Mohon tunggu...
Ades Justitia Mustofa
Ades Justitia Mustofa Mohon Tunggu... -

Seseorang yang ingin mengenal diri sendiri, mengingatkan diri sendiri,belajar dan berbagi, dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penyesalan yang Terlambat

1 Februari 2011   13:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:59 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kata mamakku, dari lahir saja aku sudah menyusahkan. Waktu itu hujan angin, petir menyambar-nyambar, tengah malam. Bapakku lari-lari ke rumah bu bidan, mamak mengejan sendirian, hanya ditemani lampu petromak di sampingnya. Kira-kira bapak baru sampai setengah jalan kepalaku sudah keluar. Mamak teriak-teriak tak karuan karena baru pertama kalinya dia melahirkan. Bu bidan datang, aku sudah menangis lantang bersimbah darah di kaki mamakku. Mamakku jerit-jerit lebih menggelegar, mungkin karna takut aku mati duluan. Seorang bayi laki-laki lahir dengan penuh kisah dramatis, cenderung tragis.

Aku pemberontak dan tidak sabaran, itu kata mamakku.

Tumbuh besar aku semakin menyusahkan, tidak pernah mau mendengar apa kata bapak ataupun mamak. Saat di suruh ngaji di surau belakang rumah, aku malah lari ke warung bang jupri ikut main gaple. Berkali-kali dipecut bapak, aku tidak juga jera, malahan bapak yang berkali-kali sesak nafas ketika melihat tingkah polahku, Tapi aku tetap saja tidak peduli, aku masih suka menggoda santi dengan kaca untuk melihat roknya, aku masih suka bolos saat Pak Kardi, guru matematika masuk kelas, dan bapak dipanggil kepala sekolah berkali-kali. Mamakku cuma bisa tobat sambil komat-kamit jika tahu kelakuan ku yang seperti itu, mungkin sambil mengingat-ingat dulu dia salah makan apa ketika mengandungku.

Tetapi aku adalah anak yang cerdas, itulah salah satu hiburan untuk mamak dan bapakku. Aku tidak pernah luput dari juara satu, aku tidak pernah mendapat nilai di bawah delapan, dan belum ada yang bisa mengalahkan posisiku saat aku duduk di SD, SMP,maupun SMA. Aku selalu membuat bapakkku tersenyum lebar saat penerimaan hasil belajar setiap cawu-nya. Setidaknya bapak dan mamak tidak terlalu merasa sia-sia mempunyai anak seperti aku.

Terbilang, sudah enam kali Allah memperingatkanku karena aku tidak nurut sama mamak dan bapak,  tetapi enam kali pula aku belum jera.

Pertama, Waktu itu aku kelas 6 SD. Saat itu magrib, mamak teriak-teriak menyuruhku pulang untuk solat, suaranya lebih lantang dari muadzin. Aku tetap fokus menendang bola di lapangan samping rumahku, tidak menghiraukan mamakku. Allah pun marah sepertinya, saat menendang bola dengan gaya Gabriel Omar Batistuta, pemain favoritku waktu itu, entah siapa yang membuang pecahan botol beling di situ, dan entah setan apa yang lewat, sore itu Allah berkehendak kakiku sobek terjahit dua puluh satu karena botol beling yang tidak sengaja aku tendang. Mamakku mengantarkan aku ke mantri kampungku tanpa komentar, sedangkan bapakku diam dengan bibir yang bisa dikucir, mata melotot seperti ingin keluar, aku nyengir kesakitan. Alih-alih aku berubah ternyata sama saja, aku juga tidak tahu kenapa aku seperti itu. Sampai sekarang mamakku masih sering marah-marah menyuruhku sholat tepat waktu.

Kedua, Setahun kemudian ketika aku kelas satu SMP, anak-anak di kampungku sudah banyak gaya, mereka memakai sepeda motor bapaknya. Akupun tidak mau kalah. Berkali-kali bapak melarangku naik sepeda motor sebelum aku SMA, kunci disembunyikan entah dimana.  Mamakpun tidak jika bapak berkata tida,  beberapa hari aku hanya bisa melihat anak-anak kampungku menaiki sepeda motor mondar-mandir di depan rumahku. Kepalaku panas,penasaran.  Sampai suatu sore,aku diam-diam masuk ke kamar bapak,mengambil kunci motor yang ternyata hanya disembunyikan di bawah bantal. Waktu itu bapak sedang sholat ashar berjamaah di surau belakang rumah. Aku keluarkan motor pelan-pelan, lalu baru kunyalakan setelah lima puluh meter dari rumah, kalau bapak tahu bisa gawat. Aku senang bukan kepalang bisa naik motor bapak yang selama ini aku impi-impikan, aku gas sekencang-kencangnya motor bapak keliling kampung. Tetapi benar memang ,ridho Allah itu terletak pada ridho orang tua. Dan Allah pun tidak meridhoi apa yang aku lakukan sore itu sama halnya dengan mamak dan bapakku. Di tikungan jalan ada lubang besar,Entah sejak kapan lubang itu ada di sana, dan entah kenapa aku bisa memutuskan untuk lewat jalan itu. Aku terperosok, jatuh, terseret hampir dua meter. Sebuah kecelakaan tunggal yang sempat membuat aku pingsan lima jam. Aku tidak ingat apa-apa, yang pasti badanku sakit semua. Kulihat Mamak matanya sembab menangisiku, bapak juga duduk di sampingku gelisah. Aku berada di ruangan sempit berbatas tirai biru kusam, kepalaku di perban. Motor bapakku pun diopname di bengkel satu minggu. Setelah sembuh total aku bukan semakin sadar tapi semakin menjadi-jadi.

Sore itu, Ramadhan ketiga. Selepas magrib Seperti biasanya mamak dan bapak siap-siap ke surau, begitu pula dengan aku. Tapi mereka tidak tahu kalau aku lebih suka berasa di saf paling belakang jadi gampang kabur setelah empat rakaat pertama sholat taraweh. Setelah salam,aku kabur perlahan-lahan dari surau itu,Aku lari ke warung bang jupri. Sudah terencana dari siang hari ketika aku melihat berbagai macam petasan dipasang dengan rapi di warung bang Jupri. Aku ingin membeli petasan itu. Berbekal uang dua ribu dan korek yang aku ambil dari sebelah rokok Gudang garam bapak. Akhirnya aku nyalakan petasan itu dengan brutal. Padahal di surau masih terdengar suara dzikir setelah shalat witir. Setiap dentuman petasan yang aku bunyikan aku tertawa puas. Padahal jika mamak dan bapakku tahu aku bisa di pecuti (lagi) berkali-kali. Allah tidak pernah tidur,nampaknya Dia tidak membiarkan aku punya alibi. Petasan terakhir yang aku nyalakan waktu itu, ketika api sudah berada di pangkal sumbunya, petasan itu tidak juga meledak. Aku mendekat perlahan,aku kira memang petasannya melempem. Ketika aku menyentuhnya petasan meledak di tanganku. Aku berteriak keras-keras berlari kesakitan ke arah rumah. Orang-orang yang baru bubar dari surau seketika ikut panik dan berlarian mencari tahu di rumahku. Luka bakar yang hebat di tangan kiriku, panas, rasanya lebih sakit daripada waktu disunat. Mamak hanya bisa geleng-geleng, Bapak pun begitu. Andai saja aku mau diam di masjid sampai selesai, andai saja aku nurut mamak pasti tidak akan terjadi seperti ini. Dan ini adalah peringatan ketiga dari Allah untukku.

keempat, Mamak bapakku memang rajin mengaji, setiap selepas mahgrib dan isya mereka selalu mengaji. Berkali-kali mamak menyuruhku dengan halus untuk membaca satu ayat saja setiap hari, tetapi aku tidak menghiraukannya. Masih mending aku mau mendengarkan mereka, malah kadang aku asyik nonton televisi atau menutup telinga ku dengan headset berisi lagu-lagi dari MP3 player. Sampai disuatu hari mamakku membentakku karena aku malah menyanyi keras-keras ketika mereka melantunkan ayat suci itu. Rupanya mamakku mulai geram, naik pitam. Sampai-sampai keluar dari mulutnya:“Pecuma saja kau pandai,tapi akhlakmu nol besar,mamak tidak pernah mengajarkanmu seperti itu” Setelah mamak selesai menumpahkan kemarahannya, kututup telingaku lagi dengan headset. Memang mamakku tidak pernah mendoakan aku celaka, tetapi Allah pun tidak tega jika aku membantahnya. Malam itu ketika aku melepas headsetku, satu busanya tertinggal di telingaku, semakin kuambil semakin dalam saja. sebuah busa headset nyangkut di telingaku. Semarah-marahnya mamakku tadi, dia tetap saja menyeretku ke puskesmas dekat rumah untuk mengambil benda asing di telingaku. Campuran antara kesal dan khawatir yang bercampur menjadi satu. Setelah dua jam akhirnya benda itu keluar dari telingaku. Lagi-lagi karena aku membantah mamakku.

