Judul: Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Pembiayaan Kesehatan Tambahan: Pendekatan Berkelanjutan
Pendahuluan: Dalam upaya mencapai sistem perawatan kesehatan yang berkelanjutan dan adil, solusi pembiayaan inovatif semakin penting. Salah satu solusi yang mendapatkan perhatian adalah pemanfaatan pajak rokok dan bea cukai untuk menghasilkan dana tambahan bagi perawatan kesehatan. Artikel ini mengeksplorasi manfaat dan tantangan potensial dari pendekatan ini, dengan mengambil inspirasi dari inisiatif terbaru seperti penggunaan pendapatan pajak rokok di Indonesia untuk mengatasi defisit keuangan program Asuransi Kesehatan Nasional (JKN).
Kasus di Indonesia: Alokasi Pajak Rokok untuk Mengatasi Defisit Kesehatan: Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) yang berkaitan dengan program Asuransi Kesehatan Nasional (JKN). Peraturan ini membentuk mekanisme untuk menggunakan pendapatan pajak rokok untuk menutup defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pendekatan inovatif ini memanfaatkan pendapatan pajak rokok regional, yang umumnya menjadi wewenang pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten.
Mekanisme dan Alokasi: Mekanisme ini melibatkan pengurangan 50 persen dari pendapatan pajak rokok regional, dengan 75 persen dari nilai yang dikurangi dialokasikan untuk program JKN. Realokasi dana ini bertujuan untuk mengisi kembali defisit keuangan BPJS, yang telah mencapai Rp7 triliun selama empat tahun terakhir karena kesenjangan yang signifikan antara kontribusi dan klaim. Injeksi keuangan dari pendapatan pajak rokok adalah respons terhadap permintaan yang semakin meningkat untuk layanan BPJS dan cara untuk mengatasi defisit yang persisten.
Upaya Mengatasi Defisit: Pendekatan proaktif Indonesia dalam mengatasi defisit BPJS melibatkan berbagai strategi. Setelah realokasi pendapatan pajak rokok, pengurangan dalam alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) direncanakan. Pengurangan ini, yang mencapai Rp34,4 miliar, akan dibayarkan dalam dua tahap, yaitu Rp17,7 miliar pada November dan Rp16,7 miliar pada Desember. Langkah ini sesuai dengan Peraturan PMK No. 183 tahun 2017, yang memberi kewenangan kepada Kementerian Keuangan untuk mengevaluasi alokasi DAU ketika pemerintah daerah menunggak kontribusi BPJS selama lebih dari setahun.
Inisiatif di Masa Depan: Lebih lanjut, terdapat rencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 87 tahun 2013, yang memungkinkan BPJS Kesehatan untuk mengakses dana tambahan sebesar Rp1,3 triliun. Peningkatan ini terkait dengan pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan, karena lembaga ini berupaya untuk memperkuat posisi keuangan mereka.
Manajemen Defisit yang Diproyeksikan: Awalnya, BPJS Kesehatan memproyeksikan defisit sebesar Rp16,5 triliun pada akhir tahun. Namun, dengan langkah-langkah ini di tempat, perkiraan defisit akhir tahun telah diturunkan menjadi Rp10,98 triliun. Hal ini menunjukkan dampak penyesuaian keuangan strategis dan solusi pembiayaan inovatif terhadap penanganan kekurangan anggaran.
Kesimpulan: Pemanfaatan pendapatan pajak rokok dan langkah keuangan inovatif untuk mengatasi defisit BPJS di Indonesia menggambarkan adaptabilitas dan efektivitas solusi pembiayaan kreatif dalam perawatan kesehatan. Meskipun tantangan masih ada, pendekatan proaktif pemerintah menunjukkan potensi keberlanjutan dan ketangguhan dalam sistem perawatan kesehatan. Dengan memanfaatkan pendapatan pajak tertentu, pemerintah tidak hanya bisa mendapatkan dana tambahan, tetapi juga dapat meningkatkan hasil kesehatan masyarakat dan berkontribusi pada infrastruktur perawatan kesehatan yang lebih kuat
Sumber referensi:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/app5.334