Mohon tunggu...
Aden Setiawan
Aden Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Foto di ambil saat pelaksanaan kegiatan pengkaderan sebuah organisasi paguyuban daerah.

" Tujuh Dosa Sosial ; Kekayaan tanpa bekerja, kenikmatan tanpa nurani, ilmu tanpa kemanusiaan, pengetahuan tanpa karakter, politik tanpa prinsip, bisnis tanpa moralitas, dan ibadah tanpa pengorbanan " ( Mahatma Gandhi )

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memasarkan Tuhan, Menuhankan Pasar

5 Desember 2020   01:57 Diperbarui: 5 Desember 2020   10:09 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang pelajar dan perantau saya di tuntut, untuk hidup lebih mandiri dan sederhana. Hidup di negeri orang memang tidaklah mudah, disamping nilai kebudayaan dan culture masyarakat yang berbeda, kita harus sigap dan lihai membendung  hedonisme zaman yang mengikis identitas. Apalagi saya sebagai seorang pelajar yang erat dengan nilai-nilai intelektualitas.

Agar kiranya tidak terjerumus dalam jurang kehedonan, saya kadang sesekali memilih pasar untuk melengkapi segala keperluan sehari-hari, terutama keperluan perut. Singkatnya pasar adalah tempat yang tepat untuk membahagiakan perut saya yang jatah bulanannya pas-pasan. Kali ini tujuan saya bisa mendapat ikan segar untuk dimasak. Dengan salah seorang penjual ikan, saya ditawari harga murah dan bonus beberapa ikan lainnya, sekilas saja saya tergiur dan langsung membelinya. Ternyata saya tak pandai memilih ikan segar dan justru sebaliknya, saya mendapat ikan busuk, dan faktanya adalah saya tak pandai memilih ikan. Ya, saya payah !

Bicara soal pasar tidak akan pernah habisnya, banyak sisi yang menarik untuk dikupas. Selain sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, pasar diharapkan mampu menjawab kebutuhan dan keberlangsungan roda perekonomian, lihat (UU no 7 2014 Tentang Perdagangan).

Sebagai pondasi perekonomian suatu negara, tentu pasar (Tradisional) menjadi pilihan dan prioritas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi dengan keadaan pasar yang dipandang masih kotor, sarana dan prasarana yang tidak memadai akan semakin menguatkan mindset ke "kunoan" dan terbelakang, ditambah pada situasi pandemi seperti ini akan sedikit menurunkan niat untuk berkunjung ke pasar karena tidak sedikit permasalahan penularan Covid19 yang berawal dari pasar.

Jika kita komparasikan pasar ke dalam proses perpolitikan, khususnya daerah Dompu maka akan menarik sekali.

Contoh sederhana misalkan, penulis ke pasar tentu awalnya untuk memenuhi kebutuhan, tidak sampai disitu. Ternyata penjual di pasar ini pun mempunyai motif yang sama. (Sama-sama untuk keperluan perut). Ketakutannya adalah jika motif ini berlaku pada politisi Daerah kita. Yang maju dan ber kontestasi dalam pemilihan umum hanya sebagai sarana pemenuhan perut maka ini adalah suatu bentuk kecelakaan berdemokrasi beserta nilai-nilai nya. Apalagi anda seperti pemilih yang sama seperti saya yang salah memilih ikan busuk tadi.

Menyambung dengan pendapat di atas, penulis mengingat suatu pepatah " Ikan Busuk Dimulai Dari Kepalanya" jadi jikapun pemimpin yang terpilih kelak berada pada kondisi yang memasarkan Tuhan dan Menuhankan Pasar demi kebutuhan perut padahal dia adalah busuk, siap-siap saja. Kita perlu khawatir dan kecewa lima tahun kedepan santapan kita hanya bau busuk seorang pemimpin. Bukan pada prestasi !

Jika kita berkaca pada salah satu teori korupsi menurut Jack Bologne Gone Theory menyebutkan bahwa faktor penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan. Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Benang merahnya adalah pemenuhan kebutuhan perut semata tentu sangat mendukung proses Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Jadi penulis berharap, kontestasi Pemilihan Kepala Daerah serentak yang akan diselenggarakan 9 Desember 2020 khususnya Kabupaten Dompu mendatang, menjadi ajang kewarasan demokrasi, tanpa ada embel-embel memilih oleh karena diberikan bonus ikan lainnya yang bisa jadi itu busuk seperti pengalaman penulis tadi.

Terimakasih, Salam Demokrasi Sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun