Pagi itu, seperti biasa, aku bangun dengan perasaan campur aduk. Alarm berbunyi, membangunkanku dari mimpi yang samar, dan aku mulai menjalani rutinitas yang sudah lama terasa biasa. Sarapan cepat, lalu berangkat ke kantor dengan pikiran yang tak pernah jauh dari pekerjaan yang menumpuk. Setiap hari hampir sama: menghadapi laporan, rapat, dan deadline yang tak pernah habis. Kadang aku merasa seperti berputar-putar di tempat yang sama, tanpa arah yang jelas.
Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi terasa cukup kuat untuk mengguncang seluruh dunia kecilku. Entah bagaimana, dalam perjalanan pulang, aku berhenti sejenak di depan sebuah kafe kecil. Aku memutuskan untuk masuk, duduk, dan memesan secangkir kopi. Di luar, hujan mulai turun, menciptakan irama yang menenangkan. Aku merenung, memikirkan hidupku yang terasa seperti berjalan tanpa tujuan.
Kemudian, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari sahabat lama yang sudah lama tidak aku hubungi. "Apa kabar? Kapan kita bertemu lagi?" Pesan itu seperti semacam panggilan yang membangkitkan kembali kenangan masa lalu, kenangan tentang kita yang dulu sering berbicara tentang impian dan harapan. Aku membalasnya dengan singkat: "Mungkin kita harus berbicara lagi, lama tak bertemu."
________________________
Hari-hari berikutnya terasa penuh dengan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya aku inginkan. Pekerjaan, yang dulu terasa seperti tantangan yang menyenangkan, kini hanya terasa seperti rutinitas yang menjemukan. Aku mulai mencari waktu untuk diri sendiri. Aku memutuskan untuk mengambil cuti beberapa hari dan mengunjungi tempat-tempat yang sudah lama ingin kujelajahi. Mungkin, dengan menjauh sejenak dari segala kebisingan, aku bisa menemukan jawaban yang aku cari.
Di sebuah pantai yang jauh dari keramaian, aku duduk di tepi pasir, membiarkan angin laut menyapu wajahku. Di sana, aku mulai merasa sedikit lebih tenang. Aku bertemu dengan beberapa orang yang menarik---seorang seniman yang memilih untuk hidup sederhana dan seorang penulis yang menemukan kebahagiaan dalam menulis di kafe-kafe kecil. Mereka berbicara tentang kehidupan dengan cara yang berbeda, lebih menghargai momen-momen kecil. Mereka mengajarkanku bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang ditemukan dalam pencapaian besar, melainkan dalam kedamaian batin dan keberanian untuk hidup sesuai dengan apa yang kita yakini.
Namun, ketika aku kembali ke kota dan mulai kembali bekerja, aku merasakan pergolakan di dalam diriku. Rutinitas lama itu kembali menggodaku. Apakah aku sudah membuat keputusan yang tepat? Apakah aku terlalu cepat merasa puas dengan pencapaian yang ada? Aku masih merasa ada sesuatu yang kurang---sebuah tujuan yang lebih besar, sebuah arah yang lebih jelas.
________________________
Suatu sore, ketika aku sedang duduk di meja kerja, sebuah tawaran datang. Sebuah peluang besar, pekerjaan baru yang lebih menantang, dengan gaji yang lebih tinggi dan kesempatan untuk berkembang lebih jauh. Semua orang di sekitarku memujinya, mengatakan betapa beruntungnya aku. Tetapi, semakin aku memikirkan tawaran itu, semakin aku merasa ragu. Apakah ini yang aku inginkan? Atau aku hanya takut menghadapi perubahan yang lebih mendalam dalam diriku sendiri?
Akhirnya, aku memilih untuk tidak terburu-buru. Aku menyadari bahwa keputusan besar tidak bisa hanya didorong oleh ego atau harapan orang lain. Aku perlu mendengarkan suara hatiku sendiri, yang menginginkan lebih dari sekadar kesuksesan duniawi. Aku mulai lebih banyak berfokus pada hal-hal yang membuatku merasa hidup---menulis, berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa, dan kembali ke tempat-tempat yang membawaku lebih dekat dengan diri sendiri.