Mereka meributkan dana aspriasi. Dana itu akan dititipkan ke kementerian yang pengelolaannya berdasarkan disposisi anggota dewan. Kira-kira begitu. Dana itudikelola kementerian untuk membiayai urusan pemerintahan daerah. Jadi modelnya semacam dekonsentrasi yang selama ini dipraktekan yang tidak tepat sasaran, tidak menyentuh substansi permasalahan di daerah, dan tidak sesuai dengan undang-undang otonomi daerah.
Mereka (DPR dan pemerintah) sepakat membuatpaket undang-undang otonomi daerah yaitu, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan PemerintahanDaerah. Tapi lihatlah amanah dalam kedua undang-undang itu mereka langgar dengan sendirinya. Konsekuensi dari kehadiran kedua undang-undang itu adalah, daerah otonom yakni masyarakat, pemda dan DPRD-nyalah yang berhak menentukan arah dan kebijakan daerahnya.
Masyarakat dan pemerintahan daerahlah yang menentukan seperti apa daerah itu akan dibangun, pembangunan infrastruktur apa yang akan dibangun, bukan DPR dan pemerintah pusat yang mengatur bahwa daerah A harus dibangunkan sekolah, daerah B harus dibangunkanjalan usaha tani, daerah C harus dibangunkan rumah sakit, dstnya.
Sepuluh tahun yang lalu, semestinya otonomi daerah yang diwujudkan dengan penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah (desentralisasi) dilaksanakan. Namun, apa yang kita lihat, mereka (DPR dan pemerintah) meributkan anggaran untuk mengurus urusan pemerintahan daerah. Ironis sekali, satu dekada sudah arogansi itu diperagakan tanpa ada daerah yang mau berteriak, bahwa wilayah kekuasaan mereka telah dirampas pusat.
Konsekuensi dari penyerahan urusan (desentralisasi) adalah penyertaan dana disetiap urusan yang didesentralisasikan (Pasal 12 UU No. 32/2004). Penyertaan dana itu diserahkan ke daerah sebagai sumber keuangan daerah (APBD). Untuk itu, dana itu harus diserahkan dalam bentuk dana alokasi khusus (DAK), untuk membiayaisetiap sektor/urusan/bidang.
Misalnya, di bidang pendidikan. Urusan pendidikan sudah diserahkan ke daerah. Untuk itu, Pemerintah dan DPR harus mengalokasikan DAK sektor pendidikan. Dana ini akan menjadi sumber keuangan daerah (APBD), dan dana ini akan digunakan sesuai kesepakatan masyarakat dengan pemda dan DPRDnya (melalui musrembang, misalnya) untuk dibangunkan sejumlah sekolah untuk menampung puluhan ribu anak putus sekolah, misalnya.
Bukan yang selama ini diperagakan pemerintah pusat melalui dana BOS (bantuan Opersional Sekolah). Dana BOS digunakan untuk membiayai pengadaan buku pengajaran, membiayai pendaftaran siswa baru, honorarium guru, transportasi siswa miskin, dstnya. Urusan yang semestinya menjadi kewenangan pemda. Sangat ironis.
Kembali ke dana aspirasi yang sudah final ditingkat dewan, tinggal menunggu penjelasan pemerintah melalui Nota Keuangan APBN 2011 nanti. Artinya keduanya bisa saling mengancam. DPR bisa saja mengancam jika pemerintah tidak mengalokasikan dana aspirasi. Sebaliknya, pemerintah bisa juga mengancam fraksi koalisi untuk hengkang dari koalisi jika ngotot.
Tampak arogansi keduanya mengurus daerah. Mereka mencampuri urusan pemerintahan daerah. Sebaliknya, urusan mereka (pusat) dalam hal pengawasan dan pembinaan kepada daerah otonom terabaikan. Untuk itu, kepada pemerintah dan DPR kembalikan saja sistem penganggaran keuangan berdasar prinsip pengelolaan keuangan berbasis kinerja. Serahkan dana itu ke tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampakyang ditimbulkan. Jakarta tidak perlu mengurus Desa Tanjung di Muna Sultra, jauh amat! Biarkan desa itu diurus oleh pemdanya melalui APBD. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H