Mohon tunggu...
Ade Suerani
Ade Suerani Mohon Tunggu... -

Orang Muna, tinggal di Kendari Sultra.\r\nklik juga :\r\nadetentangotda.wordpress.com\r\nadesuerani.wordpress.com\r\nadekendari.blogdetik.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Akhirnya Sang BOS Jadi Jelas Kelaminnya

18 Agustus 2010   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah menulis disini bahwa, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah program pemerintah pusat yang berkelamin ganda. Bahkan, lebih ekstrim dalam salah satu komentar saya menanggapi tanggapan pembaca di salah satu milis, saya katakan tidak dikenali jenis kelaminnya. Ceritanya begini.

Pemerintah (baca : pusat) dalam menjalankan pemerintahannya menggunakan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Maksudnya, pusat dalam mengelola daerah harus melimpahkan sebagian urusannya (yang menjadi kewenangannya) ke Gubernur atau instansi vertical di daerah atau menugasbantukan ke pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah desa.

Berbeda dengan pemerintahan daerah yang menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Asas otonomi yang dimaksud adlaah menjalankan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, tentu yang dimaksud adalah urusan-urusan yang menjadi kewenangannya atau yang oleh perundangan, urusan yang sudah diserahkan (didesentralisasikan) padanya.

Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan?
Program BOS yang merupakan program pusat yang dikelola di daerah jika ditinjau dari sisi urusan yang diurus, tidak dapat disebut wujud dari asas dekonsentrasi ataupun tugas pembantuan. Sebab, 14 kegiatan yang diurus BOS merupakan urusan pemerintahan daerah, dalam hal ini urusan yang sudah didesentralisasikan sehingga bukan kewenangan pusat lagi.

Jika ditinjau dari sisi fiskal (pendanaan) yang melekat di Kementerian Pendidikan Nasional, yang kemudian dilimpahkan ke Gubernur dan Bupati/Walikota, program BOS tidak dapat disebut implementasi dari asas dekonsentrasi ataupun tugas pembantuan juga. Sebab, urusan yang sudah dilimpahkan ke Gubernur tidak boleh lagi dilimpahkan ke Bupati/Walikota.

Untuk itu saya katakan, disebut berkelamin dekonsentrasi tidak tepat, berkelamin tugas pembantuan juga tidak tepat.

Kebijakan Fiskal yang Keliru
Dana BOS yang tiap tahunnya menguras uang negara belasan trilyun itu tidak menyentuh substansi permaslaahan pendidikan di daerah. Karena, program ini mulai perencanaan sampai pada penentuan kegiatan sangat-sangat sentralistik. Padahal persoalan pendidikan dan kebutuhan dana tiap daerah itu berbeda, tidak bisa digeneralisir sebagaimana 14 kegiatan BOS yang berlaku di setiap daerah.
Kebijakan fiskal yang tidak menggunakan mekanisme penganggaran berbasis kinerja adalah kebijakan fiskal yang keliru. Besaran fiskal (dana) yang didistribusikan untuk pembiayaan pendidikan di daerah, semestinya berorientasi pada output atau capaian. Sementara pada program BOS, mekanisme alokasi dan penganggaran didasari pada jumlah siswa yang akan dibiayai, lokasi keberadaan siswa apakah berada di kota atau kabupaten dan jenjang pendidikan siswa.

Jika melihat mekanisme seperti ini, maka kebutuhan siswa yang menjadi fokus penganggaran, bukan capaian. Metode ini sangat tradisional, lebih dititikberatkan pada kebutuhan untuk belanja/pengeluaran, bukan pada analisis rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan.

Akibatnya, tiga tujuan utama BOS yakni : 1) menggratiskan seluruh siswa SD dan SMP dari biaya operasi sekolah, kecuali pada RSBI dan SBI; 2) menggratiskan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik disekolah negeri maupun swasta; dan 3) meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta, tidak tercapai.

Fakta ini sebagaimana disampaikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaaan BPK RI atas pengelolaan dan pertanggungjawaban dana BOS dan Dana Pendidikan Dasar Lainnya (PDL) T.A 2007 dan 2008. Dikatakan bahwa uji sampling yang dilakukan pada 4.127 sekolah di 62 kabupaten/kota, diperoleh 47 SD (27 SD Negeri dan 20 SD Swasta) dan 123 SMP (95 SMP Negeri dan 28 SMP Swasta) di 15 kabupaten/kota belum membebaskan biaya/iuran bagi siswa tidak mampu di sekolah dan tetap memungut iuran/biaya pendidikan seperti iuran ekstra kurikuler, sumbangan pengembangan sekolah, dan iuran komputer kepada siswa.

Nah, kemarin sore Selasa (16/8), dalam menyampaikan Pidato Pengantar Nota Keuangan RAPBN 2011 di DPR, Presiden secara mengejutkan mengatakan bahwa pada 2011 nanti, kebijakan pendanaan program BOS tidak lagi melekat di Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan menjadi instrumen kebijakan desentralisasi fiskal. Dimana dana itu akan menjadi dana transfer dalam bentuk DAU atau DAK, untuk kemudian menjadi sumber pendapatan daerah (APBD).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun