Setiap 8 Maret beberapa kalangan memperingati hari perempuan internasional. Apakah hari selain 8 Maret adalah hari laki-laki? Semua kita pasti sudah tahu jawabannya, sehingga tidak perlu untuk diulas.
Salah satu yang mendasari lahirnya hari perempuan tersebut adalah ketidakadilan yang dialami perempuan sehingga perlu diperjuangkan untuk direformasi. Di Indonesia, sejak reformasi, bergulir ide keterwakilan 30% perempuan di lembaga publik maupun politik. Tahun berganti tahun, ide ini berhasil direstui negara berkat teman-teman aktivis LSM perempuan dan para perempuan di parlemen. Namun, ide ini justru melemahkan kapasitas perempuan, karena terkesan kaum perempuan tidak mampu menghadirkan dirinya di lembaga-lembaga pengambil kebijakan sehingga minta tolong pada negara untuk memprioritaskan keterwakilannya.
Patut ditelaah kembali, konstitusi kita tidak pernah menyebut jender untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia. Perempuan dan laki-laki adalah manusia yang harus dihormati hak asasinya, bukan karena ia perempuan atau karena ia laki-laki. Klausul 30 % keterwakilan perempuan di undang-undang tidak sesuai dengan UUD 1945 Amandemen pasal 28D ayat (2) dan ayat (3). Seandainya kaum laki-laki mengajukan hak konstitusionalnya ke Mahkamah Konstitusi (MK), maka MK sangat berdasar untuk mengabulkannya.
Perempuan dan laki-laki dalam berkompetisi seharusnya bermain sehat, agar eksistensinya bermanfaat dan berwibawa. Perempuan memang harus mewakilkan dirinya untuk bermusyawarah dengan kaum laki-laki, karena perempuan memiliki kepentingan mendasar yang berbeda dengan kaum laki-laki.
Dalam sebuah seleksi di lembaga publik yang diikuti 2 pelamar perempuan, untuk memperebutkan 5 kursi, salah satunya seakan menjadi wajib untuk diloloskan. Padahal keduanya atau salah satunya tidak memiliki intelektual yang memadai, akibatnya, proses pengambilan kebijakan yang menjadi alasan perlunya keterwakilan perempuan tidak berjalan efektif. Mayoritas perempuan yang berhasil duduk di lembaga publik pun politik tidak dapat bersuara lantang untuk memperjuangkan kepentingan kaumnya, bahkan kehadirannya seakan hanya sebagai pemanis.
Ada perbedaan mendasar antara hak laki-laki dan hak perempuan. Melahirkan dan menyusui sesungguhnya adalah paket alamiah yang tidak harus terpisahkan. Untuk menghasilkan generasi yang unggul, persiapan dini mulai dari memilih pasangan, perencanaan kehamilan dan pemberian ASI eksklusif hingga penyapian selama 2 tahun harus dilakukan perempuan, tentu dengan bekerja sama dengan laki-laki (baca : sang suami). Namun, peran dan pro aktiv perempuan lebih dominan daripada laki-laki, karena janin itu tumbuh di ladang perempuan dan disusui oleh perempuan.
Waktu yang dibutuhkan idealnya ± 3 tahun, yakni 9 bulan kehamilan dan 2 tahun penyusuan, plus 40 hari perawatan pasca melahirkan. Disinilah perempuan bekerja menjadi sulit membagi waktunya antara pekerjaan di kantor dengan urusan domestiknya, karena terbatasnya waktu cuti/libur yang diberikan negara. Inilah salah satu contoh hak perempuan yang telah ditelantarkan negara. Negara tidak memberikan cuti yang panjang buat perempuan, akibatnya salah satu kewajibannya atau bahkan keduanya menjadi tidak maksimal. Contoh lainnya, negara kita, Indonesia yang tercinta ini juga tidak peka jender misalnya pada kasus ketika perempuan menstruasi. Tidak sedikit remaja putri yang bersekolah mengalami sakit perut, bahkan emosinya meledak-ledak, dan lain sebagainya, sementara ia terikat aturan untuk tetap bersekolah. Apakah ia maksimal menerima pelajaran?
Masih banyak hak-hak perempuan yang selama ini kurang mendapat perhatian pejuang hak perempuan, sebut saja kesehatan reproduksinya yang perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus. Bagaimana karena kurangnya pengetahuan, banyak perempuan yang terjebak dengan penyakit keperempuanan seperti kanker rahim, kanker payudara, keputihan, menstruasi yang tidak teratur, dan lain sebagainya. Materi ini justru lebih penting daripada kuota 30%. Belum lagi masalah kehamilan, persalinan, penyusuan, yang kadang hadir tidak seperti yang diharapkan.
Perempuan akan tampil dengan sendirinya sebagai manusia yang utuh apabila masalah keperempuanannya berlangsung normal ataupun kalau bermasalah dapat teratasi. Dan hanya negara yang baiklah, yang peduli pada kaum perempuan bisa memberikan pengetahuan, perawatan ataupun pengobatan yang GRATIS atas masalah-masalah perempuan.
Untuk hak-hak yang mendasar pada laki-laki, saya serahkan pada kaum laki-laki saja, karena saya tidak bisa menyampaikan fakta yang tidak pernah saya alami.
Yang membuat sumir perdebatan adalah tuntutan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Secara biologis, perempuan dan laki-laki itu berbeda. Dan karena bentukan biologis itulah, aspek psikologi yang berdampak pada sosiologinya pun menjadi berbeda. Jadi, hak karena jendernya pun menjadi berbeda. Namun, dalam kapasitasnya sebagai manusia, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama khususnya hak atas akses informasi publik.
UUD 1945 dalam amandemennya pada 18 Agustus 2000, menjelaskan dalam pasal 28I ayat (1) bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.