Yang kelima, sesuai janji Bapakku,aku boleh naik motor ketika aku sudah SMA. Dibelikanlah motor baru untukku. Namanya juga ABG labil yang mudah terpengaruh untuk mengikuti hal-hal baru, aku pun mulai tertarik dengan dunia balap liar. Agar mamak dan bapak tidak curiga, aku ikut kegiatan ini ketika malam minggu. Pertama-tama memang tidak mencurigakan. Tetapi lama kelamaan mamak mulai mencium gelagat yang tidak beres dariku. Namanya juga mamak, feelingnya terlalu canggih. Dicarilah info tentang kelakuanku lewat teman-teman sebayaku di kampung. Sampai suatu bang jupri memergoki aku sedang ikut balapan di depan balai kota. Dilaporkanlah aku kepada orang tuaku. Ceramah mamak dan bapak cuma numpang lewat dari telinga kanan dan keluar di telinga kiri. Sama sekali tidak aku indahkan.Dan sabtu malam itu ketika mamak dan bapak sudah tertidur,aku kabur. Tentu saja ikut balapan liar. Lagi-lagi Allah tidak suka aku mempecundangi mamak dan bapakku. Malam itu ternyata polisi sedang patroli. Di tangkaplah satu-satu pelaku balapan liar karena dianggap mengganggu, termasuk aku. Penertiban seperti itu sebenarnya sudah merupakan hal yang wajar, cuma saja kelompok kami lebih cerdik daipada polisi. Tapi tidak untuk malam ini. Ditahan semalaman di kantor polisi membuatku jengah, apalagi aku tau setelah mamak bapakku datang menebusku aku akan semakin jengah dengan kicauan mereka. Benar saja mamak dan bapak datang,t anpa komentar, tatapan datar. Aku salah,mereka tidak berkicau malam ini. Tetapi satu hal yang aku sadari sekarang, andai saja ceramah mereka aku simpan rapi di otakku, mungkin aku tidak akan menyusahkan mereka seperti ini.

Yang keenam, saat awal-awal masuk universitas favorite di kotaku, aku mengikuti salah satu UKM semacam pecinta alam. Untuk pengakraban, kami harus mendaki salah satu gunung, dan melakukan pelantikan di puncak gunung, tradisinya memang seperti itu. Mamak, orang yang sangat menentang aku masuk ukm itu. Bapak? bapak mengijinkan cuma setengah hati. Sama halnya ketika aku pamit untuk ikut pelantikan itu, mamak marah, tidak hanya tidak boleh. Didiamkan aku semalaman. Tetapi aku tetap bersikeras dengan keinginanku. Aku tahu bapak pun juga tidak mengijinkan, tapi dia membebaskan aku, karena mungkin sudah besar. Akhirnya aku berangkat,dengan ibu yang masih mendiamkanku,walaupun aku tahu dalam hati dia mengkhawatirkan aku. Acara makrab berjalan lancar, cuma memang ada hal-hal yang membuat ku ingin cepat pulang dan minta maaf kepada mamak dan bapak. Aku sempat tersesat, terpisah dengan rombongan, gelap, pekat. Aku katakutan, entah kenapa aku teringat mamak yang selalu sabar walaupun berkali-kali aku abaikan. Bapak yang mukanya datar,setiap aku melakukan hal-hal yang tidak wajar. Allah sudah berkali-kali memperingatkan, dan aku mengabaikan. Cukup ini yang keenam aku ingin benar-benar tobat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun