Â
Pembicaraan malam ini meninggalkan kecewa pada meja makan di dapur mama Tres, redup bara pada tungku mengantar Naris dan anggota keluarga jatuh lelap pada malam senyap. Di atas dipan Naris membolak balikkan badannya seperti membalikan ikan mujair panggang di atas bara tungku mama Tres, Naris tidur tak tenang, pada gelap matanya menerawang alang-alang pada langit atap rumah, semburat kecewa masih saja belum enyah dari lubuk hatinya hingga akhirnya Naris pun menyerah pada kantuk dan terlelap dalam kekecewaan. Sementara di rumah lain pada ujung perkampungan itu, Lando dan Even tertidur dalam bunga-bunga bahagia setelah presentasi proposal pendidikan mereka diterima oleh keluarga besar kedua remaja kampung Maan; mereka segera dalam waktu yang tak lama lagi akan menempuh perjalanan jauh menjemput mimpi.
Bapa Norbert anak dari opa Feka seorang tamukung dan katekis di Insana, karena posisi ama Feka di kampung menjadikan bapa Norbert salah satu anak beruntung ; sebagai anak tamukung jalan mulus membentang bagi bapa Norbert masuk Hollandsh-Inlandesche School (HIS) sekolah misi  di Halilulik, di sana bapa Norbert diperkenalkan dengan huruf latin dan angka arab, maklum saja di wilayah kami tidak memiliki aksara lokal seperti huruf Lota miliki orang Ende; kemampuan membaca dan berhitung dimiliki bapa Norbert kelak menjadikannya salah satu pembaca berita koran dan Kitab Suci sejak masih belia di kampung.Â
Bapa Norbert pernah bercerita kepada kami, "dulu waktu jaman Belanda, marsose masuk ke kamapung-kampung  paksa anak-anak remaja pergi ke sekolah. Ada sebagian dari kami mesti diikat dan digotong warga seperti menggotong babi kampung, itu karena mereka tidak mau masuk sekolah asrama putra. Dan sebagian besar dari mereka sekarang menyesal karena tidak mau sekolah pada saat itu" jelas bapa Norbert.  Kini sebagian besar dari angkatan bapa Norbert sudah jadi juru tulis, sebagian jadi juru bayar dan pamong, sementara yang lain menyebar ke wilayah-wilayah lain di daratan Timor ini sebagai guru dan mantri. Hal itu tidak dilakukan oleh bapa Norbert, ia memilih untuk kembali ke kampung untuk meneruskan posisi opa Feka sebagai pewaris. Di rumah keluarga besarnya, opa Feka meninggalkan kebun berserta isinya, ada sapi harus digembalakan serta babi mesti dirawat, ada juga beberapa pohon cendana dan gaharu dibidang tanah keluarga yang sarat pohon rindang. Namun hal lebih penting dari semua itu adalah meneruskan posisi tamukung di kampung halamannya.
Pagi melepas malam, aktifitas di rumah beratap alang pun di mulai sedari pagi masih pekat, kelima adik Naris masih tidur bertumpuk pada bilik sempit di rumah, sementara mama mulai meniup bara sisa semalam pada tungku untuk menyiapkan air panas dan pisang rebus buat bapa dan Naris sebelum berangkat ke kebun. Bapa sibuk di pojokan dapur mengasah mata parang sambil menarik asap tembako sek yang membuat mata perih saking mengepulnya asap, sementara Naris melintas kedua orang tuanya seolah-olah tak ada kejadian memilukan hati semalam. Setelah selesai bersiap dan menyelesaikan kopi dan pisang rebus, mereka berdua berangkat ke kebun sekedar mengontrol tanaman yang sudah mereka rawat bertahun-tahun lamanya.
Hasil kebun dan penjualan sapi serta daging buah asam menjadi pemasukan utama bagi keluarga bapa Norbert, dari hasil penjualan ini bapa Norbert mengirim Naris dan adik-adiknya ke sekolah, belum lagi pengelolaan sekolah Negeri di wilayah kami masih kurang maksimal dan menjangkau ke daerah-daerah di wilayah timur Indonesia memaksa banyak orang tua lebih percaya menempatkan anak mereka pada sekolah misi dengan tambahan biaya. Tapi menurut orang tua di kampung itu tak mengapa, toh banyak anak NTT jadi pintar dididik para suster dan bruder pada sekolah misi, lihat saja bapak Frans Seda yang adalah buah rahim dari sekolah misi; sekarang beliau sudah jadi Menteri pada 'Kabinet Pembangunan' dengan program REPELITA milik presiden Soeharto pada pemerintahan Orde Baru; satu-satunya presiden yang berhasil mengeluarkan Indonesia dari jurang kemiskinan dan kelaparan, begitu kata para pamong penyuluh dari kantor Penerangan Provinsi saat memberi arahan di balai desa.
Tak butuh berlama-lama mereka berdua ke kebun, saat matahari sudah terasa terik pulanglah Naris dan bapanya, saat menuruni bukit, sudah tampak rumah batu (rumah tembok) even dari kejauhan, saat mendekati rumah even nampak dua remaja tanggung Even dan Lando sedang bersenandung Es Kaubele sambil Lando menggaruk-garuk dawai juk yang nampak hampir putus saking semangatnya dia. Rupanya kedua remaja tanggung itu sedang girang-girangnya sambil menghibur kampung halaman yang akan ditinggalkan mereka berdua. Tulang punggung Naris jadi layu saat melintasi lopo tempat kedua pemuda itu bernaung, sambil memikul setandan pisang mentah yang gendut-gendut.
"Naris singgalah dahulu" sapa Even, sebuah sapaan basa-basi bentuk keramahan dan ciri khas orang daratan Timor kepada sanak keluarga yang melintas di depan rumah. Bapa Norbert dan Naris pun berpencar; belum juga Naris duduk pada balok kayu yang difungsikan sebagai tempat duduk di Lopo, suara renyah Lando langung menggaung di telinga Naris, "bagaimana jadi kan kita bertiga ke Jawa?", tatapan diam Naris jadi jawaban buat Lando dan Even, saking sudah akrabnya mereka, bahasa tubuh pun bisa menjadi alat komunikasi ketiga orang sahabat itu. Seketika tak ada lagi nyanyian Es Kaubele di bawa naungan Lopo, Even dan Lando ikut berkabung pada perhentian dua belas via dolorosa yang Naris jalani pada suatu siang di hari Jumat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H