politik dan relasi antar aktor yang terlibat dalam ruang lingkup global. Salah satu dari sekian banyak objek kajian dalam HI, yang akan menjadi topik pada tulisan kali ini ialah isu keamanan. Keamanan dimaknai sebagai suatu kondisi yang terbebas dari segala bentuk ancaman serta kecemasan yang membahayakan dan menimbulkan ketakutan. Pada umumnya, diskursus mengenai studi keamanan didominasi oleh pendekatan arus utama yang bersifat tradisional dan merupakan perspektif Realisme (Sagena 2013). Seiring berkembangnya zaman dan kondisi politik di dunia internasional yang kerap berubah-ubah, konteks isu keamanan mengalami ekstensi. Ekstensi dimaksudkan sebagai perluasan terhadap objek kajian, di mana isu keamanan tidak lagi hanya seputar ancaman yang digaungkan oleh perspektif Realisme yakni aspek militer dan aktor negara saja, tetapi aktor-aktor non-negara pun turut terlibat.
Ilmu Hubungan Internasional merupakan studi yang mengkaji fenomenaOleh karena itu, ancaman keamanan non-tradisional secara umum dapat dimaknai sebagai, tantangan terhadap keberlangsungan hidup dan kemakmuran masyarakat dan negara yang muncul akibat dari ancaman non-militer tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, dapat diketahui bahwa ancaman non-tradisional ini tidak hanya menitikberatkan kepada aspek keamanan nasional secara fisik dan territorial saja, melainkan juga mencakup kepada aspek-aspek yang beririsan dengan banyak dimensi serta fokusnya menjadi lebih khusus seperti aspek sosial, masalah kesehatan, ekonomi, lingkungan hidup dan lain-lain.
Human trafficking, merupakan salah satu dari contoh ancaman keamanan non tradisional. Human trafficking atau perdagangan manusia menjadi aspek ancaman yang sangat membahayakan terhadap individu, masyarakat, hingga negara. Ancaman ini sangat mengganggu hak asasi manusia dan stabilitas sosial masyarakat. Kasus terkait yang dapat dijumpai di Indonesia yakni pada provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dilansir dari Okezone News, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi sebuah provinsi di Indonesia yang menempati urutan pertama dalam kasus perdagangan manusia pada tahun 2014. Padahal daerah ini sebelumnya tidak pernah menjadi salah satu dari sepuluh besar daerah asal penyumbang korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) (Okezone 2015). Hal ini menunjukkan NTT menjadi wilayah dengan kasus human trafficking tertinggi. Ini membuktikan bahwa perdagangan manusia yang terjadi di NTT sudah sangat darurat. Kasus perdagangan manusia di NTT ini banyak didominasi oleh kaum wanita yang berusia 15 tahun ke atas untuk selanjutnya dikirim ke berbagai daerah mulai dari Batam dan Riau hingga ke luar negeri seperti Malaysia, Hong Kong, Singapura, dan Taiwan.
Maraknya kasus perdagangan manusia terjadi bukan tanpa sebab, ada beberapa alasan yang selanjutnya berujung kepada terjadinya perdagangan manusia. Penyebab tingginya kasus perdagangan manusia di NTT ini diantaranya yang pertama adalah kemiskinan. Kemiskinan dapat membuat seseorang menerima tawaran pekerjaan dalam bentuk apapun tanpa mempertimbangkan resikonya (Suksmastuti Putri I. G. 2016). Berangkat dari kemiskinan yang ada ini membuat korban seringkali tidak menyadari akan adanya bahaya kejahatan melalui modus penipuan yang bisa saja menjebaknya. Faktor ekonomi inilah yang menjadi pendorong sekaligus akar utama bagi korban hingga rela untuk pergi meninggalkan daerahnya melintasi batas negara untuk memberikan penghidupan pada keluarga.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 menunjukkan data bahwa dalam 10 tahun terakhir, terdapat sekitar 19.60% dari keseluruhan 4.9 juta penduduk di NTT yang tergolong sebagai penduduk miskin. Angka ini terus naik dan turun selama beberapa tahun hingga mengalami peningkatan kembali mencapai 22.61% Â pada tahun 2015 yang kemudian persentase kemiskinan ini stabil sampai tahun 2018 (Badan Pusat Statistik 2019). Data kemiskinan di NTT pada Maret 2021 telah mencapai 20.99% yang menjadi salah satu dari lima besar angka kemiskinan secara nasional (Irfani 2021).
Penyebab lainnya yang mengharuskan masyarakat NTT untuk mencari nafkah hingga menjadi korban perdagangan manusia ialah adanya faktor rendahnya pendidikan dan konstruksi sosial budaya. Hal ini mengarah kepada persepsi tentang posisi dan peran laki-laki lebih diutamakan dibanding perempuan karena pada umumnya mayoritas dari perempuan dinomorduakan dari pekerjaan dengan upah yang tinggi. Sehingga mendorong kaum perempuan untuk bekerja dengan upah yang lebih tinggi di luar negeri sebagai TKI. Dan hal inilah yang menjadi penyebab mengapa mayoritas korban perdagangan manusia adalah perempuan. Melihat data laporan dari International Organization for Migration Indonesia, terdapat 7.193 orang dengan 82% perempuan dan 18% laki-laki yang diselidiki menjadi korban TPPO (International Organization for Migration Indonesia 2009).
Penyebab yang selanjutnya adalah terkait kekeringan yang kerap melanda lahan di NTT. Hal ini sebenernya merupakan permasalahan yang sudah sejak lama hadir, akan tetapi ditambah dengan munculnya krisis iklim yang disebabkan oleh pemanasan global justru memperburuk keadaan di NTT. Dilansir dari Vice, Deputi Bidang Klimatologi BMKG menyatakan NTT dalam jangka setahun dapat mengalami lamanya 5-7 bulan kekeringan (Irfani 2021). Tanah serta lahan pertanian di NTT menjadi tidak produktif sehingga akan sukar dan tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai sumber daya dan sumber mata pencaharian sehingga mengakibatkan kurangnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Kondisi ekstrem ini yang kemudian membawa masyarakat NTT untuk menentukan nasib mereka.
Semua faktor yang menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia di NTT saling berkaitan yang kemudian mengarah kepada satu kesimpulan yakni rendahnya kesempatan kerja di daerah tersebut. Karena keberadaan kesempatan kerja yang rendah tersebut, banyak oknum-oknum dengan modus penipuannya berusaha menawarkan pekerjaan dengan iming-iming upah yang tinggi di luar negeri. Dengan manipulasi tersebut, korban tidak menyadari bahwa dirinya bisa saja akan terjerat kasus perdagangan manusia. Bentuk-bentuk kejahatan perdagangan manusia yang pada umumnya digunakan oleh oknum, menurut PBB melalui Office of The High Commissioner of Human Rights dalam Fact Sheet no. 14 yang berjudul Contemporary Forms of Slavery, di antaranya ialah, penculikan untuk nantinya dapat dipekerjakan secara paksa, pengiriman buruh migran perempuan, perdagangan anak-anak, eksploitasi pekerja anak, perdagangan manusia dan organ tubuhnya, penjualan dan penyelundupan manusia, serta ancaman kekerasan lainnya (Harkrisnowo 2003).
Dilansir dari Vice, pada kasus perdagangan manusia di NTT, per-2021 dinyatakan terdapat 83 warga NTT yang dipulangkan dalam peti mati akibat terjerat penyalur TKI ilegal. Adapun negara-negara yang menjadi tempat bermigrasi korban di antaranya Malaysia mengirimkan jenazah pulang ke NTT sejumlah 78 orang. Taiwan, Brunei Darussalam dan Jerman pun turut memulangkan balik jenazah ke NTT (Irfani 2021). Â PBB menyatakan terdapat perkiraan sekitar 4 juta orang yang sudah menjadi korban kasus perdagangan manusia setiap tahunnya dan di antara korban tersebut wanita dan anak-anaklah yang menempati posisi terbanyak. Selain itu Indonesia juga menjadi negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat yang ternyata sebagai tempat sumber utama, transit dan negara tujuan korban-korban kasus perdagangan manusia. Banyak korban-korban wanita dan anak-anak yang dieksploitasi setiap tahunnya dengan jumlah perkiraan lebih dari 80 ribu jiwa (Solim 2019).
Indonesia dalam menanggapi adanya kasus yang sangat darurat ini juga turut mengupayakan kerja sama dengan salah satu organisasi internasional yang berada di bawah koordinasi PBB, yakni International Organization for Migration (IOM). IOM ini merupakan organisasi internasional yang menaruh perhatian pada masalah human security dan berusaha dengan negara-negara yang terlibat untuk memerangi isu perdagangan manusia ini. Kerja sama yang diagendakan IOM dengan Indonesia ialah tampak pada pembuatan dokumen yang mendukung UUPTPPO NO. 21 Tahun 2007 terkait SOP bagi korban.