CONSTANCE
Aku berada di sebuah ruangan tanpa jendela, dan sebuah tangan membekap mulutku. "Jangan bersuara.." Bisiknya. "Kau tidak ingin membuat Tuhan murka kan?"
Gemetar, aku menatap patungNya di ujung ruangan. "Kehendakku, adalah perintahNya." Kemudian, tangan besar berbonggol-bonggol itu merayapi tubuhku. Bau dupa masih tercium di telapaknya. "Penyucian selesai, kau akan diampuni." Dia mendesah, melumat bibirku. Bibirnya getir tembakau. Cairan amis menyebar di perutku. Pangkal pahaku membara.
**
"Jangan menangis, Constance." Suster Sandrine mendekapku di dadanya, mencium puncak kepalaku dengan lembut. "Apa yang membuatmu begitu sedih?" Suaranya begitu halus. "Aku ingin pergi dari sini.." Lirihku terluka. "Inilah rumahmu, Sayang. Disini kita mengabdi padaNya.." Ia membelai kepalaku dan menatapku penuh sayang. "Tuhan membenciku." Suster Sandrine memelukku, aroma verbenna menguar dari tubuhnya. "Dia sangat Maha Pengasih, Constance." bisiknya kemudian.
Aku terdiam, perkataan Pendeta itu terngiang di kepalaku. "Jika kau menceritakan penyucianmu kepada orang lain, Dia akan lebih murka, entah apa yang akan Dia perintahkan padaku." Pendeta itu memperingati, melecutkan gespernya ke arahku, sementara pangkal pahaku masih membara dan cairan miliknya masih memenuhi perutku. Aku tidak pernah tahu, apa yang kulakukan sehingga Ia begitu marah dan mengutus pendeta itu menghukumku.
**
"Kenapa Dia marah padaku?" Tangisku saat Pendeta itu mulai melucuti pakaianku. Aku berambut merah mengkilap dan cantik. Rapuh dan ketakutan. "Semua anak wanita berdosa." Bisiknya, diantara desah-desah mengerikan yang terlontar dari bibirnya. "Dosa asal, dari Hawa, harus ditanggung semua wanita. Aku harus memberikan penyucian dosa padamu." Ucapannya terengah-engah sambil memasukkan sesuatu ke pangkal pahaku. Aku bungkam, merasakan nyeri di pangkal paha.
**
"Mimpi buruk yang terus berulang." Ucapku parau. Aku bangkit menuju cermin besar yang terpampang di dinding. Kulilitkan handuk di pinggangku, membiarkan dadaku menjuntai, "Inilah aku, tubuh pendosa, yang selalu Kau murkai." Bisikku sinis melihat bayangan di cermin. "Bahkan sejak berusia lima tahun, Kau selalu marah padaku." Aku menelusuri luka-luka permanen di perutku. Rokok. Cambuk. "Harus melakukan ritual penyucian setiap hari. Di bilik pengakuan dosa. Dan Bapa Pendeta, melumatku seperti serigala tamak. Jahat. Rakus." Aku kembali tertawa muram, menatap cermin yang berkilat-kilat.
"Aku harus menanggung dosa asal, kecuali.." Bisikku menatap kedua tonjolan di dada. Pisauku mulai menari, handukku memerah darah.
"..kecuali aku tidak lagi menjadi wanita.."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H