Banyak yang menyimpulkan bahwa tingginya konflik sosial yang terjadi di Kabupaten Bima NTB merupakan warisan dari Tradisi Ndempa. Itu tidaklah sepenuhnya logis dan cenderung spekulatif. Mengasosiasikan tawuran sangar antar warga masa kini dengan Ndempa, juga kurang tepat. Lebih-lebih menempatkan Ndempa dalam konteks budaya barbarian, itu sangat tidak bijaksana. Karena gambaran Ndempa yang sebenarnya itu sangat elok.
Bagi masyarakat Bima, Spirit (filosofi) Ndempa bukan hanya terletak pada adu bogem untuk unjuk wira. Tapi lebih dari itu, bagi mereka, Ndempa seolah merupakan sebuah tarian laga di Pesta Panen. Jenis ‘tarian’ yang sangat representasional (alurnya jelas, tertata, dan manusiawi), bukan ‘tarian’ mimitif yang meniru-niru banteng liar. Artinya, Ndempa punya aturan main (meski tak tertulis), punya batasan (meski tak berwasit).
Para pelaga Ndempa biasanya sangat mematuhi aturan main dan batasan yang ada (meski tak berhakim). Ndempa bukan hanya melibatkan sekelompok pemuda, tapi juga melagakan anak-anak dan mereka yang di rentang lansia awal (46-55). Hanya akan dianggap pelaga jika mereka berada dalam lingkup gelanggang. Mereka yang berada di luar gelanggang dianggap penonton yang tidak akan diserempet bogem. Hanya boleh mengandalkan bogem dalam berduel. Tidak boleh ada senjata dan keroyokan. Bagi pelaga yang tersungkur tidak akan dicecar. Waktu yang dipakai untuk Ndempa biasanya ba’da ashar sampai jelang maghrib. Setelah itu bubar teratur balik kubu tanpa perlu diusir tentara.
Karena Ndempa, bagi orang Bima hanyalah permainan unjuk wira. Tarian laga para wira yang penuh kehangatan dan persahabatan. Maka tidak heran, selepas laga tidak diekori dendam meski telah beradu jotos sampai babak belur. Laga hanya dikenal dalam gelanggang. Selepas itu kembali berbimbingan menuju Mesjid untuk menunaikan sholat Maghrib.
Orang di luar Bima bisa jadi akan tersesat dalam gambaran, bahwa Ndempa adalah perkelahian massal yang semberawut dan beringas. Seruduk sana seruduk sini, tebas kanan dan tebas kiri. Itu sebenarnya jauh panggang dari api.
Di Kecamatan Woha sendiri, Ndempa sangat popular hingga di akhir era 80-an. Ndempa merupakan tontonan yang sangat diminati masyarakat selain pacuan kuda. Tidak heran bahkan kaum wanitapun kala itu rela mendaki Gunung Samili untuk menonton Ndempa. Biasanya gelanggang yang dipakai berada di lokasi perbatasan antara dua ‘kubu’. Kubu tersebut bisa merupakan sebuah Desa, atau perkampungan, bahkan lingkup RT yang biasanya bersebelahan.
Yang menarik adalah biasanya yang dijago-jagokan oleh kedua kubu akan belaga di ‘partai’ akhir. Partai awal Ndempa melagakan anak-anak, kemudian mereka yang beranjak dewasa. Awal Ndempa, para pelaga biasanya melakukan aksi Katara Angi (Tunjuk Tantang) dan memprovokasi lawan yang dipenujui agar mau berduel. Kalaulah gayung tersambut barulah duel terwujud. Awalnya para pelaga dilepas solo untuk memanaskan suasana.
Setelah suasana memanas mereka akan maju beramai-ramai (Ndempa Ndiha), tapi tetap tidak ada keroyokan. Biasanya sebelum maju beramai-ramai, kedua kubu sudah mbolo (rapat) untuk menyasar lawan tanding masing-masing. Ndempa Ndiha inilah yang paling meriah.
Belum bisa dipastikan, di wilayah mana di Bima ini Ndempa berasal. Banyak yang menengarainya berasal dari Desa Ngali Kecamatan Belo, mengingat Ngali sangat kental dengan tradisi ini.   Dan konon, mulanya Ndempa hanyalah unjuk kebolehan antara dua orang pria yang dipertontonkan kepada khalayak untuk memeriahkan ‘Pesta Panen’ kala itu. Kemudian lambat laun, dari tontonan yang melibatkan satu duel berkembang menjadi sekelompok duel. Hingga akhirnya Ndempa Ndiha berganti tawuran massal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H