Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Romantisme Alexandria

23 September 2024   15:38 Diperbarui: 23 September 2024   15:52 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelabuhan dan Marcusuar Alexandria . doc. Mohawk Games (www.worldhistory.org)

Selepas kematian Alexander para jendralnya mulai saling berbisik dibalik tembok gelap benteng kota bangsa Persia, faksi-faksi itu semakin menggumpal, kaku dan mengeras. Bisik-bisik antar para prajurit penjaga pintu terdengar sampai ke barak dan tenda prajurit, terus meluas hingga ke pasar dan Lorong kota. Para sahabat Alexander mulai memproklamirkan diri sebagai raja yang telah diduduki oleh Alexander sebelumnya; dengan legitimasi nama Alexander, para sahabatnya menancapkan kekuasaan di Jazirah hingga ke Asia.

Saling rebut jasad Alexander jadi siasat murah para sahabat untuk tetap bisa berlindung dari nama si putra perang, namun setelah melalui perang melelahkan antar sahanat untuk merebutkan Alexander terkasih; pada satu malam di negeri seribu malam para jendral itu duduk bersepakat untuk memulangkan Jasad Alexander kepada ibunya Olimpia setelah dua belas tahun meninggalkan Macedonia untuk melahirkan romantisme dan trauma. Pada perjalanan pulang dari Persia, si jenderal kutu buku Ptolemaios menghadang arak-arakan kafilah di Osis dan menculik Alexander. Ia berhasil dan membawanya pulang ke Alexandria, kota pusat Helenis modern yang dibangun dengan maksud untuk menekan pengaruh predaban Mesir serta menciptakan kebudayaan baru.  konsep berpikir yang ditanamkan oleh Aristotels pada Alexander tercermin dalam konsep rancangan kota baru kemudian  direalisasi Dinocrates sang arsitek bangsa Helenis yang diboyong oleh Alexander pada saat kampanye militer Alexander. 

Di bawah Ptolemaios, Alexandria berkembang menjadi peradaban baru di muka bumi, bisa jadi ini jadi rencana dan cita-cita Ptolemaios untuk meneruskan mimpi Alexander ketika suatu malam yang dadakan diundang Alexander ke tendanya untuk bercerita serta berencana bersama Dinocrates saat mereka mengistirahatkan pasukan perangnya di luar tembok Memphis. Kemudian keesokan hari Alexander mengajak keduanya menyusuri tepian Sungai Nil serta menembus pemukiman kumuh di Rhakotis yang terletak di atas bukit kecil  tempat berdirinya Pilar Pompey. Bisa jadi si putra Philips II menganggap Ptolemaios jadi salah satu sahabatnya yang bisa diajak untuk berdiskusi selain perang dan politik. Dengan kecerdasan dan kemampuannya bernegosiasi pada akhirnya Ptolemaios berhasil mengambilalih Rhakotis tempat di mana segala sesuatunya telah dimulai untuk mengenang Alexander. Hingga pada akhir hayatnya Ptolemaios bahkan tak menyangka Rhakotis yang kumuh kini telah bersolek menjadi yang tercantik di antar kota-kota di Lembah Nil. Kisah Ptolemaios kepada sahabat terkasihnya Alexander mengingatkan kisah epik romantisme persahabatan Achilles dan Petroclus.

Di Alexandiria segala sesuatu ketakmungkinan tentang Alexander diwujudkan sang sahabat yang kini jadi raja dan pelindung Alexandria dan masyarakatnya, kemudian dilanjutkan oleh para penerus Ptolemaios. Ia menciptakan peradaban, rumah bagi para penyair dan filsuf, mendirikan Mouseion: obserfatorium, perpustakan, kampus, ruang kuliah dankebun Binatang. Mouseion menjelmah menjadi tempat berseminya ilmu pengetahuan. Alexander yang romantis, Ptolemaios yang bijaksana telah menghadirkan tempat persinggahan ternyaman bagi para pengembara dan pelaut dari seluruh dunia..

Hingga tiba saatnya benteng dan kemegahan kota itu harus runtuh karena cinta dan penghianatan. Akhir zaman Ptolemaios, Alexandiria dipimpin oleh pemimpin dengan moral rendah serta lemah. Pada tahun 51 SM kala itu Alexandria dibawah perlindungan seorang bocah sepuluh tahun Ptolemaios XIV dan telah mempersunting saudaranya sendiri menjadi istri politik yaitu Cleopatra VI baru saja menginjak usia tujuh belas tahun, sontak pemerintahan Alexandria sebagai pusat pertukaran perdagangan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan berubah menjadi taman bermain dan cerita cinta para remaja yang dipaksa memimpin negeri.

Jauh-jauh hari di belahan sahara lainnya, pemerintahan romawi mulai hijrah dan menguasai perdagangan pada Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pesisir utara Afrika. Kemegahan Alexandria layanya sang empunya nama menjadi incaran banyak pemimpin bangsa-bangsa disekitarnya tak terkecuali Roma. Kota yang dirancang dengan perpaduan kebudayaan Lembah Nil dan Helenis menggoda hasrat banyak penguasa untuk memilikinya, belum lagi Marcusur di pulau Pharos tempat Odysseus pernah singgah  dalam perjalanan pulangnya ke Ithaca; Epik Homers ini yang kemudian ingin dihidupkan Alexander yang kemudian diterjemahkan oleh si jendral cerdas Ptolemaios sahabatnya. Marcusuar itu menjulang tinggi 121 meter dengan lima tumpukan bangunan menjolok langit Alexandria, sebuah pencapaian yang tak dimiliki oleh bangsa mana pun di jaman itu serta lebih seperti sebuah magis bagi pelaut dan mayarakat Alexandria. Disiang hari masyarakat di darat dan para pelaut di lepas Samudra dapat melihat kepulan asap membumbung menutup langit Firaun, dimalam hari kilat merah lidah api menjilat-jilat langit laut mediterania hingga cahayanya yang telah menjadi mitos dapat ditemui replikanya di Cyrene pesisir utara Afrika. Langit malam yang terbakar jadi panduan oleh Pharos bagi para pelaut yang gamang menentukan arah di wilayah mediterania. Pharos menjadi suar utama bagi armada Kerajaan yang menjadi benteng awal menghalau lawan yang datang dari balik gulungan ombak mediterania.

Kisah Alexandria layaknya dongeng memaksa Julius Cesar harus datang jauh berlayar ke Alexandria untuk menaklukkannya, setibanya di pelabuhan Alexandria maka perjalanan hidup Julius Cesar tak lepas dari sebuah prosa panjang dari romantisme Alexandria. Perang, cinta, intrik, penghianatan terjadi antara dunia barat dan dunia timur, antara Julius Cesar dan si rupawan Cleopatra yang lebih magis parasnya dari pada langit malam yang terbakar api marcusuar Pharos . Kisahnya seperti bunga mawar hitam misterius yang tumbuh di tanah halaman istana sepanjang tanjung  Silsileh di Alexandria. Kisa tentang kota, cinta dan penghianatan masih tetap ingin didengar oleh setiap orang di setiap sudut dunia ini. ASS

Sumber: Foster, Edward Morgan Foster, ALEXANDRIA. Jakarta: PT. Pustaka Alvabet, Agustus 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun