Bermodal peringkat 100 besar di sekolah menengah atas, tiga anak saya pernah gagal mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), yang sekarang istilahnya telah dirubah menjadi Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP).
Sebab kegagalan mereka karena katanya memilih pilihan fakultas atau jurusan yang tidak realistis.
Konon anak-anak saya memilih jurusan favorit perguruan tinggi di Pulau Jawa, dimana sebelumnya tidak ada alumni yang lolos SNMPTN di jurusan (baca: program studi) tersebut.
Lalu, faktor kegagalan lain yakni nilai rapor yang tidak stabil. Saat masa sekolah kelas 10 – 12 nilai prestasinya dianggap zig-zag alias naik turun.
Padahal, nilai rapor menjadi salah satu poin penting ketika siswa mengikuti seleksi berdasarkan prestasi. Nilai yang cenderung stabil hingga naik setiap semesternya akan menjadi poin tambahan. Begitu info yang saya peroleh.
Berikutnya mungkin kurang prestasi. Ya tak dipungkiri prestasi sangat menunjang kelulusan saat siswa mengikuti proses seleksi nasional berdasarkan prestasi. Terlebih, jika prestasinya sampai berhasil lolos tingkat nasional.
Sayangnya, anak-anak saya selalu kalah dalam lomba dan hanya memliki sertifikat tingkat sekolah saja.
Satu hal lagi, saat pemilihan perguruan tinggi negeri dan program studi (Prodi) mereka memilih atas dasar semata pilihan pribadi (sendiri) dan hanya mengandalkan orang tua. Bukan atas bimbingan guru sekolah, biasanya ada bimbingan oleh waki kelas dan guru BP/BK (bimbingan penyuluhan/bimbingan konseling).
Walaupun tak lulus seleksi berdasarkan nilai rapor, ketika itu mereka nampak tak terlalu kecewa. Katanya, masih “Banyak jalan menuju Roma”. Lain itu mereka sudah dilatih untuk menerima “kegagalan” sebagai kata lain dari “keberhasilan yang tertunda.”
Alhasil, ketiganya kuliah juga di PTN melalui seleksi ujian tulis (Utul) lainnya. Sekarang anak saya yang pertama dan kedua sudah lulus kuliah dan bekerja. Yang ketiga masih kuliah di PTN tahun ketiga.