Mohon tunggu...
Adelia Putri
Adelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

hi, thank u for coming ya!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Cyber Bullying: Lingkaran Antara Pelaku dan Korban

2 Januari 2022   09:55 Diperbarui: 2 Januari 2022   09:58 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Media sosial menjadi salah satu wadah interaksi media digital yang digunakan oleh hampir seluruh orang di dunia. Sayangnya, kemudahan untuk mengakses media sosial tidak diiringi dengan kebijaksanaan oleh kebanyakan penggunaannya. Seringkali, postingan orang lain dapat memicu emosi negatif dalam diri pengguna lain ketika mengaksesnya. Bentuk emosi ini dapat mengalahkan rasionalitas dan menggelap matakan penggunanya. Hasilnya, kita sering mendengar kasus pidana di internet di mana objek kasusnya berupa ujaran kebencian dengan kata-kata yang tidak pantas dan merendahkan pihak lain. Motifnya dapat berasal dari ketidaksukaan pribadi, bermaksud untuk hiburan semata, perasaan inferior dan superior pelaku terhadap target perundungan hingga bentuk spontanitas penggunanya dalam merespon suatu berita atau postingan yang tidak menyenangkan dengan tidak memikirkan dampak tindakan tersebut.

            Tindakan menjatuhkan individu lain di ruang siber biasa kita kenal sebagai cyber bullying. Cyber bullying adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap individu lain yang bertujuan untuk merendahkan atau melecehkan dengan mengirimi pesan teks, gambar/foto, atau video melalui sambungan internet. Cyber bullying dapat menimbulkan efek negatif yang lebih kuat pada korban karena tindakan perundungannya dapat terjadi kapan pun dan di mana pun serta tidak menutup kemungkinan untuk data diri korban disalahgunakan pelaku untuk mencapai tujuannya. Selain menimbulkan keresahan dan rasa tidak nyaman bagi pengguna internet lain yang melihatnya, korban menunjukkan gejala psikologikal dan gejala somatik. Korban cyber bullying cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah, tingkat depresi yang tinggi, masalah perilaku, penyalahgunaan obat dan pengambilan keputusan hingga keinginan bunuh diri. Target cyber bullying dapat terjadi pada siapa saja, termasuk individu-individu terkenal dan berpengaruh sekalipun. Keberadaan individu-individu tersebut oleh mayoritas masyarakat akan dipandang antara sebagai panutan dan junjungan atau sasaran iri dan kebencian.

            Salah satu kasus yang pernah ramai diperbincangkan di tahun 2021 adalah ketika selebgram Rachel Vennya yang geram terhadap orang-orang tak bertanggung jawab yang mengiriminya pesan tidak pantas dan ejekan kepadanya dan keluarga memutuskan untuk mengadakan sebuah sayembara berhadiah Rp15 juta bagi pengikutnya di Instagram yang memberikan informasi lengkap pelaku perundungan. Kubu pro tindakan Rachel Vennya menyambut antusias sayembara tersebut dan dengan sukarela memberikan data diri pelaku. Akibat tindakan ini, pelaku perundungan justru mengalami perundungan balik oleh pengikut selebgram tersebut. Selain kubu pro, sayembara tersebut juga menimbulkan kubu kontra tindakan doxxing yang dilakukan Rachel Vennya. Doxxing adalah tindakan menyebarkan informasi pribadi di internet dengan sengaja oleh pihak ketiga yang bertujuan untuk mempermalukan, mengancam, mengintimidasi, atau menghukum individu tertentu. Kubu kontra menganggap bahwa tindakan Rachel Vennya masuk dalam ranah cyber crime dan menunjukkan ketidakbijaksanaannya sebagai seorang influencer dengan pengikut yang banyak. Kubu kontra menganggap bahwa UU ITE ada untuk korban di luar sana seperti Rachel Vennya dan pelaku dihukum secara legal.

            Selanjutnya, pelaku yang takut dan gelisah terhadap ancaman tersebut meminta maaf dan memohon untuk menghentikan sayembara. Bagi penulis, ketika mengamati gelagat pelaku, menyimpulkan bahwa pelaku masuk dalam pelaku cyber bullying dengan motif ketidaksukaan pribadi dan menganggap tindakannya sebagai hiburan semata sehingga abai terhadap konsekuensi hukum yang dapat menjeratnya dan efek tindakannya terhadap korban. Rachel Vennya yang juga menjadi sasaran kritik akibat tindakan doxxing-nya turut memosting permintaan maaf dan menyatakan bahwa dirinya hanya berniat membuat pelaku jera.

            Kasus ini memberikan contoh nyata bahwa siapa pun dapat menjadi pelaku dan korban cyber bullying. Akibat ketidakbijaksanaan Rachel Vennya dalam menghadapi perundungan yang dialaminya sebagai seorang influencer dengan banyak pengikut dan ketidakbijaksanaan pengikutnya dalam bersosial media, tindakan mereka justru menyebabkan masalah baru dan menciptakan lingkaran cyber bullying. Lingkaran ini tidak akan putus selama korban, pelaku, dan orang ketiga dalam hubungan tersebut tidak mencari solusi lain selain saling menjatuhkan di internet.

            Seluruh elemen masyarakat diharapkan dapat berkolaborasi dalam kesadaran bahaya cyber bullying dan bekerja sama menjadi sosok yang dapat dipercaya bagi korban. Edukasi cyber bullying perlu digaungkan kepada khalayak luas dengan disertai konsekuensi yang akan diterima pelaku secara hukum. Selain itu, sebagai pengguna internet yang baik dan cerdas, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menghadapi cyber bullying.

Pertama, jika tidak menyukai seseorang atau sebuah postingan, kendalikan diri, pikirkan konsekuensi yang akan diterima sebagai pelaku cyber bullying, lalu hindari akun atau postingan tersebut atau hentikan penggunaan media sosial selama beberapa waktu.

Kedua, jika menerima ujaran kebencian, tenangkan diri, yakinkan bahwa kamu memiliki nilai diri dan ujaran tersebut tidak benar, hapus dan jangan menanggapi ujaran tersebut. Jika perlu, block pelaku pengujar kebencian dan matikan kolom komentar atau hentikan penggunaan media sosial selama beberapa waktu.

Ketiga, jika sudah menjadi korban cyber bullying dan merasa butuh bantuan, segera datangi psikolog dan psikiater terpercaya dan cari pertolongan dari orang-orang yang dapat membantu.

Keempat, jika menjadi saksi cyber bullying dan tidak dalam kondisi yang dapat menghentikan tindakan tersebut, tawarkan bantuan kepada korban, cari orang-orang yang dapat dipercaya untuk menghentikan tindakan tersebut, dan jangan balik merundung pelaku karena akan menjadikan kita sama sebagai pelaku cyber bullying.

Saran di atas tentunya sulit dalam pengimplementasiannya, namun bukan berarti tidak mungkin. Menghentikan penggunaan media sosial tidak akan memulihkan luka akibat cyber bullying, namun keputusan ini dapat mengurangi sumber kecemasan yang dialami korban. Kerja sama dan kesadaran bahaya cyber bullying oleh seluruh elemen masyarakat sangat dibutuhkan untuk dapat menghentikan lingkaran cyber bullying karena semua orang bisa menjadi korban dan pelaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun