Mohon tunggu...
Ade Nuriadin
Ade Nuriadin Mohon Tunggu... profesional -

Ade Nuriadin Lahir di Tondo, 24 Desember 1987. Anak dari pasangan Subandi (Alm) dan Imamah. Anak terakhir dari ketujuh bersaudara memiliki hobi membaca, menonton film, fotografi, bikin film, dan online.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Palu: Tour Kota yang Gagal!

22 September 2012   07:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1348298538385888861

Panasnya masih sama, beberapa bagian dan sudut Kota Palu sedang dalam pembenahan. Terlihat bahan-bahan material yang ditumpuk disisi-sisi jalan. Beberapa alat berat juga sedang sibuk menggeruk tanah.

Hari itu, Sabtu, tepatnya tanggal 22 September. Jam sembilan pagi, kami janjian untuk bertemu di salah satu hotel yang ada di Kota Palu. Tujuannya adalah untuk bertemu dengan teman dan orang tua angkatnya yang merupakan warga negara Kanada dan Ohaio. Setelah bertemu, kami berkenalan. Mereka berdua merupakan pasangan suami-istri yang bisa dibilang tidak muda lagi dan sangat ramah. Pak Justin dan Mam Diane (sapaan kami) menunjukan kesan pertama yang ramah.

Hari itu saya dengan tiga orang teman asli Palu dan seorang teman asal pinrang yang merupakan anak angkat dari kedua warga asing tersebut, mulai merencanakan kemana mereka mau dibawa. Awalnya menawarkan Tanjung Karang, namun Pak Justin dan Mam Diane merasa terlalu jauh, dan hanya ingin tour kota saja berhubung esok harinya pagi-pagi benar harus melanjutkan perhalanan. Akhrinya kami memutuskan untuk membawa mereka ke museum untuk memperkenalkan sejarah dan budaya tanah Sulawesi Tengah. Perjalananpun dimulai!

Sampailah kami di museum yang terlihat nampak sepi dan pintu gerbang dikunci pula. Ada dua penjaga yang berada di pos penjagaan samping gerbang, dari keterangan yang mereka berikan ternyata hari ini libur. Museum tutup. Teman asal Pindrang berkomenter “inikan weekend, kenapa tutup pak?”. Penjaganya, menjawab bahwa Sabtu-Minggu libur, kecuali ada yang ingin berkunjung dan menghubungi terlebih dahulu baru dibuka. Kami memohon agar dikasih izin untuk masuk dan melihat-lihat sejenak, tapi tetap tidak bisa masuk ke dalam museum karena terkunci dan kuncinya tidak ada pada mereka.

Akhirnya, kami memutuskan untuk membawa mereka untuk melihat-lihat replika dari Patung Tadulako dan batu megalit lainnya. Sampai di sebuah dinding, terdapat relief yang menggambarkan kehidupan masyarkat Sulteng, ada kerbau, rumah-rumah. Turisnya bertanya apa maksud dari relief ini? Namun sayang, penjaga itu menjawab tidak tahu. Oke thanks... Untungnya, bawa teman asli Kaili yang sedikit banyak mengerti tentang cerita-certia legenda. Dia pun kemudian menceritaka legenda tentang Savirigadi dan Randa Ntovea.

Selanjutnya, menuju ke Sou Raja. Setibanya disana, kodisi yang sama, sepi. Mencari orang yang bisa ditanyai, atau yang berwenang, nihil. Tidak ada yang bisa dihubungi. Pintu terkunci, dan sebatas di teras bangunan itu saja. Tidak tau apa yang harus diperbuat, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang.

Sangat disayangkan, kota yang memiliki begitu banyak budaya dan adat istiadat ini tidak mampu memberikan sajian yang menarik bagi pengunjungnya. Kota ini semakin mempertegas bahwa bukan kota tujuan wisata atau jangan berkunjung ke Palu, cukup jadikan kota singgah. Setujuhkah? Jelas tidak. Tapi kenyataan yang berkata jujur, apa adanya dan kita harus sadari itu.

Apa yang seharusnya dilakukan? Mengapa kota yang memiliki pemandangan yang indah ini tidak dapat dijadikan kota tujuan wisata? Yang harus dilakukan adalah berbenah. Seharunya Palu dapat menjadi representatif kebudayaan dari seluruh masyarakat Sulteng. Setidaknya semua hal unik yang ada di daerah (baca kabupatan) ada di Palu. Satu tempat yang menawarkan semua keunikan tersebut dangan pemandu yang memiliki pemahan yang baik, yang mampu menjawab rasa ingin tahu para pengunjung. Pemahaman akan akar sejarah juga perlu ditingkatkan, termasuk pemahaman akan legenda tanah Sulteng. Alangkan menariknya jika legenda tersebut dibuat dalam satu frame. Dalam frema itu ada patung atau segala hal yang berhubungan dengan legenda tersebut, serta lengkap dengan pemandu yang mengerti betul dengan legenda itu. Sehingga dapat memberikan wawasan budaya tanah Sulteng kepada turis yang datang baik lokal maupun mancanegara. Lebih menarik lagi jika legenda tersebut dibuat dalam bentuk seni pertunjukan teater, baca puisi, ataupun seni musik.

Intinya pada hari ini adalah tour kota yang gagal. Harapannya, semoga wisatawan yang bersama kami hari ini tidak merasa jera. Dan kekecewaan yang mereka alami, walaupun tidak mereka utarakan, tidak meluas ke turis yang lain yang ingin berkunjung ke Palu. Karena Palu, menurut saya merupakan kota yang eksotis dengan hamparan pemandangan yang indah. Palu adalah kota yang memiliki matahari yang seksi dan hamparan bukit yang menggoda. Maka, sudah saatnya Palu berbenah!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun