Mohon tunggu...
Ade Tanesia
Ade Tanesia Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Budaya

Antropolog

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandi Anak Ragai, Pejuang Lingkungan Dayak Iban

20 Januari 2014   10:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari telah gelap saat kami memasuki kompleks rumah panjang (rumah panjae dalam bahasa Iban) Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Suara langkah kami di atas kayu rumah panjae pun memecahkan keheningan. Apai Janggut, Tuai Rumah Panjang, telah menyambut kami di ruai biliknya. Beliau sudah menunggu kedatangan kami dari siang hari, karena sedari awal Juli kami sudah melayangkan surat mengenai kedatangan ini.

Ia sangat sederhana, ramah, hangat menerima tamu yang berkunjung ke rumah panjang. Namun saat ditanya soal hutan adat, maka matanya bersinar tajam dan berbicaranya sungguh berapi-api. Sungguh, dibalik kesederhanaannya, kharisma beliautidak bisa disembunyikan. Kami beruntung bisa tinggal bersama Apai Janggut di biliknya. Ia menempati Bilik no. 16 bersama kedua adik perempuannya dan satu keluarga kemenakannya. Di bilik itu pula, Apai Janggut dilahirkan dari Ibundanya yang bernama Lendak, dan Ragai, ayahnya.Ragai adalah Tuai Rumah yang kemudian digantikan oleh Apai Janggut.  Nama aslinya Bandi, dan sering dipanggil Bandi Anak Ragai.Tidak terlalu jelas kapan tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Namun yang diingat, sejak zaman Jepang Bandi sudah remaja, atau sekarang berusia sekitar 80-an tahun. Sebelum menjadi Tuai Rumah, seperti pria Iban lainnya yang sering merantau, maka Bandi pun pernah bekerja di luar kampungnya. Pada tahun 1950an, Ia ikut bekerja membersihkan hutan untuk lapangan pesawat di Bandara Supadio Pontianak dan untuk lokasi transmigrasi, terutama di Rasau Jaya.Yang membawa rombongan mereka antara lain Sawa. Zaman itu, rumah penduduk Kota Pontianak masih rata-rata beratap nipah, terutama di Parit Pekong, Sungai Jawi dan wilayah lainnya. Kala itu Oevang Oerai belum jadi gubernur. Setelah dari Pontianak, Apai Janggut kembali lagi ke Sungai Utik naik kapal Nirup selama seminggu.

Setelah Ayahnya meninggal, pada tahun 1982, Bandi menerima mandat untuk menjadi Tuai Rumah Panjai. Melalui mandat tersebut, maka segala aturan berladang, hukum adat, gawai, ritual, dan berbagai hal yang terjadi pada masyarakat di rumah panjang menjadi tanggungjawabnya. Tentunya mandat ini bukan main-main, Ia harus menjalani tanggung jawab seluruh perjanjian kakek neneknya mengenai batas-batas hutan adatdengan suku-suku di sekitarnya. Ia mengatakan “Segala sesuatu ada batasnya. Sungai ada batas yang dalam dan dangkal, hidung pun batas antara mata, malam berbatas dengan siang. Oleh karena itu, hutan atau wilayah pun ada batasnya. Kami tahu batas hutan kami dengan tanda bukit, pohon, yang telah disepakati kakek-kakek jaman dulu. Kesepakatan itu yang kami harus pegang sampai sekarang,” ungkap Apai Janggut.

[caption id="attachment_317459" align="aligncenter" width="300" caption="Ruai Rumah Betang Iban, Sui Utik (Foto: Nunung Prasetyo) "]

13959629831962559587
13959629831962559587
[/caption]

Meski sudah cukup renta, namun Apai Janggut masih giat ke hutan dan berladang. Hampir setiap pagi ia sudah berkemas, untuk mengambil sayuran atau bahan makanan lain di hutan. “Dulu kami sekolah hanya dari orang tua kami, yang mengajari kami berladang, mengolah hutan ini,”ungkapnya suatu saat. Tidak heran saat kami diajak untuk masuk hutan, Apai Janggut begitu fasih memperkenalkan beragam jenis kayu yang ada di hutan.  Ada ratusan jenis kayu, dan nampaknya Beliau bisa menghafalnya luar kepala. Hutan adatSungai Utik kaya akan beragam jenis kayu. Jenis-jenis meranti dan kapur merupakan jenis dominan. Jenis kayu lainnya antara lain ladan, gerunggang (bahan pembuat sirap atap), kempas, dan jelutung. Masyarakat memanfaatkannya untuk bahan bangunan, bahan pembuat sampan, dan kayu bakar.

Kampung Darah Enggau Seput Kitae

“Bagi kami, orang Iban, hutan adalah darah dan nafas kami. Maka kami harus memeliharanya apapun yang ada di hutan, termasuk binatang yang ada,” ungkap Apai Janggut dengan tegas.. Maka pada pertengahan tahun 1984 saat terjadi pembalakan besar-besaran di ujung hutan adat, Apai Janggut bersama para tetua adat langsung mencari pimpinan penebangan pohon. Konon Apai Janggut menyampaikan pesan “pergi atau mati.” Mereka pun segera mengemasi barang-barangnya dan pergi. Tidak berhenti di situ, pada tahun 1999 gelombang pembalakan liar menimpa hutan-hutan di Kalimantan Barat, tak terkecuali di kawasan adat Sungai Utik. Seorang cukong kelas kakap, Apeng, menawarkan pembangunan fasilitas publik seperti jalan raya, listrik, air bersih, kepada dusun-dusun di sekitar itu. Untuk gantinya, maka masyarakat diminta untuk tidak mengganggu operasi kilang penggergajian kayu illegal miliknya. Meski banyak dusun yang menerima, tetapi warga Sungai Utik tetap menolak tawaran tersebut. Apai Janggut mengatakan “Apakah Apeng mampu menanggung biaya makan rakyat Sungai Utik seumur dunia?”

Untuk memperkuat perlindungan terhadap hutan adatnya maka pada tahun 1998 telah dilakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Lalu hukum adat pun didokumentasikan dan dicetak menjadi buku pegangan bagi masyarakat Iban di Ketemenggungan Jalai Lintang. Hukum adat yang masih dijalani masyarakat Iban Sungai Utik mampu menjadi benteng pertahanan untuk pemeliharaan hutan adatnya. Sebagai contoh, hukum adat menyatakan bahwa satu keluarga hanya boleh mengambil 30pohon dalam setahun. Itu pun dalam kenyataannya, terkadang satu keluarga hanya memotong 5 pohon dalam satu tahun. Beberapa keluarga bahwa tidak lagi menebang pohon dalam waktu yang cukup lama. Ini aturan penebangan pohon untuk keperluan keluarga, lain lagi aturanpenebangan pohon untuk komersial.

Meski telah memimpin masyarakatnya serta wilayah adatnya seluas 9,452 hektar selama 31 tahun, Apai Janggut masih khawatir akan masa depan wilayahnya. Hutan adat Sungai Utik memang telah menjadi yang pertama memperoleh sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang disaksikan langsung oleh Menteri Kehutanan MS Khaban. Bahkan pada tahun 2012, Sungai Utik memperoleh penghargaan sebagai Desa Peduli Kehutanan Republik oleh Menteri Kehutanan RI, Zulkfli Hasan. Meski telah meraih  penghargaan dalam melestarikan hutan adatnya,  belum berarti wilayah ini “aman.” Apai Janggut masih khawatir terjadinya perambahan hutan akibat industri kelapa sawit dan HTI. Hal ini disebabkan Sungai Utik berada di lintasan strategisdekat dengan perbatasan Serawak, Malaysia. Sementara serbuan industri kelapa sawit sudah memasuki wilayah-wilayah di perbatasan dan sekitar Danau Sentarum. “Saya selalu mengatakan pada generasi muda bahwa kalau sawit masuk maka kita menjadi kuli di tanah sendiri,” tegasnya. Oleh karena itu, Apai Janggut ingin sekali ada beragam budi daya pemanfaatan hutan agar ekonomi masyarakat juga bergerak lebih baik. “Yang kita punya hutan, rotan, tengkawang. Budidaya baru tanam karet dan gaharu. Padahal masih banyak yang bisa dibudidayakan. Contohnya di sini banyak sekali tanaman yang bisa menjadi obat-obatan. Belum ada penelitian untuk mengolah hutan ini lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.Harapan Apai Janggut ini sangat beralasan, karena dengan merasakan hasil hutan yang  optimal maka masyarakat kelak tidak mudah menyerahkan tanahnya kepada pihak lain.

Rumah Panjang Sungai Utik kini telah memperoleh status Situs Pariwisata. Sebenarnya status baru ini bisa dikelola oleh masyarakat untuk memperoleh pendapatan tambahan. Dengan status sebagai situs pariwisata, maka sebenarnya banyak hal yang bisa dikembangkan oleh warga Sungai Utik, misalnya pengembangan wisata edukasi tentang pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal budaya Iban. Namun hingga saat ini belum ada pendampingan atau sosialisasi mengenai pemanfaatan rumah panjang sebagai sebuah situs. Masyarakat membutuhkan aturan yang jelas tentang bagaimana mengelola sebuah situs. Pemeliharaan rumah panjang memang suatu hal yang sangat krusial untuk dilakukan, karena di Kalimantan Barat, bisa dikatakan hanya kawasan Kapuas Hulu yang masih mempunyai rumah panjang asli dimana masyarakat pun masih hidup di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun