Sore ini aku dikuasai oleh kata maki
Ketika berkaca di atas riak-riak kehidupan ini
Aku segelegar berontakan huruf mati,
Ketika terkubur dalam monolog yang sunyi di tepi hari
Di pinggir-pinggir sudut pemikiranku
Aku nampak bergeliat di atas lipatan-lipatan anomie
Di lubuk-lubuk kedalaman pemahamanku
Aku terlihat megap-megap dalam tumpukan mimpi
Resah kini berjerawat di keningku
Duka pun berlumut di mataku
Sedang letih berkarang di gigiku
Karena beratnya angan-angan yang berakar di kepala
Aku bisa melihat di tepi lembayung senja ini
Cita-citaku yang dulunya cemerlang di puncak bukit
Kini, berlari ke arah ketinggian,
Mendaki awan
hingga bergelandang di luar batas gravitasi
Menebar kegelisahan…..
Sungguh, aku mengutuk sejadi-jadinya,
anomie masa depan yang mencekik leher ini
Sehingga untuk bernafaspun, aku seolah harus berebut udara
Aku mencaci sekuat-kuatnya,
mimpi yang membesarkanku
Sehingga jalan kehidupan ini terasa semakin sempit
Pada akhirnya,
Aku memakimu sekencang-kencangnya,
Kambing hitam takdirku
Dan budak Sang Gembala yang lemah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!