Mohon tunggu...
Adella Diva Rahmadian
Adella Diva Rahmadian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A dreamer

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Things Left Behind: Hal-hal yang Dapat Dipelajari dari Mereka yang Telah Menjumpai Kematian

28 Oktober 2022   14:40 Diperbarui: 28 Oktober 2022   14:55 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut sebagian orang, kematian bukanlah sebuah hal yang nyaman untuk diperbincangkan. Kematian selalu membuat sebagian besar dari kita merasa tidak nyaman, karena akan terasa menyakitkan serta menakutkan. Namun, anggapan tersebut nyatanya tidak berlaku untuk Kim Sae Byul. Melalui novelnya yang berjudul Things Left Behind, lelaki itu banyak menjabarkan hal-hal yang dapat kita pelajari dari mereka yang telah tiada dan berjumpa dengan kematian.

Things Left Behind merupakan novel nonfiksi yang berisi berbagai macam essai di dalamnya. Novel tersebut ditulis oleh Kim Sae Byul yang notabennya berprofesi sebagai pengurus barang-barang peninggalan mereka yang telah 'berpulang'. Profesi tersebut terdengar sangat langka dan hanya ada di Korea Selatan. Melalui profesi tersebut, penulis memutuskan untuk membagikan pengalamannya kepada publik, bukan sebagai ajang berbangga diri, penulis mendedikasikan tulisan ini agar pembaca mampu memetik hikmah yang terdapat dalam setiap essai pada novel ini.

Dalam menjalankan profesinya itu, Kim Sae Byul harus terjun langsung ke TKP di mana seseorang menemui ajalnya. Banyak hal yang ia temukan ketika sedang bertugas, termasuk berbagai kisah menyentuh yang melatarbelakangi penyebab kematian mendiang. Kisah haru yang paling sering ditemukan Sae Byul adalah kisah seseorang yang menemui kematian dalam kondisi kesepian. Dalam banyak kasus, penulis menemukan fakta bahwa masih banyak orang yang meninggal dalam kesepian di sekitar kita. Mengingat tingginya sikap individualisme masyarakat Korea, penulis banyak menjumpai mereka yang meninggal seorang diri di dalam apartemennya, remaja yang tergeletak tak bernyawa seorang diri di kamar kosnya, dan pria yang menjumpai ajal dalam kondisi terkurung sebatang kara di rumah sewanya. Kisah-kisah itu terdengar sangat nahas. 

Sangat menyedihkan saat berpikir bahwa di luar sana, ada begitu banyak orang yang meninggal sendirian dan kesepian tanpa seorang pun yang menemani mereka menghabiskan detik-detik terakhirnya di dunia, atau bahkan untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal.

"Makna kematian dalam kesepian tanpa ada yang mendampingi bukanlah soal kematian, tetapi soal hidup. Itu bukan soal seberapa dalam dia mati dalam kesepian. Tetapi, seberapa dalam dia hidup dalam kesepian. Hidup dalam kesepian mengakibatkan kematian dalam kesepian tanpa ada yang mendampingi."

Kesepian adalah hal yang menyebalkan, namun ia dapat terjadi pada siapa saja baik si muda maupun si lanjut usia. Di dunia yang serba canggih ini, komunikasi langsung antar individu tidak lagi diutamakan. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi, yang secara langsung dapat menciptakan jarak antar satu individu dengan individu lainnya. Seorang anak menjadi jarang berkunjung ke rumah orang tuanya, seorang teman menjadi asing karena tak lagi bertegur sapa, dan seorang nenek menjadi terisolasi jauh dari keluarganya karena tak mengerti teknologi untuk saling berkabar, semua itu lantas menjadi penyebab rasa kesepian itu muncul.

Salah satu kisah yang membuat kita terenyuh dalam buku ini yakni kisah seorang pria yang meninggal seorang diri di rumah sewanya. Pria paruh baya yang memiliki keterbatasan untuk bergerak karena kakinya yang cedera. Cedera di kakinya tak kunjung pulih membuat dirinya tak lagi bekerja, sehingga kondisi ekonominya semakin memburuk. Anak dari pria ini berulang kali membujuk ayahnya untuk pindah dan tinggal bersamanya, namun pria itu bersikeras menolak. 

Pria itu berpikir untuk tidak menyulitkan anaknya yang telah berkeluarga, menurut si pria keadaannya akan baik-baik saja karena kecanggihan teknologi dapat membantunya. Alhasil, si anak yang sibuk bekerja hanya mengirimkan uang bulanan untuk ayahnya dan sesekali bertukar kabar melalui ponsel, sebab jarak rumah si anak dengan pria itu terlampau jauh dan memakan waktu 4 jam perjalanan. Kesendirian pria itu lantas menciptakan kesepian bagi jiwanya. 

Kesepian lambat laun memusnahkan semangat hidupnya, kondisi kaki pria itu semakin buruk karena pola makan yang tidak baik dan akibat dari mengkonsumsi minuman keras secara terus-menerus. Ya, sepanjang kesendiriannya pria itu terus memesan minuman keras setiap pagi dan malam. Ketika petugas minimarket mengantar pesanannya, pria itu mengambil barang yang tergeletak di depan pintu dengan cara merangkak, karena kakinya tak lagi berfungsi. Hilangnya semangat hidup dilampiaskannya melalui minuman-minuman tersebut. Menurutnya, hidup tak lagi bermakna. Mungkin bagi almarhum, kematian adalah solusi terbaik untuk mengakhiri semua derita dan rasa kesepiannya.

Menurut penulis, kualitas hidup seseorang ditentukan oleh kemampuannya. Jika kemampuan orang itu tak mampu memberikan kemajuan dalam hidup, maka orang itu telah gagal. Orang itu menjadi orang yang gagal, terlupakan oleh orang-orang sekitar, dan tertinggal dari dunia yang semakin bergerak pesat. Kepercayaan dalam dirinya mulai sirna, begitu juga dengan semangat hidupnya. Lalu ia menjadi seorang penyendiri yang tertutup hingga akhirnya meninggal dalam kesepian. Itulah kematian dalam kesepian tanpa seorang pun mendampingi. Narasi tersebut sangat menggambarkan pria paruh baya itu. Karena cedera di kakinya, ia menjadi tak berdaya untuk memajukan kondisi ekonominya. Dia kehilangan semangat hidup, memilih tempat tinggal yang berjarak jauh dengan rumah anaknya, minum minuman keras sepanjang hari, mengkonsumsi makanan tak bergizi, dan tak meminta bantuan kepada siapapun. Semua itu disebabkan oleh hilangnya semangat hidup dalam diri pria itu.

Kesepian juga menyebabkan manusia untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Di Korea sendiri, bunuh diri menjadi faktor dominan yang menyebabkan kematian seseorang. Kasus bunuh diri di Korea telah mencapai angka yang memprihatinkan. Dari banyak kasus yang ditemui oleh Sae Byul, kematian akibat bunuh diri disebabkan karena adanya faktor tekanan, cinta, pekerjaan, depresi sehingga menyebabkan hilangnya semangat hidup, hancurnya keluarga, merasa tak berguna, kecemasan yang berlebih terhadap hidup yang dijalaninya, serta kegagalan mereka dalam mencapai tujuan hidup yang mereka sebut sebagai 'kesuksesan'.

Bagi mereka yang kehilangan semangat hidup, kematian adalah solusi terbaik, namun nyatanya tidak ada yang baik atau buruk, demikian pula hidup dan mati. Padahal, ibarat sampah tetaplah sampah dan bunga tetaplah bunga, sampah dianggap menjijikan dan bunga dianggap indah, anggapan itu karena prasangka kita belaka. Kematian adalah bagian dari skenario alam semesta, suatu saat ia akan datang dan itu adalah hal yang pasti. Hal yang perlu kita persiapkan adalah hidup dengan baik dan menciptakan kehidupan dengan baik. 

Kehidupan yang baik akan didapatkan jika kita saling mengasihi, baik mengasihi diri sendiri maupun mengasihi orang lain. Ketika kita mampu mengasihi diri sendiri, maka akan lebih mudah bagi kita untuk berdamai dengan segala keadaan, sebab kita yakin bahwa diri ini berharga dan tak ternilai, tidak akan adil jika kita rela mengorbankan diri sendiri hanya karena keadaan. Kita berharga, oleh karena itu kita berhak mempertahankan dan memegang kendali hidup ini. Seperti kutipan dalam buku ini, "Jika kamu mempunyai keberanian untuk mengakhiri hidupmu sendiri, jalanilah hidupmu dengan keberanian itu."

Dari novel ini kita belajar untuk lebih peduli dengan lingkungan dan orang-orang di sekitar kita, betapa hal kecil yang sering dianggap sederhana dapat memberikan pengaruh besar terhadap mereka yang merasa seorang diri. Sesederhana bertanya, "apa kabar?", "gimana harimu?", "kamu hebat", "sudah makan belum?", tanpa kita sadari kalimat-kalimat di atas nyatanya mampu menyelamatkan hidup orang lain. Melalui novel ini, penulis berharap bahwa kita lebih menghargai orang-orang di sekitar kita dan menemukan makna hidup yang sejati, sehingga kita dapat mensyukuri hidup kita dan hidup orang-orang yang kita kasihi. Aku, kamu, dan kalian semua adalah orang-orang yang berharga. Yakinlah bahwa ada yang bersyukur karena kita masih ada di dunia, hanya saja kita tak mengetahui hal itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun