Ada tiga potensi sekaligus aset daerah yang penting untuk dikelola dengan baik guna terciptanya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif, yakni pegawai daerah, keuangan daerah, dan barang daerah. Jika satu (saja) dari ketiga diatas tidak tertangani dengan baik, maka tugas utama penyelenggaraan pemerintahan yakni pelayanan publik tidak akan berjalan optimal.
Hampir merata disetiap daerah, menjelang pemilukada para kepala daerah baik yang ingin mencalonkan diri kembali ataupun yang menjagokan orang lain, ketiga hal mendasar diatas ”digaruk” sehingga menyalahi ketentuan yang berlaku.
Kerisauan ini juga dirasakan Presiden SBY. Dihimbau kepada seluruh kepada daerah dan aparat daerah agar tidak menggunakan dana APBD sebagai keuangan daerah untuk berkampanye. Bukan dana APBD saja, tapi kendaraan dinas sebagai barang daerah juga dilarang dalam ketentuan untuk digunakan berkampanye termasuk pegawai daerah dilarang dilibatkan atau terlibat dalam berkampanye.
Namun yang terakhir ini, biasanya publik, juga orang-orang di pusat (Jakarta) kurang begitu menyaksikan ekses yang diterima pegawai daerah yang profesional menyikapi pemilukada. Pegawai (PNS) dilarang berpolitik, yakni menjadi anggota partai politik dan ikut/menghadiri kampanye politik. Tetapi pegawai memiliki hak politik, yakni menentukan sikap dengan memberikan suaranya saat pemilu/kada itu digelar.
Bak ketimpa petir disiang bolong, pegawai daerah khususnya mereka yang menduduki jabatan struktural ketika pemilukada itu semakin mendekati hari H tiba-tiba dikejutkan dengan undangan pelantikan. Menghadiri pelantikan bukan untuk naik eselon, tapi malah di-nonjob-kan. Mutasi demi mutasi dilakukan kepala daerah dengan alasan rotasi, penyegaran, dan lain sebagainya. Dengan entengnya kepala daerah yang notabanenya Pejabat Pembina Pegawai daerah bukan membina pegawainya malah mematikan karir pegawainya.
Pasca pemilukada perombakan pejabat struktural kembali dilakukan. Kepala daerah baru biasanya mengakomodir pegawai-pegawai yang membantunya saat pemiluada atau dikenal sebagai “tim sukses”. Akhirnya, pegawai daerahlah yang menikmati rezekinya sekaligus merasakan sialnya dampak pemilukada.
Jika mengacu ketentuan dalam PP No. 100/2000, pemberhentian, pemindahan dan pengangkatan dalam jabatan struktural harus melalui kajian Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Tentu hal mendasar yang dikaji adalah kepangkatan, prestasi kerja, pola karir, dan syarat kompetensi lainnya.
Sebagai Pejabat Pembina Pegawai Daerah, kepala daerah sedianya membina pegawainya bukan mematikan karir pegawainya hanya karena tidak sejalan sikap politiknya. Pemindahanm pengangkatan dan pemberhentian pejabat struktural telah memiliki pedoman yang jelas. Pegawai yang terlibat berpolitik, silahkan di-nonjob-kan, tapi pegawai yang konsen dengan tugas kewajibannya, mengapa harus di-nonjob-kan. Jabatan struktural bukan jabatan politik, sehingga tidak harus menanggung resiko politik kepala daerah.
Perlunya Perda
Di Sulawesi Tenggara (Sultra), saat ini sedang digagas Raperda Pedoman Pengangkatan PNSD Dalam Jabatan Struktural. Raperda ini hak prakarsa DPRD Sultra bersamaan dengan Raperda Pengelolaan Barang Milik Daerah. Jika raperda-raperda ini disetujui menjadi raperda prakarsa DPRD, maka pemerintah daerah akan diberikan ruang atau forum resmi lainnya untuk memberikan pandangan dan pendapatnya.
Sungguh ironis, perda pedoman pengangkatan PNSD dalam jabatan struktural belum ada di 12 Kabupaten/Kota di Sultra termasuk pemerintah provinsi yang sedang mencoba merintis melalui hak prakarsa DPRD. Padahal, perda ini diamanatkan 10 tahun yang lalu melalui PP No. 100/2000. Kehadiran perda ini perlu didukung, karena selain diamanatkan dalam peraturan pemerintah tersebut, juga dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan daerah akan berjalan apabila ditunjang dengan produk lokal yang bernama peraturan daerah.
Pertimbangan yuridis lainnya, dalam PP No. 38/2007 tentang pembagian urusan, diamanatkan bahwa penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat adalah kewenangan pemerintah daerah provinsi. Demikian pula PNS kabupaten/kota, adalah kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Secara substansi, perda ini dapat menjadi instrumen bagi pembinaan pegawai daerah yakni dalam rangka menjamin obyektivitas dan transparansi kebijakan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai negeri sipil daerah dalam dan dari jabatan struktural, serta adanya kepastian hukum bagi pegawai daerah dalam mengembangkan karirnya. Pada akhirnya, perda ini juga akan menjadi instrumen bagi DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Pegawai daerah merupakan ujung tombak pelaksanaan fungsi utama birokrasi yakni pelayanan kepada publik yang secara langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat. Untuk itulah pegawai daerah perlu dibina berdasarkan obyektivitas dan profesionalisme, bukan dibina berdasarkan rasa suka tidak suka karena perbedaan sikap politik. Wallahu’Alam(***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H