Mohon tunggu...
Ades Justitia Mustofa
Ades Justitia Mustofa Mohon Tunggu... -

Seseorang yang ingin mengenal diri sendiri, mengingatkan diri sendiri,belajar dan berbagi, dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mendengar(kan) Apa yang Ingin Didengar(kan)

2 Agustus 2011   17:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

.ya,sekian lagu dari saya, kepada bapak-bapak, ibu, mbak mas ,yang memberi saya doakan selamat sampai tujuan dan yang tidak memberi tidak saya doakan..

Kalimat di atas sempat membuat aku tertawa terkikik di dalam bus kota ketika perjalanan pulang les bahasa Inggris beberapa tahun lalu. Sebuah kalimat pengakhir lagu yang tidak biasa  dari pengamen usia tanggung membawa kecrekan sederhana dari tutup botol coca-cola yang ditumbuk pipih-pipih, digabung dalam satu kayu dan dikuatkan dengan paku. Dia benar-benar mengucapkan kalimat itu dengan ekspresi sedatar-datarnya tanpa merasa berdosa setelah membawakan sebuah lagu yang lebih mirip menggumam yang entah dimulai dari nada dasar apa.KAlimat itu lebih mirip ancaman namun tak ada satupun nada mengancam, semacam gurauan namun tak sedikitpun ada wajah bercanda, dan bisa dibilang paksaan namun tidak ada yang merasa dipaksa olehnya. Cerita ini hanyalah salah satu cerita dalam buku kehidupan saya edisi pengamen, selain pernah terlalu berprasangka baik kepada pengamen, ketika berumur lima tahun, yang aku kira sedang membagi-bagikan uang, hingga aku ambil recehan di tempat uang mereka seperti mengambil krupuk.

Aku suka memperhatikan pengamen, mendengarkan mereka bernyanyi  diantara riuh ramainya mesin yang menderu , memperhatikan ekspresi, dan mendengarkan suara yang kadang memang tak merdu didengarkan dari sudut mana saja. Ada yang gitarnya sumbang, senar dalam posisi yang tak benar, tangan yang bergetar menyodorkan tempolong-tempolong atau plastik bekas permen, berlarian melompat dari bus satu ke bus yang lainnya, dan menyapa siapa saja yang ada di dalamnya. Ada juga yang memang seniman, meliuk-liuk layaknya sedang bergaya di atas panggung megah, menyanyi dengan indah, petikan gitar yang menggelitik asyik di telinga dan suara yang tak kalah dengan artis ibukota. Ah ya, ada juga yang komplit, semua alat musik dibawa termasuk biola, salah satu alat musik yang membuat saya menganga kepada siapa saja yang bisa memainkannya.

Dulu, aku senang sekali ketika naik bus patas AC 44 jurusan Senen-Ciledug.

Ada dua pengamen  yang akan naik dari daerah kebayoran lama, membawa gitar yang belum terlalu tua. Jangan tanya, tak hanya satu lagu yang mereka bawakan, semuanya lagu baru dan tentu saja maksimal dari intro, interlud sampai coda. Suara penyanyi yang satu memakai suara dua, bersahutan apik, pas di telinga. Petikan gitar tidak ada yang sumbang membuat aku tergila-gila bahkan lupa mau turun dimana. Sepertinya bukan uang saja tujuan mereka, namun suatu kepuasan tersendiri jika saja karya mereka didengarkan oleh orang lain walau sebatas isi bus kota.

Lalu disalah satu warung makan di daerah Rawamangun. Ada semacam live music dari pengamen yang tak kalah dari cafe-cafe ternama. Bernyanyi yang total seolah-olah mereka sedang tidak bekerja mencari uang untuk sebungkus nasi. Jujur saya lebih respect kepada pengamen seperti ini daripada yang asal-asalan tak karuan. Mereka terus belajar, mengupdate lagu dan berkompeten di bidangnya, ah kira-kira begitu istilah kerennya. Pengamen-pengamen itu menghargai kemampuan mereka sendiri, menghargai diri mereka sendiri, dan dengan begitu akan dihargai lebih oleh orang-orang lain di sekitar mereka. Aku yakin, semua orang di bus kota itu atau pengunjung di warung itu terhibur dan tidak segan memberi uang lebih kepada mereka.

Tidak ada yang salah dengan mereka. Sebenarnya mereka juga artis, artis jalanan yang berbeda tipis dengan artis penyanyi televisi, cuma mungkin arti recehan mereka berbeda. Kalau recehan pengamen jalanan itu uang limaratus kepingan perak yang sakit minta ampun untuk kerokan, nah kalau pengamen kelas atas ibukota itu mungkin recehannya uang kertas warna merah gambar Soerkarno Hatta. Pengamen jalanan bebas berekspresi dan berhak diapresiasi.

Iya, aku suka memperhatikan pengamen. Suka memperhatikan orangnya, apalagi anak kecil yang tak beralas kaki di tiap angkot-angkot bernyanyi, bertepuk tangan, dan berteriak-teriak tak ada beban. Lagu-lagu ciptaan sendiri dengan cengkok gabungan antara Wali dan Kangen band. Entah sudah mandi atau belum, sudah makan seharian atau belum. Entah apa motivasi mereka mengamen, hanya disuruh,untuk tambahan uang jajan atau memang untuk makan. Ah senang melihat mereka bernyanyi, entah untuk apa, asal saja bukan untuk berteler-teler menghirup lem aica aibon.

Aku suka mendengarkan, mendengarkan mereka bernyanyi

petikan gitar yang nyaring berbunyi..

mungkin dengan suka mendengarkan, suatu saat kita yang akan didengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun