Kicau burunglah yang membangunkannya pagi itu. Ah, atau barangkali sejuknya udara pagi. Tubuh tuanya bergidik kala dibelai embusan angin. Ia membuka matanya, disambut segera oleh pijar mentari yang masih menyembul malu-malu di balik bebukitan.
Ningsih tersenyum, bersyukur. Satu lagi hari di bumi… dan semuanya terasa begitu indah. Perlahan – mencoba menggunakan lengan kurusnya yang tak lagi bertenaga – ia bangkit, memposisikan bantal di belakang punggungnya, dan duduk bersandar. Hanya duduk bersandar, mengalamatkan pandangannya ke panorama alam di balik jendela kamar.
Burung-burung terbang berkejaran, desau angin mengkoreografi tarian pepohonan, semburat di langit tak ubahnya rona gadis belia yang tengah jatuh cinta, kokok ayam di kejauhan saling bersahutan… bukankah semua itu layak dinikmati?
“Kamu sudah bangun?”
Pria tua itu tersenyum begitu dia menoleh.
“Lho, mana si Sum? Kenapa malah kamu yang bawa sarapan?” tanya Ningsih pada Sis, suaminya, yang membawakan nampan berisi mangkok, teko, dan cangkir.
“Sum kusuruh mencuci baju saja,” jawab Sis, “Aku buatkan sarapan untukmu.”
“Kau sudah tua, bukan waktunya lagi untuk meniru tingkah Romeo.”
“Umur hanyalah angka, sayang,” jawab Sis, mengecup kening istrinya setelah meletakkan nampan di meja sebelah tempat tidur. “Bagaimana kabarmu pagi ini?”
“Aku merasa sangat sehat,” jawab Ningsih, tersenyum lemah.
“Oh ya? Syukurlah.” Sis balas tersenyum. “Mau kusuapi?”