Industri hiburan di Indonesia adalah dunia yang gemerlap. Ia menyuguhkan cerita yang memikat, lagu yang menginspirasi, dan figur publik yang menjadi teladan. Namun, di balik semua itu, ada sebuah kenyataan pahit yang jarang dibicarakan secara mendalam: objektifikasi perempuan. Fenomena ini bukan hanya soal eksploitasi tubuh, tetapi juga tentang bagaimana perempuan direduksi menjadi objek visual atau seksual demi kepentingan ekonomi dan budaya. Â
Fenomena ini begitu melekat dalam industri hiburan sehingga sering kali tidak disadari. Dalam dunia periklanan, perempuan dijadikan alat pemasaran yang efektif. Tubuh mereka dipotret dalam pose dan pakaian tertentu yang dirancang untuk menarik perhatian, bukan untuk mengomunikasikan pesan yang bermakna. Sebuah penelitian oleh Herry Hermawan dan Radja Erland Hamzah (2017) mencatat bahwa iklan parfum di Indonesia cenderung mengeksploitasi sensualitas perempuan. Mereka digambarkan sebagai simbol daya tarik seksual, sementara narasi tentang kualitas produk menjadi latar belakang yang nyaris terlupakan. Â
Dalam film dan sinetron, pola ini juga berulang. Perempuan sering kali ditempatkan dalam peran stereotipikal: seorang ibu yang pasif, seorang istri yang tunduk, atau seorang gadis muda yang hanya menarik karena kecantikannya. Karakter mereka jarang diberi kedalaman emosional atau intelektual. Sebaliknya, mereka dijadikan alat naratif untuk mendukung cerita laki-laki. Representasi ini mempertegas norma patriarkal yang telah lama mendominasi masyarakat Indonesia. Â
Objektifikasi perempuan ini tidak hanya merugikan individu yang terlibat dalam industri hiburan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Perempuan yang bekerja di dunia hiburan sering menghadapi tekanan besar untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis. Mereka dipaksa menjaga tubuh ideal, yang sering kali berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental mereka. Beberapa bahkan menjadi korban pelecehan seksual, yang jarang mendapatkan perhatian serius dari publik atau pihak berwenang. Â
Di sisi lain, media yang terus-menerus menampilkan perempuan sebagai objek visual menciptakan generasi muda yang tumbuh dengan persepsi keliru tentang nilai perempuan. Anak-anak dan remaja belajar bahwa perempuan hanya berharga jika mereka cantik, kurus, dan menarik secara fisik. Pandangan ini tidak hanya merusak citra diri perempuan muda tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan gender di masyarakat. Â
Namun, apakah perubahan itu mungkin? Jawabannya adalah ya, meski tidak mudah. Salah satu langkah awal adalah mendorong media untuk mengambil peran yang lebih bertanggung jawab. Penyedia konten harus berani memproduksi program dan iklan yang menampilkan perempuan dalam peran yang kuat, beragam, dan bermakna. Film seperti "Dua Garis Biru" Â telah membuktikan bahwa cerita yang menampilkan perempuan secara utuh dapat menarik perhatian dan apresiasi luas. Â
Selain itu, pemerintah harus memainkan perannya. Regulasi yang tegas diperlukan untuk mengontrol konten media yang jelas-jelas mengeksploitasi tubuh perempuan. Kebijakan semacam ini tidak hanya melindungi perempuan dalam industri hiburan tetapi juga membantu membentuk budaya media yang lebih sehat. Â
Pendidikan juga menjadi kunci. Generasi muda perlu diajarkan untuk mengenali dan menolak objektifikasi. Sekolah-sekolah dapat memasukkan pelajaran tentang kesetaraan gender dalam kurikulum mereka, sementara kampanye publik dapat membantu meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat umum. Â
Di tingkat global, gerakan seperti #MeToo telah menunjukkan kekuatan kolektif perempuan dalam menentang pelecehan dan eksploitasi. Di Indonesia, gerakan ini masih dalam tahap awal, tetapi memiliki potensi besar untuk membawa perubahan. Dengan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat, gerakan ini dapat membantu menciptakan ruang yang lebih aman dan adil bagi perempuan dalam industri hiburan. Â
Industri hiburan memiliki kekuatan besar untuk membentuk budaya dan persepsi publik. Jika digunakan dengan bijak, ia dapat menjadi alat yang luar biasa untuk mempromosikan kesetaraan gender dan menghormati perempuan sebagai individu yang utuh. Tetapi untuk mencapai itu, kita semua harus berperan. Masyarakat harus memilih untuk mendukung konten yang menghormati perempuan. Pelaku industri harus berkomitmen untuk menciptakan karya yang lebih inklusif. Pemerintah harus memastikan regulasi ditegakkan. Â