Mohon tunggu...
Ade Tanesia
Ade Tanesia Mohon Tunggu... Freelancer - Antropolog

Pemerhati Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Strategi Kebudayaan Pemerintah Baru, Berlanjut atau Terputus ?

6 Juli 2024   18:30 Diperbarui: 6 Juli 2024   18:37 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ade Tanesia 

Merindukan keluhuran nilai budaya manusia Indonesia di masa lalu sering dianggap sebagai romantisme belaka karena kebudayaan selalu dinamis. Benar bahwa kebudayaan selalu bergerak, tapi ke mana arah gerakannya? Apakah kebudayaan sekadar etalase pameran pembangunan ataukah justru metode yang melandasi pembangunan?

Dari Kebudayaan Etalase ke Kebudayaan Substantif

Pada masa Orde Baru, kebudayaan memang lebih diterjemahkan sebagai kesenian, difungsikan sebagai komoditas pariwisata, dan dilepaskan dari makna hakikinya. Sebuah tarian yang merayakan hasil panen direduksi maknanya menjadi pertunjukan seni yang indah semata. Diambil tariannya tetapi tanah sebagai sumber kehidupan dicerabut dari masyarakatnya. 

Akhirnya tarian itu tidak menemukan konteks sosialnya, menjadi komoditas semata. Paradigma kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan menempatkan  adanya kebudayaan yang lebih tinggi dari yang lainnya. Posisi kebudayaan di masa orde baru memang diletakkan sebagai "etalase" semata seperti yang ditulis oleh Nurman Hakim dalam artikel "Kebudayaan Etalase atau Kebudayaan Substantif" di  Kompas, 9 Juni 2024. 

Setelah reformasi, posisi kebudayaan yang menjadi satu dengan pariwisata masih belum bisa lepas dari kerangkeng "etalase." Namun dalam 10 tahun terakhir, Direktorat Jenderal Kebudayaan justru meletakkan kebudayaan sebagai hal yang substantif. 10 objek pemajuan kebudayaan adalah kategori yang menjadi "jalan masuk" untuk menggali dan merevitalisasi nilai-nilai budaya yang substantif.

Direktorat Jenderal Kebudayaan menempatkan seluruh aspek kebudayaan lokal dari beragam daerah setara, sehingga kebudayaan nasional bukan lagi puncak-puncak, tetapi relasi dalam keberagaman. Kebudayaan tidak semata dilihat secara fisik, tetapi persoalan-persoalannya dibedah untuk menjadi dasar kebijakan. 

Melalui Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, seluruh pemangku kepentingan kebudayaan baik dari unsur pemerintah daerah, masyarakat pelaku budaya bersama-sama merumuskan tantangan dan agenda pemajuan kebudayaan. Tantangan inilah yang berusaha dijawab oleh pemerintah melalui 7 agenda pemajuan kebudayaan yang kemudian tercermin dalam Perpres 114/2022 tentang Strategi Kebudayaan.

Kebudayaan Menjawab Tantangan Pembangunan

Sebagai contoh betapa substantifnya kebijakan kebudayaan sekarang, dapat ditinjau salah satu pokok Strategi Kebudayaan: "Memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem." Hal ini terwujud, antara lain, melalui program Sekolah Lapang Kearifan Lokal yang dijalankan Direktorat Kepercayaan & Masyarakat Adat. 

Dengan mengambil fokus pangan lokal, Sekolah Lapang Kearifan Lokal yang diselenggarakan selama 2023-2024 telah mengajak anak muda untuk menemu-kenali keberagaman pangan lokal yang ada di desanya.  Mengenali pangan lokal berarti belajar memahami pula tanah dan siklus serta tata cara tanam masyarakat, ritual, sastra lisan, tarian, dan objek pemajuan kebudayaan lain yang menyertainya. Pada titik inilah melindungi keanekaragaman hayati berarti melestarikan beragam aspek budaya lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun