Mohon tunggu...
adenendang
adenendang Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Birunya Langit

3 Juli 2011   10:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:58 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kotaku adalah kota angin. Kota tempat bersenda guraunya angin. Terkadang angin berkejar-kejaran sambil mengelus kaki jenjang perawan. Sering juga karena kenakalannya, rok para gadis pun diangkat sampai auratnya terpampang. Tentu saja mereka menjerit karena malu. Dan angin nakal pun berlalu dengan siulan keras karena puas telah berhasil membuat merah wajah para lanjang.

Bila kemarau tiba, kulit penduduk kotaku burik-burik karena kekeringan. Telapak kaki pecah-pecah. Bibir pun sulit dipakai bicara karena kaku lalu perih dan berdarah. Belum lagi air sulit dicari, jangankan untuk mandi bahkan hanya sekadar untuk gosok gigi pun sangat langka.

Kotaku bukan kota mati. Tapi kotaku juga bukan kota yang hidup. Kotaku kota sepi yang sepi dari kegiatan, sepi dari pembangunan, dan oleh karenanya sepi dari pembicaraan. Kata orang yang sinis, bila orang frustrasi atau orang pensiunan tinggal di kotaku, mereka akan cepat mati. Tapi apakah separah itu?

Bagaimanapun keadaan kotaku, aku tetap mencintainya. Karena di sini suaraku pertama kali kuteriakan pada saat aku baru meloloskan diri dari kungkungan rahim ibuku. Di sini pula lampin pertamaku dipakaikan ibuku agar tubuhku tetap hangat.Dan sangat keterlaluan bila aku tidak mencintai kota yang sepi di kaki gunung ini, karena pada masa kecilku sampai setua ini, keluar dan masuknya nafasku menggunakan udara yang ada di kotaku ini.

Kotaku kota angin, yang sangat panas di siang hari tapi dingin di malam hari. Di sini pula cinta pertamaku tumbuh lalu layu membusuk tak membekas. Panah asmaraku kuarahkan ke langit yang biru tanpa awan, lalu kembali menancap ke tanah dan menumbuhkan jutaan kecambahharapan tentang cita dan cinta. Dadaku mengembang, penuh dengan asa, meski gadis yang kukejar belum ada yang memberi tanda. Tapi aku tetap menebar tawa.

Kotaku dengan langit biru di siang hari musim kemarau adalah kota yang tidak pernah menebar janji. Bahkan langit pun bersih dari bercak-bercak mega. Karenanya, Sang Surya pun dengan bebasnya menggerayangi tubuh Dewi Bumi, sehingga Dewi Bumi kering kerontang karena air cintanya habis dijilati dengan penuh nafsu membara Sang Surya. Tidak ada setetespunsisa cinta yang bisa menumbuhkan biji-bijian, meski hanya sebutir saja.

Itulah gambaran kotaku dimusim kemarau. Kota yang kering kerontang. Disini sulit ditemukan hijau daun; apalagi mekar bunga yang menggoda.

Tapi ada kisah yang menyeruak di gemuruhnya angin kotaku:

Hari itu seorang remaja putra pamit pada ibunya. Pada kampung halamannya ia lambaikan tangan. Ia langkahkan kakinya dengan ringan, meskipun ransel memberati punggungnya. Sementara angin gemuruh mengantar kepergiannya, sambil mempermainkan dasi segi tiga merah-putih yang menghiasi dadanya.

Di tengah padang yang kering kerontang; penuh tenda putih yang menyilaukan. Bayangannya menimbulkan fatamorgana. Sang Merah Putih berkibar dipermainkann bayu. Sementara para Pramuka sedang riang berlagu. Bertepuk tangan mengiringi yang bernyanyi, mencoba melupakan sengatan mentari.

Pemandangan indah di perkemahan menyeruak dari barisan para gadis yang letih-lesu karena lelah dipanggang terik sang surya.

Seorang gadis dengan mata cemerlang, memberikan kesejukan di tengah hari yang panas. Senyumnya menyegarkan suasana. Tutur katanya menenangkan jiwa pendengarnya. Tingkah lakunya membuat orang lesu menjadi ceria. Dan tatapannya membuat jantung si remaja putra berhenti berdenyut. Pendeknya, bila dilihat, tatapan matanya tajam bagai sinar mentari; bila dirasakan, tatapan itu sejuk bagaikan cahya rembulan di malam hari.

Hati si remaja putra gemuruh penuh rindu. Hatinya tidak tenang bagai alam digoncang lindu. Di ujung matanya selalu ada sosok si gadis. Ke mana dia memandang di sana ada si cantik. Ingin rasanya langit yang tiada bermega, memantulkan gambar hatinya pada pujaannya. Ingin rasanya angin yang berhembus kencang, memperdengarkan degup jantungnya lewat gemuruh suaranya. Ingin rasanya mentari yang panas membara, menjerang cintanyaagar bisa menghangatkan dan menghilangkan haus jiwanya.

Angin kemarau yang kering dan panas sangat tidak menyegarkan. Tapi hanya ada itu udara yang mengisi alam ini. Kadang debu berputar-putar ikut puting beliung, kadang dedaunan kering dipermainkan angin puyuh. Apakah getaran rindu si remaja putra itu pun sedang dipermainkan seperti angin mempermainkan dedaunan? Tetapi siapakah yang mempermainkan rasa itu sementara si gadis tidak pernah mengetahuinya?

Itulah indahnya cinta. Cinta yang sekedar untuk dikenang. Cinta yang ‘kan abadi sampai langit tertutup awan. Cinta yang ‘kan abadi sampai musim hujan datang.

Tapi getaran cintanya ini mengibakan Malaikat Rahmat. Makapanah asmara pun dipasang pada tali busur yang keramat. Dan melesatlah menuju hati si gadis meski agak lambat. Sertaawan putih pun dengan ceria menuliskannya di biru langit, bahwa sepasang manusia sedang melakoni kembali kisah Adam dan Hawa. Dan suatu ketika turunannya akan meramaikan dunia.

Angin melesat ke angkasa, membawa pesan tentang cinta. Angin melesat ke langit biru, menyiramkan asa yang telah diramu.

Dan kini, langit di atas kotaku, masih tetap biru.

Bandung, 3 Juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun