Jakarta, iya, siapa yang tak mengenal jakarta. Sedari kecil tidak terbesit sekalipun di otak saya untuk menetap yang cukup lama di kota yang katanya metropolitan ini. Â Walaupun Jakarta selalu membuat saya ternganga lewat televisi- televisi berwarna, hiburan saya satu-satunya jaman dulu kala. Gedung-gedung bertingkat, lampu-lampu yang gemerlap, semuanya terlihat mengagumkan membuat mata terbuka begitu lebarnya serta mulut yang tak berhenti menganga. Â Namun, manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang memainkan jariNya. Terhitung sejak tahun 2006, setamat SMA, sampai sekarang (yang tak pernah berharap selamanya ) mau tidak mau saya harus mengakrabkan diri dengan kota ini.
Ada maksud lain dibalik semua peristiwa, ada pelajaran yang selalu bisa diambil dari setiap kejadian yang mungkin tidak pernah kita inginkan. Seperti penempatan di kota ini, yang berkali-kali saya harus mengucap alhamdulilah, walaupun harus meninggalkan ibu saya sendiri dalam jarak ribuan kilo meter. Tak ada yang salah dengan apa yang Dia rencanakan bukan?
Awal- awal berkenalan dengan Jakarta, masa-masa adaptasi dengan kondisi yang serba cepat, dengan kebisingan yang luar biasa hebat dan (banyak) kejahatan-kejahatan yang menyelinap, saya sedikit kaget dengan kehidupan yang memang belum pernah saya temui sebelumnya. Kadang perlu jadi egois untuk menghadapai orang egois, agar tak mati gaya sakit hati yang terakumulasi. Lama-lama juga terbiasa seperti pepatah, 'alah bisa karena biasa', saya mulai sedikit bisa mengikuti ritme kehidupan ibu kota. Jika mau sedikit peka banyak hal yang bisa dipelajari dari kehidupan di sini, yang mungkin tidak akan saya temui di desa saya sana.
Saya suka berjalan kaki di Jakarta ini, entah, suka sekali. Sebenarnya karena malas berolahraga (berat) saja, jadi saya memanfaatkan kaki untuk melangkah lebih jauh dari biasanya alih-alih untuk membuang kalori. Kadang sengaja, turun dari angkot beberapa kilo meter sebelum jalan depan komplek agar bisa berjalan kaki lebih lama. Ternyata, banyak hal yang saya dapatkan dari berjalan kaki, disamping pembakaran kalori. Ya, jalan kaki bisa membuka mata lebih lebar, membuka pikiran, belajar tentang kehidupan jalanan, yang otomatis akan membuat rasa syukur kian membesar. Misal saja, ketika saya menyusuri jalan Pemuda kawasan Jakarta Timur, saya menemukan anak-anak kecil yang tertidur pulas di pelataran jembatan penyebrangan, dengan gelas-gelas kecil berisi recehan dan beberapa ribuan lusuh. Apakah dia sudah makan? siapa ayah ibu mereka? Seketika pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi otak saya. Bersyukur dengan apa yang saya miliki, masa kecil yang jauh-jauh lebih nyaman dibandingkan mereka.
Lantas, ketika berjalan di kawasan semanggi, saya dapati anak kecil yang belajar dengan buku lusuh di samping ibu nya yang juga peminta-minta, lampu jalanan menjadi penerang baginya, namun dia tampak asyik membaca dan menulis dengan pensil yang sudah tak layak tuk digunakan lagi. Seketika hati saya tertohok, malu, semangat belajar anak itu begitu besar dengan fasilitas yang sama sekali tak nyaman. Sedangkan saya, kadang mengeluh dengan buku yang terlalu tebal untuk dibaca, malas belajar, dan terus mengeluh dengan fasilitas yang serba ada dan berkecukupan. Allah,astagfirullahaladzim.
Banyak hal serupa yang saya temukan ketika berjalan kaki yang mungkin tidak akan saya dapati ketika naik taxi. Pelajaran bersyukur nomor tiga ratus empat puluh satu yang kembali menyadarkan saya betapa besarnya karunia yang Allah berikan kepada saya. Ya, hidup memang tak selamanya harus melihat ke atas, sesekali kita harus melihat ke bawah agar kaki tetap menginjak tanah.
Banyak hal yang akan didapati dengan berjalan kaki, bahkan mungkin bapak-bapak pejabat yang terhormat itu perlu merasakan sesekali berjalan kaki dan menyaksikan apa yang seharusnya mereka saksikan untuk bahan renungan.
Mau mencoba?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H