Pemerintahan yang efektif memerlukan sentralisasi politik yang cukup untuk menciptakan stabilitas, mengelola kebijakan secara efisien, dan menegakkan hukum secara adil. Negara-negara yang terlalu terdesentralisasi atau tidak memiliki kontrol yang memadai sering kali menghadapi ketidakstabilan politik, yang dapat menyebabkan kebingungannya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Ketidakpastian hukum dan kurangnya sistem pengawasan yang efektif dapat menghambat pelaksanaan kebijakan yang berdampak pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Sentralisasi yang sehat memungkinkan pemerintah pusat untuk menetapkan arah kebijakan nasional yang konsisten, memastikan pelaksanaan yang merata di seluruh wilayah, dan mengatasi ketimpangan regional. Hal ini juga memudahkan implementasi kebijakan ekonomi yang dapat mendukung pembangunan infrastruktur, sektor pendidikan, dan layanan publik secara menyeluruh. Dalam konteks ini, pemerintah pusat memiliki kapasitas untuk merancang dan menegakkan kebijakan yang dapat menciptakan keseimbangan antara pembangunan daerah dan kesejahteraan nasional.
Namun, penting untuk menyeimbangkan antara kontrol pusat dan pemberian otonomi kepada pemerintah daerah. Desentralisasi yang terlalu ekstrem dapat menciptakan ketidaksetaraan antar wilayah, terutama jika daerah tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk melaksanakan kebijakan secara efektif. Dengan sentralisasi yang tepat, pemerintah dapat memastikan adanya pengawasan yang adil dan pengalokasian sumber daya yang lebih merata. Ini menciptakan dasar yang kuat bagi kestabilan politik dan perekonomian yang lebih inklusif, di mana semua lapisan masyarakat memiliki akses terhadap peluang yang setara.
Sebaliknya, jika kontrol terlalu terpusat dan tidak ada mekanisme yang memungkinkan fleksibilitas di tingkat lokal, negara juga berisiko menghadapi ketidakpuasan sosial yang bisa memicu ketidakstabilan. Oleh karena itu, sentralisasi yang sehat dan terkoordinasi dengan kebijakan desentralisasi yang tepat dapat menciptakan sistem pemerintahan yang lebih responsif, efisien, dan adil, yang pada akhirnya akan mendukung perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
3. Peristiwa Kritis dalam Sejarah
Acemoglu dan Robinson menekankan bahwa peristiwa sejarah memainkan peran kunci dalam membentuk institusi suatu negara. Dalam banyak kasus, negara yang terjebak dalam pola institusi eksklusif mengalami kesulitan untuk beralih ke pola yang lebih inklusif, meskipun ada potensi untuk perubahan. Peristiwa sejarah, seperti penjajahan atau revolusi, dapat menciptakan momentum untuk perubahan, tetapi jika tidak dikelola dengan baik, institusi eksklusif dapat tetap bertahan dan menghambat kemajuan.
4. Peran Elite dalam Mempertahankan Kekuasaan
Elite yang berkuasa sering kali menolak reformasi yang dapat merugikan posisi mereka. Mereka cenderung mempertahankan sistem yang menguntungkan mereka, bahkan jika itu merugikan sebagian besar masyarakat. Dalam konteks ini, elit dapat mencegah perubahan institusi yang lebih inklusif dan menjaga struktur yang eksklusif. Ini menciptakan ketimpangan yang berkelanjutan dan menghambat mobilitas sosial serta pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulan
"Why Nations Fail" menyimpulkan bahwa institusi adalah faktor penentu utama keberhasilan atau kegagalan suatu negara. Negara dengan institusi inklusif akan memiliki lebih banyak peluang untuk berkembang, menciptakan kemakmuran, dan menciptakan masyarakat yang adil. Sebaliknya, negara dengan institusi eksklusif akan mengalami kemiskinan, ketidaksetaraan, dan stagnasi ekonomi.
Melalui pemahaman ini, buku ini mengajak kita untuk lebih kritis dalam menilai sistem politik dan ekonomi yang ada di negara-negara di seluruh dunia. Keberhasilan atau kegagalan suatu negara sangat bergantung pada pilihan institusi yang ada, dan perubahan institusi yang lebih inklusif dapat membuka jalan bagi masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan.