Mampu bertoleransi berarti mampu secara konsisten untuk menghargai sebuah perbedaan. Tidak membeda-bedakan agama, suku, budaya, maupun ras antargolongan. Sejatinya, Toleransi itu selalu menjaga untuk tidak berburuk sangka pada orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai bentuk penghargaan terhadap hak dan kedudukan yang dimiliki oleh setiap orang.
Toleransi berasal dari kata “Tolerare” (bahasa latin) yang artinya sabar membiarkan sesuatu terjadi. Tolerasi adalah sikap menghargai, membolehkan, membiarkan sebuah pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan kelakuan. Toleransi secara umum merupakan perilaku manusia yang tidak menyimpang dari nilai-nilai agama, hukum, sosial dan budaya, di mana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang dilakukan orang lain.
Di negara kita marak terjadi intoleransi dan diskriminasi antarumat beragama. Mulai dari penyerangan dan pembakaran yang terjadi di Distrik Karubaga, Tolikara, Papua pada tanggal 19 Juli 2015, kasus penistaan agama yang dilakukan petinggi negara bahkan sampai perkara ulama Habib Riziq.
Unsur agama merupakan hal utama dan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Intoleransi dan diskriminasi terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam bertoleransi dan kurangnya iman masing-masing umat. Semua tahu bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan dan hidup bertoleransi antarumat beragama.
Dalam kehidupan penulis di lingkungan Cianjur sebagai Kota Santri, amat terasa. Saya menyebutnya di sini lahir para ulama Jumhur, dan tak pelak dengan sebutan Gerbang Marhamah. Mengingat jejak sebagian perjuangan ulama hingga kemudian wilayah ini ada, sebelum Indonesia merdeka dan berdaulat. Lanjutannya, kini, dengan gerakan yang dicanangkan Bupati Cianjur, Irvan Rivano Muchtar dalam mengembalikan jadi diri sebagai Kota Santri.
Aneka kegiatan diluncurkannya bertubi-tubi mulai dari kegiatan Program Insan Rabbani Mandiri (IRM) yang menganggarkan 100 milyar rupiah per tahun untuk bidang keagamaan. Mata programnya mencetak seribu penghafal Al Quran, memberikan bantuan fisik kepada seribu Madrasah Diniyah Takmiliyah dan Pendidikan Al Quran serta Pesantren dan memberikan bantuan senilai Rp. 10 juta untuk masjid jami tingkat desa. Bahkan gerakan shalat Subuh berjamaah dan Ashar Mengaji di Masjid Agung bagi kami yang PNS diberlakukan menjadi sebuah amanah dan ukhuwah artarumat.
Dari dalamKeluarga
Jika kita menginginkan kehidupan yang rukun, harmonis, damai dan tenteram kita harus menerapkan sikap toleransi dengan baik. Bagaimana kita bisa menekankan agar kita jangan berperilaku intoleran terhadap orang lain, jika diri sendiri tidak bisa berperilaku toleran.
Toleransi merupakan hal yang hakiki. Masing-masing orang akan beda cara bertoleransinya. Cara toleransi setiap orang akan berbeda-beda bergantung dari cara pribadinya dalam menafsirkan sebuah permasalahan. Toleransi harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri sendiri dan keluarga.
Peran orang tua sangat penting dalam menanamkan perilaku toleransi sejak dini pada anak-anaknya. Seorang anak yang diperlakukan adil dan selalu dihargai oleh orang tua dan lingkungan keluarganya, tentu dia akan tumbuh menjadi anak yang taat hukum karena pertumbuhan mentalnya seimbang dan tidak merasa disisihkan.
Bila kita melarang anak berbuat “A”, maka kita pun jangan berbuat “A”, karena agama apa pun pasti memerintahkan untuk saling mengasihi kepada sesama. Pribadi yang toleran adalah pribadi yang mampu secara konsisten untuk menghargai sebuah perbedaan. Tidak membeda-bedakan agama, suku, budaya, maupun ras antargolongan. Sejatinya, Toleransi itu selalu menjaga untuk tidak berburuk sangka pada orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai bentuk penghargaan terhadap hak dan kedudukan yang dimiliki oleh setiap orang.