Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah di Desa

11 Februari 2023   12:49 Diperbarui: 11 Februari 2023   12:53 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter: Herman Efriyanto Tanouf   

Rumah bapa Norbert baru selesai dibangun enam bulan yang lalu, semua warga kampung turun saling tolong membangun rumah baru bapa Norbert tidak terkecuali teman-teman Naris. Rumah mereka kini sudah lebih layak, setidaknya adik-adik Naris kini hidup sehat di rumah baru bapa Norbert. Pondok keluarga bapa Norbert cukup mencolok bila dijajarkan dengan rumah lain di kampung Maan, rumah sudah berfondasi tinggi, bapa Norbet dibantu Naris baru saja menyelesaikan lantai kasar rumah. Ada dua daun pintu kayu berwarna biru dengan motif bingkai kaca, dipesan bapa Norbert dari bengkel kayu misi di Lebur, kedua daun pintu itu bisa dibuka bersaman sebelah menyebelahnya namun bisa juga hanya dibuka salah satunya, Mama Tres memilih membuka dua lembar daun pintu itu setiap pagi hingga petang datang bertamu setiap hari di kampung, katanya "biar angin masuk sampai ke dapur bawa rejeki". Dinding rumah bapa Norbert sudah setengah dinding bebak, sementara setengah temboknya dari batu-batu yang dikumpulkan warga saat proses pembangunan rumah, atap rumah masih menggunakan alang-alang, bapa Norbert bercerita pada om Endik kalau harga seng mahal dan cuma tukang dari bengkel misi tau teknik memasang atap seng pada rumah, ilmu pemasangan atap seng mereka dapatkan dari para bruder di bengkel misi saat mengikuti kursus. Di dalam rumah terdapat satu ruangan tamu dan dua bilik tidur dengan, setiap bilik sudah dipasang bapa Norbert bingkai dan daun jendela untuk sirkulasi udara terang bruder dari asrama paroki tempat Naris mengenyam pendidikan pada suatu kesempatan kepada bapa Norbert saat menceritakan rencanan hendak membangun rumah baru bagi keluarga menggantikan Ume Kbubu; warna daun jendela senada dengan pintu depan rumah. Kelima adik Naris saling berbagi sisi pada satu bilik kamar tidur, sementara Naris memilih tidur pada dipan di ruang tamu.  Dapur dan meja makan saling berbagi ruang, menyatu dengan bangunan rumah, disekat dengan diding bebak untuk memisahkannya dari ruang tamu dan bilik tidur, di sanalah hampir setiap malam pada meja panjang itu kelima adik Naris duduk berbaris saling berbagi sisi meja mengerubungi nyala api pada suluh lampu tioek  untuk menulis  tugas sekolah atau yang lainnya belajar mengeja huruf pada lembar-lembar tipis Kitab Suci, sementara mama Tres sibuk di depan tungku api menyiapkan makan malam, tak ketinggalan Bapa Norbert selalu mengambil posisi duduk di ujung meja mengawasi anak-anak belajar sambil menyuluh api pada sebatang tembako sek hasil gulungan sendiri,  isinya padat dan sudah menyerupai rasa Bentoel Biru yang hanya bisa ditemukan pada kios-kios milik orang cina di Hailulik atau di Atambua.

Pekarangan depan rumah bapa Norbert cukup luas, di sanalah setiap pagi mama Tres dibantu kelima anaknya membentangkan tikar untuk menjemur daging buah asam yang sudah dikuliti dan dibuang bijinya, bila musim penghujan datang pekarangan depan rumah ditanami mereka bibit jagung dan kacang tanah serta bibit labu sementara pekarangan belakang rumah  tanah dirambahi pohon tomat liar, pohon terong hutan serta tak ketinggalan pohon cabe. Tak perlu banyak sentuhan untuk merawat pohon-pohon mungil ini untuk menghasilkan buah limpah, mungkin mereka sudah mengakrabi diri dengan tanah bapa Norbert. Selain bercocok tanam di pekarangan rumah, keluarga bapa Norbert juga memiliki kebun di bukit Usapi, sumber pangan bagi keluarga bapa Norbert; lahan ini ditanami ubi dan pisang, tanaman pangan yang cukup tangguh terhadap iklim di Timor, sementara sapi peliaraan miliki keluarga dan warga desa di lepas di hutan dan pandang.

Di pekarangan depan rumah Naris terdapat Lopo, pendopo milik masyarakat masyarakat Timor; berbentuk kerucut dengan ilalang kering sebagi penutup bubungan atap; Lopo memiliki empat pilar penyangga, setiap pilarnya adalah kayu pilihan dari hutan, empat pilar ditegakkan pada empat sudut berbeda saling mengikat dan menyanggah atap kerucut diatasnya. Keluarga Naris sering berkumpul di bawa naungan Lopo ketika iklim di Timor sedang hangat, anak-anak bermain mengitari Lopo menemani mama Tres menenun Tais-Beti sementara bapa Norbert akan menggelar tikar untuk sekedar berbaring atau mengudut tembako sek. Saat musim panen tiba langit-langit Lopo akan dipenuhi dengan padi, jagung, kacang-kacangan, semuanya menjuntai menutupi kolong Lopo; itu menjadi pemandangan menggembirakan bagi keluarga bapa Norbert, ya...selain sebagai tempat berkumpul keluarga dan tempat menerima tamu, Lopo juga menjadi lumbung bagi masyarakat kami di Pulau Timor.

Seperti pada rumpun masyarakat lain di pulau Timor, rumah dan lingkungan tempat tinggal Naris adalah tempat teraman dikolong langit ini, warga dengan leluasa melepas sapi di hutan dan padang tanpa kawatir hilang dimaling, lagi pula tujuannya agar lingkungan desa lebih sehat. Hasil panen digantung pada lopo dan warga tetap merasa aman saat istirahat malam di dalam rumahnya masing-masing. Sejak Belanda mendarat di Timor, warga dipaksa turun dari gunung meniggalkan kebun-kebun mereka dan menetap pada wilayah yang sudah ditentukan oleh Gubermen, katanya untuk pemusatan penduduk agar dapat memudahkan mereka menciptakan rasa aman bagi warga namun pada kenyataannya itu cuma muslihat pemerintah Hindia untuk lebih mudah menjangkau penduduk desa  serta menarik pajak atas warga desa. Warga dipaksa membikin jalan desa, menghubungkan satu kampung ke kampung yang lain, Penduduk mulai mematok kintal masing-masing dan memberi batas pada setiap kintal di bawah pengawasan para marsose. Setelah dusun, desa dan kecamatan dibentuk, Gubermen mulai memilih Fetor dan Tamukung sebagai perpanjangan tangan pemerintahan serta menarik pajak dari warga, mereka diberi hak istimewa dari pemerintah Hindia di atas warga desa lainnya. Kisah inilah yang telah membentuk desa dan masyarakat kami.

Keterangan:

Atambua: ibu kota administratif kabupaten Belu.

Bebak: Pelepah pohon gewang yang dikeringkan, populer pada masyarakat wilayah pulau Timor sebagai bahan penting dalam pendirian rumah. Bebak berfungsi sebagai dinding rumah.

Fetor dan Tamukung: pada masa kerajaan, Fetor merupakan perwakilan raja pada wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kerajaan sementara Tamukung merupakan tingkatan yang berada dibawah fetor. Sistem pemerintahaan lokal ini kemudian digunakan oleh pemeritahan Hindia Belanda dalam menjalankan pemerintahan ditingkat lokal pada masyarakat wilayah pulau Timor

Halilulik: nama tempat di wilayah kabupaten Belu

Lebur: Nama tempat di kabupaten Belu, pernah ada pusat pelatihan perbengkelan kayu dan mesin bagi masyarakat di wilayah kabupaten Belu bahkan NTT yang diinisiasi oleh misi Katolik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun