Mohon tunggu...
Ade Suerani
Ade Suerani Mohon Tunggu... -

Orang Muna, tinggal di Kendari Sultra.\r\nklik juga :\r\nadetentangotda.wordpress.com\r\nadesuerani.wordpress.com\r\nadekendari.blogdetik.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggugat Komitmen Pemerintah

21 Februari 2010   04:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:49 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Otonomi daerah esensinya adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat secara demokratis dan bertanggung jawab.

Sungguhpun usianya sudah memasuki satu dekade, bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, namun pada kenyataannya tidak diikuti dengan komitmen dan konsistensi pemerintah untuk mengimplementasikan kehendak kedua undang-undang tersebut, utamanya dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, baik itu desentralisasi urusan pemerintahan maupun desentraliasi fiskal/anggaran sebagai kunci pelaksanaan otonomi daerah, sekaligus aktualisasi reformasi sistem pemerintahan sentralistik.

Inkonsistensi Desentralisasi Urusan Pemerintahan (Otonomi Setengah Hati)

Desentraliasi yang semestinya penyerahan urusan pemerintahan concurrent (selain politik, pertahanan keamanan, moneter, fiskal, yustisi dan agama) dari pemerintah pusat kepada daerah dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi (Pasal 11 UU No. 32/2004)

Kriteria eksternalitas yang dimaksud mengandung makna, jika urusan pemerintahan tersebut penyelenggaraannya akan berdampak nasional, maka menjadi urusan pemerintah, regional, provinsi dan lokal, kabupaten/kota.

Sedangkan kriteria ekuntabilitas, adalah penanggung jawab suatu urusan pemerintahan berdasarkan kedekatan/yang menerima langsung dampak akibat. Hal ini untuk menghindari klaim atas dampak sejalan dengan prinsip demokrasi yakni pertanggungjawbaan pemerintah terhadap rakyat.

Untuk kriteria efisiensi, yakni bahwa pembagian urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan hasil guna dan daya guna yang diperoleh, dalam arti jika urusan pemerintahan tersebut akan lebih berdaya guna dan berhasil guna ditangani pemerintahan daerah, maka menjadi urusan pemerintahan daerah demikian sebaliknya.

Inilah yang semestinya menjadi acuan Pemerintah (Departemen/Kementerian) untuk mengatur/merumuskan pembagian urusan pemerintahan concurrent dibidangnya masing-masing sebagaimana amanat Pasal 14 UU No. 32/2004.  Hasilnya telah tertuang dalam PP No. 38/2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota.

Namun, patut disayangkan, muatan materi pembagian urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tersebut tidak sesuai dengan kehendak Pasal 11 UU No. 32/2004.

Dalam hal urusan yang memiliki nilai strategis, termasuk kewenangan dalam pengelolaan sumber daya nasional, sarana dan prasarana pelayanan publik (di daerah) serta kebijakan pelayanan publik di dominasi Pemerintah tidak didesentralisasikan (dibagi secara adil dan proporsional) . Pun dari sisi substansi/redaksional jika dicermati tidak mencerminkan sebagai sumber hukum  dan terkesan dibuat asal-asalan.

Inkonsistensi Desentraliasi Fiskal (Lepas Kepala Pegang Ekor)

Pasal 12 UU No. 32/2004 mengamanatkan bahwa penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom disertai dengan sumber pendanaan, sarana, prasaranan serta personil sesuai dengan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan. Dan semua sumber pendanaan yang melekat pada setiap urusan pemerintahan yang diserhakan menjadi sumber keuangan daerah. Sesuai dengan prinsip money follow function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewejiban dan tanggung jawab masing-masing tingkatan pemerintahan.

Selain itu pembentukan UU No, 33/2004, dimaksudkan selain untuk mengurangi ketimpangan dan / atau kesenjangan sumber pendaaan antara pemerintah dengan pemerrintah daerha, dan antar pemeeirnthaan daerah juga untuk mendukung pendanaan atas penyerahan usaun pemerintahan kepada daera sebagaimana tersirat dalam pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 10 undang-undang dimaksud.

Bertolak dari ketentuan tersebut diatas, maka bagian-bagian urusan pemerintahan coucurrent yang sebelum OTDA melekat/menjadi urusan KANWIL-KANWIl Departemen yang disedentralisasikan, disertai dengan penyerahan sumber pendanaannya. Dalma arti masing-masing Departemen / Non Departemen yang menangani urusan pemerinthan concurrent mengalokasikan anggaran untuk pendanaan bagian-bagian urusan yang didesentralisasikan kepada masing-masing tingkatan pemerintahan daerah sehingga tertuang dalam APBD.

Dan pengalokasian pendanaan atas urusan pemerinthan yang didesentralisasikan, UU No. 33/2004 mengisyaratkan melalui komponen dana perimbangan yakni Dana Alokasi Khusus (DAK) selain Dana Bagi Hasil (DBH) pajak, dan Dana Alokasi Umum (DAU).

Namun apa yang diamanatkan ketentuan uu otonomi daerah, implementasi penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah belum disertai penyerahan sumber pendanaan yang tertuang dalam APBD.

Dan kenyataannya yang terjadi selama ini adalah adanya sumber pedanaan yang berasal dari APBD setiap tahun anggaran yang dialokasikan di daerah provinsi ntuk pendanaan program/sektor (Departemen) yang kegiatannya dilaksanakan oleh SKPD (perangkat daaerah) dan nyata-nyata merupakan urusan pemerintahan yang diberi label dekonsentrasi atau tugas pembantuan, sebut saja PNPM, BOS, Jamkesmas, dll.

Akhirnya kebijakan anggaran yang diperagkan departemen/kemeterian tidak sesuai dengan jiwa dan semangat otda serta prinsip-prinsip pengelolaan anggaran. Sebab bagaimana mungkin angaran yang bergitu besar digunakan untuk membiayai urusan pemerintahan daerah / pelayana publik yang pengelolaannya tida ksepengatahuan / melibatkan DPRD, sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kalaupun dana terswebut benar-benar dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah) maka dapat dipastikan jika pengalokasian anggaran dimaksud tidak sesuai dengan tuntutan prioritas dan kebutuhan ril masyarakat/daerah bahkan tidak mustahil kegiatannya hanya sekedar menghabiskan anggaran. (***)   wallahu'alam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun