Mohon tunggu...
Adelia Alifatunnisa
Adelia Alifatunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Untuk memenuhi tugas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keraton Yogyakarta: Habitus dan Strukturalisme Dalam Perspektif Mikro-Makro

15 Desember 2024   23:47 Diperbarui: 15 Desember 2024   23:47 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keraton Yogyakarta adalah lingkungan sosial yang kompleks, di mana setiap detail interaksi sosial mengandung narasi filosofis yang mendalam. Keraton merupakan institusi sosial tertua di Indonesia. Keraton bukan hanya sekedar bangunan bersejarah, tetapi keraton juga merupakan sistem hidup yang terus berkembang dan menggabungkan tradisi dengan gaya hidup modern. Setiap gerak, ucapan, dan ritual yang dilakukan di ruang-ruang terpencil di keraton memiliki berbagai makna, mulai dari yang paling abstrak hingga yang bersifat simbolik.

Interaksi sosial di keraton berlangsung dalam kompleksitas yang sangat halus pada tingkat mikrososiologis. Setiap individu yang terlibat -- baik abdi dalem, keluarga keraton, pengunjung, maupun seniman dapat  membentuk pengalaman personal yang unik melalui interaksi dengan tradisi, ruang fisik, dan pranata sosial keraton. Sebagai contoh, seorang abdi dalem tidak sekadar menjalankan tugasnya yang hanya mengabdi, tetapi mereka juga sebagai agen budaya yang mengalami proses sosialisasi intens. Setiap gerakan tubuh, tutur kata, dan cara berpakaian mereka merupakan produk internalisasi nilai-nilai keraton yang telah berlangsung secara turun-temurun. Mereka mengalami apa yang Bourdieu sebut sebagai "habitus" atau kebiasaan, yaitu sebuah struktur mental yang dibentuk dan dipengaruhi oleh praktik sosial. Jadi mereka menciptakan habitus yang membedakan mereka dari masyarakat umum lainnya.

Selain abdi dalem, contoh lainnya adalah sultan. Sultan merupakan figur utama yang menunjukan kompleksitas peran yang luar biasa di Keraton. Ia tidak sekadar pewaris tahta, melainkan seorang agen sosial yang mampu mengawasi tindakannya sendiri. Memiliki kemampuan untuk merasionalisasi tindakan dan memahami konteks sosial memungkinkannya untuk berbicara tentang makna yang kompleks antara modernitas dan tradisi. Setiap keputusan politik dan gerakan kulturalnya berasal dari pengalaman belajar yang lama, yang membangun keahliannya sebagai aktor sosial yang sangat cerdas.

Pada skala yang lebih besar (makro), Keraton Yogyakarta merupakan institusi sosial yang terhubung dengan sistem politik, budaya, dan sejarah Indonesia yang kompleks. Keraton lebih dari sekedar struktur bersejarah, melainkan aktor sosial penting yang memengaruhi perkembangan politik dan sosial nasional. Transformasi sosial-politik di Indonesia diwakili oleh keraton. Keraton berkembang dari lembaga kekuasaan absolut menjadi lembaga budaya dan simbolik. Peran Sultan sebagai Raja dan Gubernur menunjukkan hubungan antara tradisi dan modernitas yang kompleks. Keraton menjadi tempat di mana kekuasaan tradisional bekerja sama dengan sistem pemerintahan kontemporer, yang menghasilkan model kepemimpinan yang berbeda yang melampaui batas konvensional.

Lalu, Keraton Yogyakarta termasuk dalam rangkaian pariwisata budaya dan ekonomi yang kompleks. Keraton berkembang menjadi mesin ekonomi tersendiri, menciptakan lapangan kerja, mendorong industri kerajinan, dan menjadi pusat pariwisata budaya utama di Yogyakarta. Mengubah warisan budaya menjadi komoditas yang bernilai ekonomi tinggi menunjukkan dimensi besar keraton. Dalam arti yang lebih luas, keraton berfungsi sebagai tempat untuk menghasilkan dan menyebarkan ideologi. Keraton mencerminkan konsep budaya Jawa dan berfungsi sebagai simbol identitas kolektif atau gabungan yang melampaui perbatasan pribadi. Setiap upacara, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat yang ditemukan di keraton adalah manifestasi dari struktur sosial yang lebih besar, yang mencerminkan kompleksitas peradaban Jawa.

Keraton Yogyakarta menunjukkan dinamika yang kompleks antara individu dan organisasi. Struktur sosial yang lebih besar dipengaruhi oleh setiap tindakan individu secara bersamaan, mulai dari pekerjaan abdi dalem, seniman keraton, hingga keputusan sultan. Di Keraton Yogyakarta, integrasi mikro-makro menunjukkan bagaimana pengalaman pribadi terkait dengan struktur sosial yang lebih besar. Setiap keputusan yang dibuat oleh seseorang, apakah itu bergabung sebagai abdi dalem, mengikuti upacara adat, atau berinteraksi dengan orang lain, adalah representasi dari habitus sosial yang lebih luas dan kontribusi pribadi terhadap penyebaran atau transformasi praktik sosial tersebut.

Integrasi mikro-makro dalam konteks Keraton Yogyakarta dapat dianalisis melalui tiga pendekatan utama. Pertama, pendekatan "hierarki" oleh Wallace membantu kita untuk memahami bagaimana perilaku individu pada tingkat mikro membentuk sistem aksi yang lebih kompleks pada tingkat makro. Struktur sosial keraton yang lebih luas terdiri dari setiap tindakan individu abdi dalem, mulai dari interpretasi ritual hingga hubungan simbolik mereka. Kedua, ada metode kemunculan atau kemunculan ini menjelaskan proses "reproduksi" dan "penciptaan ulang" struktur sosial. Setiap tradisi keraton, seperti upacara adat atau mekanisme suksesi kepemimpinan, tidak hanya diwariskan tetapi juga diciptakan ulang melalui partisipasi aktif para pelakunya. Misalnya, sultan tidak hanya menerima sistem yang ada, tetapi mereka juga aktif memaknai dan menghadirkan kembali tradisi dalam konteks yang terus berubah. Ketiga, ada pendekatan kontekstualisme memungkinkan kita untuk melihat bagaimana fenomena individual dihasilkan dan direplikasi oleh fenomena struktural yang lebih inklusif. Dalam keraton, setiap tindakan individu, apakah itu seorang abdi dalem, seniman, atau pemimpin, tidak dapat dilepaskan dari konteks struktural yang lebih luas; sebaliknya, praktik kreatif individu terus merekonstruksi struktur keraton.

Oleh karena itu, integrasi mikro-makro adalah proses dialektis yang berkelanjutan, bukan sekadar upaya untuk menyatukan dua perspektif saja. Keraton Yogyakarta menjadi tempat di mana orang dan bangunan dianggap sebagai sistem dinamis yang saling membentuk, memperbarui, dan terus-menerus menciptakan serta memelihara tradisi dan struktur sosialnya setiap saat melalui tindakan dan interaksi sehari-hari para individunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun