Pendidikan anak perempuan adalah fondasi dari perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang berkelanjutan. Dalam sejarah peradaban manusia, pendidikan telah menjadi alat utama untuk memberdayakan individu dan menciptakan masyarakat yang lebih adil. Namun, ironisnya, pendidikan anak perempuan, yang memiliki dampak paling transformatif, sering kali diabaikan atau dihambat oleh berbagai tantangan struktural. Meski dunia telah mencapai kemajuan signifikan dalam mendorong pendidikan untuk semua, pertanyaan kritis tetap muncul: mengapa begitu banyak anak perempuan masih tertinggal dalam hal pendidikan? Dan apakah pendidikan mereka benar-benar menjadi prioritas di era modern ini?
Di berbagai belahan dunia, pendidikan anak perempuan tidak hanya menjadi persoalan akses, tetapi juga refleksi dari sistem sosial dan budaya yang patriarkal. Data UNESCO pada 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 129 juta anak perempuan tidak bersekolah, dengan 97 juta di antaranya berada pada usia pendidikan dasar dan menengah pertama. Sebagian besar kasus ini terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana kemiskinan, ketimpangan gender, serta konflik bersenjata menjadi hambatan utama. Di Afghanistan, misalnya, pendidikan anak perempuan kembali menjadi sorotan dunia ketika pemerintahan baru melarang anak perempuan melanjutkan pendidikan menengah dan tinggi. Larangan ini tidak hanya merampas hak mereka, tetapi juga menciptakan siklus ketidakadilan yang merusak peluang mereka untuk memperbaiki masa depan.
Selain faktor politik, budaya sering kali menjadi penghalang yang paling sulit ditembus. Dalam masyarakat yang masih mengakar kuat pada norma tradisional, anak perempuan sering dianggap sebagai tanggung jawab keluarga yang "segera berpindah tangan" melalui pernikahan. Ketika nilai perempuan diukur dari kemampuannya memenuhi peran domestik, pendidikan menjadi sesuatu yang dianggap tidak relevan. Sebuah studi dari Girls Not Brides (2020) menunjukkan bahwa satu dari lima anak perempuan di negara-negara berkembang menikah sebelum usia 18 tahun. Pernikahan dini ini menghentikan pendidikan mereka, membatasi potensi mereka, dan sering kali menjerumuskan mereka dalam lingkaran kemiskinan dan ketergantungan. Bayangkan seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang dipaksa meninggalkan sekolahnya, menyerahkan mimpi-mimpinya, dan menjalani peran dewasa sebelum waktunya. Kehilangan ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang peluang yang hilang bagi masyarakat secara keseluruhan.
Kemiskinan juga memainkan peran besar dalam menghambat pendidikan anak perempuan. Di keluarga dengan sumber daya terbatas, anak laki-laki sering kali diprioritaskan untuk bersekolah karena mereka dianggap sebagai calon pencari nafkah utama. Anak perempuan, di sisi lain, sering diminta membantu pekerjaan rumah tangga atau bahkan bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Pilihan ini mencerminkan paradigma ekonomi jangka pendek yang mengabaikan dampak besar pendidikan anak perempuan terhadap perekonomian keluarga di masa depan. Penelitian dari World Bank (2018) menunjukkan bahwa setiap tahun tambahan pendidikan untuk perempuan meningkatkan pendapatan mereka hingga 20 persen. Jika anak perempuan dibiarkan tetap di sekolah, mereka tidak hanya akan memperbaiki kualitas hidup mereka sendiri, tetapi juga membawa manfaat ekonomi yang signifikan bagi keluarga dan masyarakat mereka.
Selain faktor ekonomi dan budaya, hambatan infrastruktur juga sering kali menjadi tantangan yang menghalangi pendidikan anak perempuan. Di banyak daerah terpencil, sekolah berada jauh dari pemukiman, memaksa anak perempuan berjalan berjam-jam untuk mencapainya. Perjalanan ini tidak hanya melelahkan, tetapi juga berbahaya. Banyak anak perempuan menjadi korban pelecehan seksual atau kekerasan di perjalanan menuju sekolah, membuat orang tua mereka merasa lebih aman jika mereka tetap di rumah. Ketidakamanan ini semakin diperparah oleh kurangnya fasilitas sanitasi di sekolah. Ketika anak perempuan memasuki masa pubertas, ketidakhadiran toilet yang layak sering kali memaksa mereka berhenti sekolah. Masalah kecil seperti sanitasi, yang sering diabaikan dalam diskusi besar tentang pendidikan, ternyata memiliki dampak besar terhadap keberlanjutan pendidikan anak perempuan.
Namun, tantangan yang dihadapi anak perempuan tidak berhenti hanya pada akses ke pendidikan. Mereka yang berhasil mengatasi hambatan ekonomi, budaya, dan infrastruktur sering kali menghadapi diskriminasi di dalam sistem pendidikan itu sendiri. Kurikulum yang bias gender, metode pengajaran yang tidak inklusif, dan stereotip yang mengakar tentang peran perempuan dalam masyarakat sering kali membuat anak perempuan merasa tidak dihargai atau tidak mampu. Di banyak sekolah, bidang studi seperti sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) masih dianggap sebagai "wilayah laki-laki." Akibatnya, meskipun perempuan telah mulai mengejar pendidikan tinggi dalam jumlah yang hampir setara dengan laki-laki, mereka tetap kurang terwakili di bidang yang memiliki prospek pendapatan tinggi ini.
Namun, meski tantangan ini tampak besar, ada banyak alasan untuk optimis. Sejarah menunjukkan bahwa investasi dalam pendidikan anak perempuan memberikan hasil yang luar biasa. Sebuah laporan dari UNESCO (2020) menyebutkan bahwa anak perempuan yang menyelesaikan pendidikan menengah memiliki peluang 50 persen lebih besar untuk melanjutkan pendidikan tinggi dibandingkan mereka yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Selain itu, anak perempuan yang terdidik lebih cenderung menikah di usia yang lebih matang, memiliki anak lebih sedikit, dan mampu memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Efek ini tidak hanya mengangkat keluarga mereka dari kemiskinan, tetapi juga menciptakan siklus positif yang memperkuat masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa negara telah menunjukkan bahwa perubahan adalah mungkin. Rwanda, misalnya, berhasil meningkatkan partisipasi anak perempuan dalam pendidikan tinggi melalui kebijakan afirmatif yang memberikan beasiswa dan dukungan khusus bagi mereka. Di India, program "Beti Bachao Beti Padhao" berfokus pada meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan anak perempuan sekaligus mengatasi diskriminasi gender. Keberhasilan inisiatif ini membuktikan bahwa dengan komitmen politik yang kuat dan kolaborasi lintas sektor, hambatan terhadap pendidikan anak perempuan dapat diatasi.
Namun, upaya ini harus lebih dari sekadar program atau kebijakan. Pendidikan anak perempuan membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan perubahan budaya, penghapusan norma patriarkal, dan pemberdayaan masyarakat. Dunia internasional juga memiliki peran besar untuk dimainkan, baik melalui pendanaan, kemitraan global, maupun advokasi hak asasi manusia. Kita tidak dapat menganggap pendidikan anak perempuan sebagai prioritas jika tindakan nyata tidak diambil untuk menjawab tantangan-tantangan yang ada.
Pendidikan anak perempuan adalah hak asasi manusia, tetapi lebih dari itu, pendidikan mereka adalah kunci untuk menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan sejahtera. Jika dunia ingin benar-benar berubah, maka pendidikan anak perempuan harus menjadi prioritas mutlak, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam tindakan nyata. Sebagaimana Malala Yousafzai pernah berkata, "Dengan satu buku, satu pena, satu guru, dan satu siswa, kita dapat mengubah dunia." Dunia sekarang hanya perlu memastikan bahwa setiap anak perempuan mendapatkan kesempatan untuk memegang buku itu, menggunakan pena itu, dan menemukan potensinya.