Dugaan suap yang membelit pejabat Kemenakertras pada dasarnya adalah hanya letupan otonomi daerah (otda), karena ledakan dahsyat sesungguhnya menengarai seluruh Kementerian/Lembaga RI. Seluruh Kementerian/Lembaga yang telah mengalokasikan sejumlah dana untuk pembangunan fisik di daerah ditengarai telah mengabaikan ketentuan penganggaran yang digariskan undang-undang otonomi daerah. Akibatnya, dampaknya luar biasa. Bukan saja potensi korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat besar, tetapi dana-dana tersebut menjadi tidak tepat sasaran dan tidak menyentuh substansi persoalan pembangunan di daerah.
Untuk mendapatkan dana-dana tersebut setiap daerah berbondong-bondong memohon jatahnya ke pusat. Berbagai cara ditempuh. Mencari dan menghubungi “kaki tangan” pejabat Kementerian ataupun anggota DPR. Lahir kemudian profesi informal, para calo APBN yang berkeliaran di gedung DPR ataupun di kantor Kementerian. Diduga profesi ini ada yang dirangkap jabatan. Selain sebagai calo mereka pun ada yang bekerja secara resmi karena diangkat melalui SK (Surat Keputusan) untuk suatu jabatan formal. Lebih ironis lagi, profesi calo diakui dan dihormati oleh para pejabat daerah. Apapun yang dikatakan calo, pejabat daerah yang menginginkan dana-dana pusat agar turun ke daerahnya diikuti, menyuappun mereka manut.
Itulah potret penganggaran di pusat, ditengah komitmen pemerintah (pusat) melalui undang-undang otonomi daerah menyelenggarakan desentralisasi untuk daerah otonom. Pemandangan yang tidak perlu ada, jika saja pemerintah konsisten mengaktualisasikan otonomi daerah lebih utuh.
Pemerintah keliru mengalokasikan sejumlah dana untuk berkontribusi dalam hal pembangunan fisik di daerah. Selain Program P2IDT di Kemenakertras, kita juga mengenal program PNPM di Kementerian PDT; BOS di Kemendikas; Jamkesmas, Jampersal dan BOK di Kemenkes; dan beberapa kementerian lainnya.
Undang-undang telah mengatur mekanisme pembiayaan pembangunan di daerah hanya bisa ditempuh dengan 3 (tiga) mekanisme penganggaran, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Jika anggaran tersebutmelekat di Kementerian/Lembaga maka yang bisa diberikan ke daerah adalah kegiatan/proyek dalam rangka dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan. Sebaliknya, jika dananya diserahkan sebagai sumber penerimaan daerah dalam bentuk dana perimbangan (DAU, DAK, dan DBH) maka proyek/kegiayan adalah urusan desentralisasi. Pengalokasian DAU dan DBH telah memiliki formulasi tertentu, sehingga potensi melalui mekanisme DAK lebih berpeluang untuk suatu proyek/kegiatan fisik yang ditentukan pemerintah (pusat).
Saya ambil contoh kasus Program P2IDT di Kemenakertrasn yang saat ini disoalkan dan telah masuk ranah hukum pidana, padahal persoalan awal program ini adalah melanggar hukum ketatanegaraan kita.
P2IDT, program yang dananya melekat di Kemenakertrans digunakan untuk proyek transmigrasi di Papua. Tidak ada aturan perundang-undangan otda yang membenarkan mekanisme penganggaran ketransmigrasian dari Kemenakertrans ke Papua, kecuali kemenakertras telah mengada-adain sendiri.
Jika disebut mekanisme dekonsentrasi yang digunakan, mestinya urusan/kegiatan yang menjadi subyek proyek adalah kegiatan-kegiatan non fisik, tidak berupa jalan ketransmigrasian, seperti yang menjadi salah satu item kegiatan/proyek P2IDT.
Jika disebut mekanisme tugas pembantuan, mestinya urusan/kegiatan yang akan dikelola adalah urusannya pemerintah (pusat). Contohnya urusan pusat yang ditugaspembantuankan : pembangunan Wisma Atlit di Palembang.
Lalu, disebut desentralisasi juga apalagi, sangat tidak tepat, karena dananya melekat di Kemenakertras. Semestinya dana tersebut masuk sebagai komponen dana perimbangan di APBD Papua. Urusan/kegiatan yang menjadi subyek proyek sudah tepat, urusan desentralisasi, tapi mekanisme penganggarannya adalah representasi dari dekonsentrasi atau tugas pembantuan.
Pasal 237 UU No. 32 Tahun 2004, menjelaskan bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini (baca : UU No. 32/2004). Ini artinya, peraturan menteri, peraturan presiden, peraturan pemerintah, bahkan undang-undang pun jika materinya mengatur secara langsung terkait daerah otonom, maka wajib untuk menyesuaikan dan bersandar pada ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004.
Jika hal ini terus dibiarkan, dan lebih ironis lagi sudah berlangsung lebih dari satu dekade (sejak UU No. 22/1999), maka tentu tidak heran kesenjangan pembangunan pusat (Jakarta) dengan daerah semakin besar. Daerah-daerah yang potensi penerimaannya kecil, akan semakin tertinggal, sedang daerah-daerah yang punya dukungan dana untuk melobi ke pusat, bisa bersaing dengan Jakarta.
Kita telah bersepakat bahwa republik ini berdasar atas hukum, tapi kita telah membangun daerah-daerah direpublik ini berdasar atas lobi. Apakah letupan otda di Kemenakertras belum cukup untuk kita menyadari bahwa praktek penganggaran di pusat telah mengabaikan hukum pemerintahan daerah? Ataukah kita menunggu lebih banyak lagi letupan hingga ledakan dahysat itu bergema dimana oknum-oknum Kementerian/Lembaga dan DPR ditangkap secara masal baru kita mau mengubah penganggaran untuk pembangunan di daerah? Mari kita konsisten setelah kita bersepakat bahwa otda adalah solusi untuk percepatan kesejahteraan rakyat. Amin (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H