpa dibatasi oleh gender berawal dari sebuah surat. Baik perempuan atau laki-laki dapat mengejar impian nya dengan kuliah di dalam dan di luar negeri.
Perempuan bukan lagi kaum yang termarjinalkan, perempuan bukan lagi dianggap lebih rendah (tingkatannya) dari laki-laki dan perempuan juga bukan sosok yang harus berada di dapur dan menetap dirumah. Tetapi mereka menjadi sosok pelengkap bagi kaum laki-laki.
Melalui tulisan ini saya sedikit ingin mengangkat dan memberikan sedikit motivasi untuk para perempuan seluruh Indonesia bahwa dulu saat kaum perempuan masih berada di bawah bayang-bayang kamu laki-laki dan saat itu perjuangan perempuan dalam merahi hak pendidikan untuk dapat mengenyam bangku sekolah sangat heroik sehingga ini menjadi pandangan bahwa sebenarnya perempuan saat ini harus meniru semangat itu, semangat untuk terus belajar.
Berawal Surat Ibu R.A Kartini
Dalam suratnya kepada Prof dan nyonya F.K. Anton di Jena, tertanggal 4 Oktober 1904, ia menulis: “Apabila kami dengan sangat meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami ... hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, yaitu kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu - pendidik manusia yang pertama.” Kesadaran akan tugas kewajiban itulah yang dikatakan sebagai “kewajiban untuk membentuk masa yang akan datang”.
Sebuah surat kecil yang menjadi pemikiran awal bahwa sebenarnya kaum perempuan haruslah memiliki pendidikan sekolah yang tinggi dan bukan berada dibelakang baying-bayang laki-laki tetapi berada di samping. Untuk saling menguatkan, untuk saling mendukung.
Usahanya yang pertama ialah mendirikan sebuah kelas kecil bagi kepentingan gadis-gadis yang diselenggarakan empat kali seminggu. Murid-muridnya yang pertama berjumlah tujuh orang dan mendapat pelajaran membaca-menulis, kerajinan tangan, masak memasak dan menjahit. Sampai batas tertentu pengajaran itu diberikan dengan cuma-cuma.
Di Jawa Barat pada tahun 1904 berdiri pula sekolah oleh Raden Dewi Sartika (1884-1947). Semula bernama Sekolah Istri dan kemudian Keutamaan Istri. Setelah ia menikah dengan B.A. Suriawinata pada tahun 1906, ia melanjutkan cita-cita dan pekerjaannya. Sekolahnya tersebar dip elbagai kabupaten seperti di Garut, Tasikmalaya dan Purwakarta. Pada tahun 1912 ada 9 sekolah gadis, yang berarti 50% dari seluruh jumlah sekolah di Pasundan waktu itu.
Seiring berjalannya waktu, makin banyklah sekolah untuk perempuan di Indonesia pada saat itu. Salah satunya sekolah keputrian yang terletak di Pati Jawa Tengah pada tahun 1930an, pada tahun yang sama juga adanya sekolah kartini dan pada tahun 1965 adanya sekolah kepandaian putrid “PIKAT” yang terletak di Manado.