Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar satu dari lima penduduk, artinya sekitar dua puluh persen populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
Kalimat tersebut diatas saya kutif dari laman sehatnegeriku.kemkes.go.id edisi dua tahun lalu, 7 Oktober 2021. Dalam laman tersebut, Kemenkes membeberkan masalah permasalahan Kesehatan Jiwa di Indonesia.
Hari ini, saya memcoba berbagi pengalaman terkait penanganan kesehatan jiwa, terutama tentang ODGJ. Saya menulis ini mengingat pekan depan adalah Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Jadi sebaiknya, Jangan Lupakan Kesehatan Mental Kita !
Setiap tanggal 10 Oktober saya selalu teringat dengan kiprah teman-teman yang selalu berjuang melawan stigma sosial tentang sakit jiwa. Pasalnya, di tempat kami masih banyak terdapat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) kategori berat yang akhirnya terpaksa dipasung oleh keluarga dengan berbagai alasan.
Saya beberapa kali mengikuti pergerakan Relawan Anti Pasung (RAP) di tempat kami tinggal. Kiprahnya luar biasa dalam membebaskan ODGJ korban pemasungan.
Bahkan, setelah ODGJ dibebaskan, para relawan anti pasung membawanya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk mendapat pengobatan yang memadai.
Para relawan menanggung semua pembiayaan operasional mereka. Bahkan untuk kelengkapan surat keterangan tidak mampu (SKTM) mereka mengadvokasi pemerintah daerah setempat.
Setelah sembuh, kepulangan mantan ODGJ juga dijemput relawan dan dikembalikan ke rumah tinggalnya semula untuk berkumpul bersama keluarga.
Saya banyak belajar dari para relawan bagaimana cara bersikap terhadap ODGJ, yang katanya menurut keluarga disebut 'galak'.Â
Bersiap tenang, percaya diri, dan tidak kelihatan takut adalah modal keberanian yang dimiliki seorang yang berhadapan dengan ODGJ.
Pengalaman saya, tidak ada trik khusus dalam menghadapi penderita yang sedang mengalami agitasi atau mengamuk. Yang penting adalah bagaimana membuat penderita kembali tenang, dan sebisa mungkin mau diajak komunikasi.