Mohon tunggu...
Ade Yusuf
Ade Yusuf Mohon Tunggu...

Design & Writing

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jejak

24 Maret 2011   14:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:28 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Usai membunuh penyabit rumput, Mat Codet memasukan mayat korban ke dalam karung yang sudah disiapkan. Tubuh Mat Codet yang besar dengan kulit legam berpeluh keringat, tampak berkilat disorot cahaya terik matahari. Tenang sekali ia merapikan semua yang ada di sekelilingnya. Sisa-sisa ceceran darah di atas tanah dihapus dengan pasir dan rerumputan. Setelah memastikan tak ada lagi rembesan darah yang menetes, Laki-laki yang memiliki codet di wajah kirinya, menggendong karung itu dan segera meninggalkan padang ilalang sepi. Tak nampak bekas terjadi sebuah pembantaian di Bukit Oray yang memang jarang dikunjungi manusia ini. Tanpa disadari, dari balik semak bambu ada sorot mata tajam yang memperhatikan peristiwa keji tadi. Mata itu terus menatap punggung Mat Codet yang makin menjauh dan hilang dari pandangan.

*******

Dua puluh tahun kemudian, Kampung Semayang sudah berubah jauh sekali. Padang ilalang dan pohon-pohon yang menghijaukan perbukitan semakin sedikit. Berganti bangunan batako yang semakin padat menyesak bukit. Di pusat keramaian kini sudah berbaris deretan ruko dan pusat perbelanjaan. Tak seperti dua puluh tahun lalu yang hanya memiliki satu pasar dan sisanya warung-warung kecil milik rakyat setempat. Sekarang makin banyak warga pendatang yang tinggal di Kampung Semayang. Bahkan sebagian besar penguasa ekonomi di kampung ini adalah warga pendatang. Sedangkan warga asli hanya kebagian sedikit saja. Masih menempati lapak atau warung kecil dengan usaha seadanya seperti dahulu kala. Yang tua-tua masih setia dengan pertanian dan peternakannya, sedangkan yang muda lebih memilih menjadi buruh di kota lain. di toko-toko atau pabrik tekstil yang terletak di pinggir kampung.

Begitu juga dengan tempat tinggal. Rumah-rumah yang kini berada di pusat keramaian, sudah bukan lagi milik warga asli, tapi warga-warga pendatang. Mereka yang memiliki uang lebih banyak dibanding warga asli, satu-persatu membeli tanah dan bangunan karena memiliki investasi di Kampung Semayang. Wajar bila bentuk bangunannyapun tak seperti dulu, berupa bilik sederhana atau rumah-rumah dengan dinding papan. Yang kini berderet adalah rumah-rumah bertingkat dengan pagar beton atau besi. Lengkap dengan garasi yang cukup menampung minimal dua mobil. Merekalah para pemilik ruko, toko swalayan atau pusat perbelanjaan yang sekarang menghiasi kampung.

Lalu dimana sekarang para warga asli tinggal? Ya, di lereng-lereng bukit, padang ilalang atau sawah-sawah di bagian dalam kampung. Itulah kenapa kalau dilihat dari kejauhan, bukit-bukit yang dulu hijau merimbunkan Kampung Semayang, kini terbabat rumah-rumah yang nangkring tak beraturan di sekeliling bukit.

*******

Aku pinggirkan mobil lalu keluar sejenak untuk menghirup udara perbukitan. Sudah tak sesegar dulu, tapi tetap masih lebih baik dibanding udara ibu kota. Angin semilir menerpa wajahku yang asyik menatap dataran tinggi menjulang di depanku. Sesekali angkutan desa melintas di jalan dengan isi penumpang yang hanya segelintir. Sepeda yang dulu menjadi kendaraan sehari-hari penduduk kampung, kini digantikan oleh motor. Tak hanya kaum lelaki, wanitapun cukup lihai mengendarai kendaraan roda dua ini. Lalu lalang kendaraan yang melintas meninggalkan semerbak wangi khas kampung yang menusuk hidung. Sungguh aku rindu wangi ini. Tak terasa sudah dua puluh tahun kutinggalkan kampung yang menyimpan berjuta kenangan masa kecilku. Tak sabar kulanjutkan lagi perjalanan.

Setelah melewati pusat keramaian, mobilku perlahan memasuki jalan kampung yang cuma beraspal kasar dan berkelok-kelok diantara rimbunan pohon sukun. Walaupun banyak perubahan, tapi aku masih hapal dengan seluk-beluk kampung ini. Sambil berlalu, memoriku kembali ke masa kecil saat dulu aku dan teman-teman sering menghabiskan waktu bersepeda bersama teman-teman. Kalau tidak, melakukan beberapa permainan seperti bermain bola, gobak sodor, atau memburu tutut di sawah.

Tiba di depan sebuah rumah sederhana. Kuamati dari dalam mobil. Rumah kecil dengan dinding papan dan teras sempit. Terlihat kosong seperti tak berpenghuni. Banyak ramat dan kayu keropos yang dimakan rayap. Beberapa bagian genting tampak bolong. Debu tebal menyelimuti teras dan lantai. Di halaman, rumput ilalang liar tumbuh menutupi jalan masuk ke dalam rumah. Masih ada sisa-sisa tanaman obat dan sayur yang kini sudah layu tak terurus. Rumah ini sudah lama mati suri.

Sekejap muncul bayang-bayang anak kecil yang asyik bermain kelereng di halaman ini. Sementara sang ayah duduk di teras sambil menikmati kopi hitam. Aku turun dan menghampiri rumah itu. Perlahan aku coba membuka pintu yang sudah reot dengan hati-hati. Setelah memastikan tak ada yang roboh atau genting jatuh, akupun masuk ke bagian dalam rumah. Debu tebal menusuk hidung. Membuat sedikit sesak dan gatal. Larik-larik cahaya matahari yang terang menerobos dari sela-sela atap yang bolong. Memberikan sedikit cahaya di ruangan yang gelap dan sumuk. Tampak kursi-kursi usang yang sudah jebol. Tapi letaknya masih tak berubah. Di dinding menempel satu-satunya foto lusuh. Seorang bapak dengan anaknya berpose di sebuah studio foto dengan latar belakang lukisan sungai dan jembatan. Si bapak duduk di sebuah kursi sambil menggendong anaknya yang usianya sekitar 6 tahun. Kuusap kaca pigura yang buram karena debu. Bergetar dadaku melihat foto itu. Kucopot dari pigura yang sudah lapuk untuk kumasukan pada saku baju. Lamat-lamat muncul gambaran masa lalu dimana suara dalang terdengar dari radio dua band. Bapak duduk di kursi itu sambil terkantuk-kantuk mendengarkan lakon wayang golek yang dibawakan dalang. Sedangkan anaknya sibuk menyelesaikan PR dengan hanya ditemani temaram lampu pelita. Walau suaranya mono, tapi tetap bergema ke seantero ruangan. Suara itu tak mengganggu sedikitpun konsentrasi anak yang tengah serius dengan rumus matematikanya.

Melangkah lagi ke dalam kamar sempit. Ranjang kayu dan lemari masih ada. Hanya kasur sudah tak kelihatan. Terbenam oleh tumpukan kayu yang roboh dari atap dan pecahan genting. Di dalam kamar ini bapak dan anak itu berbagi kasur. Tidurnya sangat pulas, karena adanya kehangatan dan kenyamanan dalam kesempitan. Kulihat di dinding bilik, tertancap sebilah pisau belati yang menempelkan sebuah foto dua orang laki-laki muda yang bergandengan sambil bertelanjang dada. Yang satu berkulit sawo matang dengan badan tegap memegang sabit. Kumisnya melintang di atas bibir yang tersenyum. Disebelahnya tampak seorang laki-laki dengan perawakan lebih besar dan tinggi bekulit lebih gelap. Menggunakan ikat kepala sambil menenteng parang. Di wajahnya tampak ada codet yang memanjang dari pipi hingga pelipis di bagian kiri. Mat Codet! Kucabut pisau itu dan menyelipkan di balik saku belakang celana. Fotonya pun tak lupa kuselipkan dalam saku baju.

Rasa sesak yang makin memuncak, membuatku bergegas meninggalkan ruangan ini. Bukan hanya karena tebalnya debu, tapi juga bayangan kenangan yang semakin lama semakin memenuhi ruang batin. Mataku pun sebentar lagi memerah dan berair bila tak segera keluar dari rumah ini.

Persis ketika sudah kembali ke halaman, dada kembali lapang, suara azan ashar bergema dari surau. Tanpa berlama-lama di rumah kosong ini, kulanjutkan perjalanan ke arah surau. Masih hapal aku dimana suraunya. Tinggal berjalan sekitar 100 meter ke arah utara. Berada di samping areal persawahan dekat sungai kecil. Tempat dulu aku belajar mengaji bersama Ustad Syarif. Ulama sepuh yang disegani warga namun ditakuti anak-anak karena galaknya beliau saat mengajar ngaji. Tapi suara beliau ketika melantunkan ayat-ayat Al Quran begitu merdu dan syahdu. Terutamawaktu mengumandangkan azan. Bagaikan magnet yang mampu menarik seluruh penghuni kampung untuk sejenak meninggalkan aktivitasnya dan bersama-sama menghadap Yang Maha Kuasa di surau sederhana itu.

*******

Di surau, terlihat sekumpulan anak kecil berdiri berjejer rapi dibelakang imam yang sudah siap melaksanakan shalat ashar. Akupun bergegas mengambil wudhu dari pancuran di samping surau. Segar sekali rasa air pegunungan. Membasuh wajahku yang masih terasa panas setelah berkeliling di dalam rumah kosong tadi. Inginnya sih, buka baju dan mandi sekalian. Tapi karena sudah terdengar imam melantunkan takbirratul ikhram, tanda dimulainya shalat, segera saja aku mulai masuk dalam barisan.

Usai menunaikan shalat Ashar berjamaah, aku bergegas keluar surau. Mengelus dada. Surau ini sudah ditinggalkan warga. Terbukti hanya aku dan anak-anak kecil saja yang menjadi makmum. Kemana warga lain, yang dulu selalu memenuhi surau setiap waktu shalat tiba? Aku menatap anak-anak yang berhamburan dari dalam surau. Berlari dengan riang sambil bercanda sesama. Aku tersenyum, akupun dulu demikian. Namun, biasanya sambil tunggang langgang, karena pasti di belakang, Ustad Syarif sudah mengacung-acungkan tongkatnya karena tak pernah mengijinkan kami berisik bila selesai shalat. Mengganggu orang yang lain yang masih berdoa atau berdzikir.

“Anak-anak sekarang makin susah dilarang. Sudah dikasih tahu jangan berisik kalau habis shalat. Tapi tetap saja diulangi lagi.” Terdengar suara berat dibelakangku membuyarkan lamunan.

“Namanya juga anak-anak pak. Yang penting mereka masih mau mengaji dan belajar agama. Tidak seperti di kota. Sudah jarang saya melihat anak-anak mengaji di mushala atau mesjid. Terlalu sibuk dengan kegiatan sekolah atau kegiatan lainnya.” Aku menjawab suara yang kuyakin imam pemimpin shalat, sambil memasang kembali sepatuku.

“Terlalu berat melawan godaan duniawi seperti sekarang. Lihat saja surau ini, kian hari kian sepi orang-orang yang berjamaah. Surau mereka sudah pindah ke warung, kantor, pabrik bahkan ke tempat maksiat.” Imam itupun menghela nafasnya.

Aku menoleh sekilas dan melihat sosok paruh baya tinggi besar dengan baju koko putih dan peci putih dibalut sarung yang juga berwarna putih bersih. Dia kemudian duduk disampingku yang baru saja selesai memakai sepatu. Dalam jarak yang begitu dekat kutatap lekat wajah lelaki setengah baya ini. Begitu tenang dan bersih raut mukanya. Tapi dibalik itu semua baru kusadari kalau aku sangat mengenal sosoknya, terutama dari wajah yang memiliki gurat di sebelah kiri. Memanjang dari pipi hingga pelipis.

Deg!! Dadaku mendadak berpacu cepat. Paras mukakupun berubah menjadi merah. Sudah pasti dia. Aku yakin sekali. Walau terbentang waktu dua puluh tahun lamanya. Masih terekam jelas dalam ingatanku sosok yang selama ini menghantuiku. Mat Codet!! Tak kusangka, ustad bijak yang ada disampingku ini tak lain dan tak bukan, adalah orang yang telah membantai bapakku dua puluh tahun lalu.

Ustad alias Mat Codet itupun kemudian menanyakan perihal kedatanganku di kampung ini. Karena jarang sekali orang kota masuk ke bagian dalam kampung, kecuali ada sanak saudara atau ada hal yang sangat penting di sini.

Mendengar pertanyaannya, akupun menjelaskan sambil tetap berusaha tenang. Bahwa aku sebenarnya adalah warga asli Kampung Semayang. Namun suatu waktu di masa lalu ada seorang keji yang secara brutal membunuh bapakku. Bukan hanya membunuh, tapi memotong jasadnya jadi beberapa bagian, sebelum dimasukan ke dalam karung. Sejak saat itu hidupku ikut hancur. Karena harus meninggalkan kampung ini. Meninggalkan segala kenangan manis masa kecil, demi menghindar dari teror pembunuh bapak. Juga demi mempertahankan hidup agar dapat membalaskan dendam. Aku katakan kalau aku tak tahu persis apa pangkal masalahnya. Namun yang pasti, saat itu aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana pembunuhan sadis itu terjadi. Dan orang yang melakukannya adalah sahabat bapakku sendiri, dengan tanda yang tak pernah akan kulupa. Memiliki codet di wajah kirinya. Memanjang dari pipi hingga pelipis matanya. Oleh karena itu dia dulu disebut Mat Codet. Ketika menyebut nama itu intonasi suaraku sengaja kutinggikan sambil menatap tajam pada wajah ustad yang ada disampingku.

Ustad aiias Mat Codet ternganga, kaget bukan kepalang. Tak percaya, peristiwa dua puluh tahun lalu yang dianggapnya sudah lenyap, kini muncul kembali. Juga tak menyangka, segala hal yang sudah disangka sempurna itu, masih menyelipkan satu kecerobohan.

Ia lantas tertunduk meneteskan air mata. Tak disangka, dosa besar itu harus dibayar saat ini juga. Tak banyak yang keluar dari mulutnya selain doa-doa minta pengampunan dari Yang Maha Pengampun.

Zleppp….! Kutekan tanganku sangat kuat dan dalam ke dada Mat Codet. Pisau yang tadi kuambil dari rumah kosong itu kini mengorek jantungnya. Kutahan pisau itu dalam dadanya lebih lama. Tubuh Mat Codet tersorong ke arah bahuku. Sambil menunggu segala luapan dendam dalam diriku benar-benar lepas, kupeluk tubuhnya erat. Suara mengorok tenggorokan yang tertahan gumpalan darah mengiringi lepasnya nyawa dari dalam tubuh Mat Codet. Darah pun menetes dari dadanya, membasahi baju koko putihnya yang bersih. Juga sarungnya. Warna merah segar semakin lama merubah warna putih bajunya. Mat Codet sudah mati. Semoga arwah bapak sekarang tenang disana.

Jasadnya kubopong ke arah pinggir sungai di samping surau. Kupotong-potong, seperti ketika ia memotong jasad bapak. Darah mengalir di sungai. Menjadikan sungai jernih itu berwarna merah. Potongan tubuh Mat Codet kumasukan ke dalam karung dan membersihkan segala kemungkinan jejak yang masih tertinggal. Begitu semuanya bersih, segera kubopong karung berisi potongan mayat Mat Codet menuju mobil. Sejak saat ini, aku harus benar-benar menghapuskan Kampung Semayang dari hidupku. Tamat sudah episode masa kecil.

*******

Sementara itu, Di dalam surau yang sepi ada sorot tajam sepasang mata yang mengintai. Memperhatikan dengan seksama setiap peristiwa yang baru saja terjadi. Sosoknya berkulit sawo matang berbadan tegap memegang sabit, dengan kumis melintang di atas bibir. Sambil tersenyum ia keluar dari surau. Menghilang diterpa angin sejuk Kampung Semayang.

Bekasi, Maret 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun