[caption id="attachment_349869" align="aligncenter" width="360" caption="Pameran Foto "][/caption]
Bicara sejarah adalah bicara siapa yang berkuasa menentukan kisahnya. Biasanya rezim yang sedang berkuasalah menjadi "pengarang" sejarah untuk kelanggengan kekuasaannya. Tak heran jika beragam fakta dan peristiwa disunting, atau bahkan dihilangkan jika hal itu merugikan eksistensinya. Tak ada obyektifitas dalam sejarah. Di masa orde baru, tafsir sejarah dilakukan secara tunggal oleh rezim yang berkuasa, dan tafsir-tafsir lain yang dilakukan oleh rakyat, hampir pasti dikerangkeng. Reformasi 1998 merupakan momen bagi masyarakat untuk menawar ulang sejarahnya. Tidak hanya menafsir, tetapi praktek pengarsipan diartikan lebih luas dengan menggunakan berbagai teknologi media baru yang lebih populis.
Pameran Foto "Desaku" 25 Oktober 2014, yang digelar di SDN 3, Dlimas, Klaten, sebagai rangkaian acara "Festival Oktober" yang diselenggarakan oleh "Padepokan Kyai Suluh" bisa dimaknai sebagai upaya demokratisasi pendokumentasian sebuah desa. Padepokan Kyai Suluh yang dipimpin oleh seniman Rudi Yesus telah menggelar sekitar 500 foto yang merupakan hasil karya anak muda Desa Dlimas, Klaten. Dengan menggunakan medium telepon seluler, warga memotret desanya dari perspektifnya yang paling subyektif. Keberagaman subyektifitas dalam memandang sebuah "dunia," sadar atau tidak disadari adalah pembelajaran untuk menerima dan menghargai sebuah pemikiran yang berbeda.
Hal yang menarik dalam pameran foto ini adalah perpaduan antara literasi konten media, pemilihan penggunaan teknologi komunikasi, tanpa meninggalkan keterampilan tangan dan pemanfaatan bahan yang ada di sekitar desa. Mengenai teknologi, maka Analisis lembaga intelijen Amerika Serikat, CIA, menyebutkan bahwa jumlah pengguna ponsel di Indonesia mencapai 236,8 juta pelanggan seluler. Artinya penggunaan ponsel cukup merata di seluruh indonesia. Keputusan menggunakan ponsel dalam pameran ini memperlihatkan kepekaan terhadap teknologi sehari-hari yang digunakan masyarakat. Konten yang digelar dalam pameran ini sangat beragam, dari soal yang sangat pribadi seperti foto keluarga, teman, anak, kerabat, kegiatan desa, foto lama, hingga pemandangan desa. Yang menarik adalah foto-foto pemandangan desa yang ditampilkan rata-rata sangat indah. Sebenarnya ini sangat ironis mengingat keterancaman penyusutan lahan di berbagai desa di Klaten, termasuk Dlimas akibat serbuan beragam industri yang akan mengancam sumber daya alamnya. Seperti diketahui bahwa Klaten adalah lumbung padi nasional, serta memiliki sumber mata air yang berlimpah. Keberadaan pabrik-pabrik tentunya akan menghancurkan lingkungan dan sumber pangan serta air masyarakat setempat. Representasi foto pemandangan yang indah dalam pameran ini menggugah kembali ingatan dan kesadaran warga tentang keindahan dan kelimpahan sumber alam yang mereka miliki. Dalam keseharian, tentunya potensi luar biasa ini seringkali tidak lagi dianggap sesuatu yang istimewa. Apalagi sebagian warga tidak lagi hidup sebagai petani, sehingga nilai penting kesuburan tanah tidak terlalu dirasakan. Namun foto memungkinkan sebuah jarak, antara realita yang sebenarnya dan realitas visual. Foto mengkonstruksi kembali sebuah realitas untuk dimaknai secara berbeda. Foto pemandangan sawah yang indah dan damai hasil karya para fotografer belanda di zaman penjajahan sering dikategorikan sebagai "moi indie," yaitu foto-foto indah untuk menutupi penderitaan rakyat. Namun dalam pameran ini, foto pemandangan indah justru dibalik sebagai alat penyadaran publik atas kekayaan sumber alam desa.
[caption id="attachment_349875" align="aligncenter" width="300" caption="Foto keindahan pemandangan sawah "]
Di dalam pameran ini pula cukup banyak foto-foto kegiatan bersama masyarakat. Jika ditaruh dalam konteks kekinian dimana relasi antarwarga dalam sebuah komunitas sudah sedemikian individualistis, maka masa lalu yang penuh dengan kegiatan bersama menjadi sebuah kenangan yang memungkinkan warga desa ingin kembali pada situasi tersebut. Proses industrialisasi yang mencerabut masyarakat dari tanahnya, dan menjadi pekerja di berbagai sektor industri telah melahirkan kondisi alienasi atau keterasingan. Kebersamaan masa lalu lewat foto, bisa mendorong warga untuk menciptakan kembali nilai-nilai itu dengan cara-cara yang baru. Foto-foto wajah dan kegiatan orang tua yang ada di desa juga mengingatkan warga akan asal usul, kebijakan yang dimiliki oleh mereka yang telah sepuh. Dalam konteks ini, foto berusaha merajut kembali relasi antargenerasi. Generasi muda didorong untuk memaknai kembali para sesepuhnya bukan dengan perspektif "kuno", melainkan menghargai pengalaman hidup mereka yang bisa menjadi sumber pembelajaran.
Hal yang tak kalah menarik adalah pengemasan pameran foto yang menggunakan bahan-bahan alam yang ada di sekitar. Batang pohon pisang, bambu, kandang jangkrik. Seluruh bingkai ini dikerjakan dengan tangan dan menghabiskan waktu serta tenaga. Namun proses ini mengajarkan warga untuk mandiri dan tidak instan. Betapa banyak bingkai yang dijual di toko-toko foto dengan harga murah. Tetapi nilai praktis yang kini menjadi cara pandang dominan justru sedang dihancurkan dengan nilai yang mementingkan kemandirian dan penghargaan terhadap proses.
[caption id="attachment_349880" align="aligncenter" width="300" caption="Display Foto dengan Pohon Pisang "]
Dalam pembukaan acara ini, Rudi Yesus dari Padepokan Kyai Suluh mengatakan bahwa acara ini merupakan ajang bagi anak muda dan warga lainnya untuk belajar berbakti pada desanya, belajar kreatif, belajar menghargai lingkungan, belajar untuk saling mengasihi. Nilai-nilai yang semakin memudar ini hendak direvitalisasi kembali melalui kesenian, dengan merajut masa lalu, masa kini, sebagai landasan untuk menghadapi masa depan desa. Pada titik ini, arsip bukanlah sebuah proses pembekuan peristiwa, melainkan proses menghidupi kehidupan.*** (Ade Tanesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H