Mohon tunggu...
Ade Ramdan Gumelar
Ade Ramdan Gumelar Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Epidemiolog Kesehatan

Cogitationis poenam nemo patitur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manufaktur Kemerdekaan Semu

17 Agustus 2024   17:23 Diperbarui: 17 Agustus 2024   17:35 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah momen agung yang kita rayakan setiap tahun dengan penuh gegap gempita: upacara bendera, pidato pejabat, dan parade yang menyala-nyala. Namun, di balik semua seremonial itu, muncul pertanyaan yang lebih tajam: Apakah kemerdekaan itu sungguh dirasakan oleh semua warga negara? Ataukah, kemerdekaan ini hanyalah sekadar mitos kolektif yang kita pelihara demi menjaga semangat nasionalisme yang semakin tipis?

Mari kita lihat kenyataan. Kemerdekaan yang konon diperjuangkan dengan darah dan air mata ini seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat. Namun, lihatlah ironi besar yang terjadi di negeri ini. Di Rembang, masyarakat Kendeng harus bertarung dengan korporasi besar hanya untuk mempertahankan tanah mereka dari pabrik semen yang jelas-jelas menghancurkan sumber penghidupan mereka. Dengan dalih "kepentingan nasional" dan "pembangunan", pemerintah berdiri gagah di sisi perusahaan, sementara petani kecil diabaikan. Apa bedanya ini dengan kolonialisme? Dulu penjajah datang dengan senjata dan kebijakan tanam paksa, sekarang korporasi datang dengan kontrak dan aparat bersenjata. Jika ini yang disebut kemerdekaan, maka kemerdekaan itu hanya milik segelintir orang yang duduk nyaman di kursi empuk kekuasaan.

Di Dago Elos, Bandung, kita juga melihat cerita klasik lain tentang penggusuran. Warga yang sudah tinggal di sana selama berpuluh-puluh tahun tiba-tiba diusir atas nama "penataan kota" dan "pembangunan". Tanah yang mereka tempati dianggap bukan milik mereka, meskipun mereka telah menghidupi tempat itu selama beberapa generasi. Bagaimana bisa, di negeri yang katanya merdeka ini, warga dipaksa pergi dari tanah yang menjadi tumpuan hidup mereka? Ah, tentu saja jawabannya sederhana: kepentingan bisnis. Tanah tersebut lebih berharga bagi pengembang properti daripada bagi warga biasa yang hanya dianggap penghalang kemajuan.

Kasus serupa juga terjadi di Wadas, Jawa Tengah, di mana warga berjuang mati-matian menolak proyek tambang batu andesit yang akan menghancurkan lingkungan mereka. Pemerintah, dengan sikap penuh “kebijaksanaan”, mengirim aparat keamanan untuk "menjaga ketertiban". Tentu saja, "ketertiban" yang dimaksud adalah ketertiban investasi, bukan ketertiban hidup warga. Bagi mereka yang memiliki kekuasaan, nyawa petani kecil itu tidak lebih dari angka di laporan tahunan, sementara keuntungan dari proyek tambang dipandang sebagai prestasi pembangunan. Ini adalah bentuk kemerdekaan yang kita rayakan, di mana kemerdekaan rakyat bisa dengan mudah dikorbankan demi kemerdekaan kapital untuk terus memperluas cengkeramannya.

Di Kulon Progo, Yogyakarta, petani menghadapi masalah serupa dengan tambang pasir besi. Mereka yang selama ini hidup dari bertani dipaksa menerima kenyataan bahwa tanah mereka akan disulap menjadi area industri. Ketika mereka menolak, mereka dianggap anti-pembangunan, tidak nasionalis, dan bahkan mungkin dicap sebagai penghambat kemajuan bangsa. Retorika ini seolah menjadi senjata yang digunakan untuk membungkam suara rakyat kecil yang hanya ingin mempertahankan hidup mereka. Negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru berfungsi sebagai alat untuk memastikan kepentingan investor berjalan mulus tanpa hambatan.

Melihat semua ini, kemerdekaan Indonesia tampak seperti sebuah ilusi besar. Kita seolah-olah merdeka dari penjajahan asing, tetapi di sisi lain, kita justru dijajah oleh sistem yang tidak adil. Para elit terus berbicara tentang kemandirian ekonomi dan pembangunan, tetapi kenyataannya, pembangunan itu tidak untuk semua. Mereka yang tinggal di gedung-gedung tinggi di Jakarta mungkin merasakan manfaatnya, tetapi bagaimana dengan petani di Kendeng, warga di Dago Elos, atau masyarakat di Wadas? Mereka tetap menjadi orang-orang terpinggirkan yang suaranya nyaris tak terdengar.

Jika kita mau jujur, kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun hanyalah ritual kosong yang penuh dengan kebohongan. Apakah kita benar-benar merdeka jika tanah kita bisa dirampas kapan saja oleh mereka yang lebih kuat? Apakah kita benar-benar merdeka jika hak-hak dasar kita sebagai warga negara bisa diabaikan hanya karena tidak sejalan dengan kepentingan ekonomi yang lebih besar? Apakah kita benar-benar merdeka jika negara kita sendiri lebih peduli pada keuntungan korporasi daripada kesejahteraan rakyatnya?

Pada akhirnya, perayaan kemerdekaan Indonesia hanya menjadi sarana untuk menutupi kenyataan pahit bahwa ketidakadilan masih menjadi bagian integral dari kehidupan bangsa ini. Kita terus berpura-pura merdeka, sambil menutup mata terhadap penindasan yang dialami oleh mereka yang berada di lapisan terbawah masyarakat. Kemerdekaan yang sebenarnya masih menjadi utopia yang belum tercapai, sebuah mimpi yang terus dipromosikan tetapi semakin jauh dari kenyataan.

Jadi, selamat merayakan kemerdekaan. Tetapi ingat, bagi banyak orang di negeri ini, kemerdekaan hanyalah sekadar slogan kosong yang terdengar indah di pidato-pidato, sementara kenyataan mereka adalah kehidupan yang terus-menerus dibayangi ketidakpastian dan penindasan. Mungkin suatu saat nanti, kita bisa benar-benar merdeka. Tapi sampai saat itu tiba, mari kita akui bahwa kemerdekaan Indonesia, bagi banyak rakyatnya, masihlah semu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun