"There is nothing health without mental health"
Jargon yang populer di kalangan aktivis kesehatan mental ini seolah menyuarakan bahwa kesehatan merupakan topik yang seharusnya dikaji secara integral, yaitu tidak hanya mengenai penyakit fisik tetapi juga mental. Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam membangun kesejahteraan psikologis, tetapi kesehatan mental merupakan salah satu bidang kesehatan masyarakat yang sering kali di pandang sebelah mata. Padahal, hampir 1 miliar orang hidup dengan gangguan mental, 3 juta orang meninggal setiap tahun akibat penggunaan alkohol yang berbahaya, dan 1 orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri (Saxena, 2016; World Health Organization, 2020).
Di era yang serba digital saat ini, kesehatan mental menjadi salah satu topik pembicaraan yang cukup menarik perhatian generasi muda. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangatlah mendukung dalam terwujudnya keterbukaan informasi publik mengenai kesehatan dengan berbagai kecanggihan media (khususnya media sosial) sebagai perantara dalam manusia berkomunikasi. Informasi tentang psikologi dan kesehatan mental pada era digital seperti sekarang mudah kita akses dan dapatkan. Namun justru konten-konten psikologis yang beredar di media sosial seolah menjadi pisau bermata dua. Konten psikologis yang dengan mudah diakses mendorong sebagian orang mudah melabeli orang lain, mendiagnosis diri sendiri, dan memiliki dalih atau pembenaran atas kekeliruan yang dilakukan.
Keberadaan konten-konten psikologis di media sosial tak jarang ditelan secara mentah-mentah oleh masyarakat. Terlebih kecenderungan budaya masyarakat Indonesia ialah sangat mudah mengeneralisasi kondisi yang sedang terjadi. Sebagai contoh saat seseorang sedang mengalami kondisi psikis dan emosional yang tidak stabil, lalu menemukan konten mengenai gejala-gejala depresi, orang tersebut cenderung mencocokan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka temukan di internet. Hal tersebut tak menutup kemungkinan untuk mereka melakukan self-diagnose.
Membuminya konten-konten psikologis juga membawa pengguna media sosial melihat gangguan kesehatan mental sebagi suatu tren yang keren. Melihat fenomena beberapa tahun terakhir di mana pengguna internet terutama anak muda, menggunakan istilah psikologi seperti nama gangguan mental dalam percakapan sehari-hari di media sosial. Misalnya, menggunakan kata 'depresi' untuk mendeskripsikan perasaan sedih, mengaku 'bipolar' karena mudah mengalami perubahan emosi, atau penggunaan kata 'anxiety' yang merujuk ke anxiety disorder untuk mendeskripsikan perasaan cemas. Hal yang awalnya berangkat dari awareness terhadap gangguan mental, kemudian berubah menjadi sebuah tren yang malah dianggap keren.
Hasil survei yang dilakukan oleh Derek Flanzraich, CEO dan pendiri greatest.com situs web kesehatan dan kebugaran yang populer untuk milenial menemukan 37% generasi milenial terkadang melakukan diagnose diri dengan permasalahan kesehatan yang tidak mereka miliki. Padahal diagnosis gangguan mental bukan suatu hal yang dapat disimpulkan hanya dari satu sumber saja, apalagi hanya bersumber dari internet. Mendiagnosa gangguan kesehatan mental adalah wewenang tenaga professional seperti psikolog dan psikeater.
Lalu bagaimana cara mengurangi perilaku self-diagnose?
Kebiasaan self-diagnose dapat dikurangi dengan mengedukasi diri, menyaring informasi yang masuk dan mempercayakan kondisi kesehatan psikologi pada ahli seperti psikolog atau psikeater.
Perilaku self-diagnose juga dapat dikurangi dengan tidak menormalisasi gangguan mental. Gangguan mental seharusnya diposisikan dengan pendekatan yang rasional dan empatik, daripada melihatnya hanya sebagai sebuah tren yang keren.
Selain itu gangguan kesehatan mental juga merupakan suatu hal yang kompleks, tidak hanya mengenai perubahan mood atau perasaan sedih yang berlebih saja, tetapi juga tentang perubahan hormon yang terjadi secara biologis. Perubahan hormon inilah yang kemudian mempengaruhi kondisi psikologis dan sosial kita. Namun perubahan hormon pula yang sulit untuk kita deteksi sendiri, sehingga membutuhkan bantuan tenaga professional untuk mengetahui secara pasti kondisi kesehatan kita.
Sumber: