Pada sidang lanjutan perkara suap daging sapi impor, ada pembicaraan yang sangat menarik saat Prof Dr. Mudzakir memaparkan pandangannya sebagai saksi ahli a de charge untuk LHI. Perihal menarik tersebut berupa perdebatan antara Jaksa KPK dengan saksi ahli mengenai kewenangan KPK dalam penuntutan untuk perkara Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU).
Sebelum Jaksa bertanya, atas permintaan pengacara hukum LHI Mudzakir diminta untuk memberikan penjelasan mengenai kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan untuk perkara TPPU. Kemudian Mudzakir memaparkan pandangannya bahwa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan untuk perkara TPPU karena berdasarkan penjelasan pasal 72 UU No. 8 tahun 2010 tentang TPPU, hanya kejaksaan yang diperbolehkan melakukan penuntutan untuk perkara TPPU. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Mudzakir bahwa penjelasan pasal 72 tersebut jelas menyebut penuntutan harus ditandatangani oleh kepala kejaksaan. Adapun KPK dalam perkara TPPU hanya berwenanang untuk menyidik. Setelah selesai penyidikan, berkas perkara TPPU harus dilimpahkan ke Kejaksaan sebagai satu-satunya instistusi yang diberikan kewenangan oleh UU untuk melakukan penuntutan perkara TPPU.
Menurut saksi ahli, kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU lahir dari sebuah interpretasi terhadap UU. Sedangkan dalam perspektif hukum pidana, kewenangan aparat pemerintah atau aparat yang menjalankan hukum harus lahir langsung dari UU yang secara eksplisit menyebutkan kewenangan itu dan bukan lahir dari interpretasi. Perbuatan KPK dalam melakukan penuntutan perkara TPPU adalah perbuatan melawan hukum dan merupakan penyalahgunaan wewenang karena tidak diperintahkan oleh UU yang bersangkutan.
Kemudian Jaksa KPK memberikan reasoning bahwa KPK bertindak melakukan penuntutan atas dasar asas peradilan yang cepat, murah dan efektif/efesien demi kepentingan rakyat. Saksi ahli menjawab alas an jaksa sebagai sebuah alasan akal-akalan karena hukum pidana tidak berlandaskan atas sebuah kepentingan meskipun itu diatasnamakan kepentingan rakyat banyak. Hukum dijalankan melalui norma-norma yang telah ditetapkan karena keadilan itu alat ukurnya adalah perundang-undangan yang berlaku, bukan sekedar kepentingan. Kewenangan tidak lahir atas sebuah kepentingan, tidak lahir dari sebuah interpretasi atau kewenangan tidak bisa lahir dengan sebuah alasan peradilan yang cepat dan murah karena hukum berbeda dengan ekonomi yang bisa menggunakan segala cara untuk sebuah tujuan.
Jaksa kembali mendebat saksi ahli dengan sebuah pertanyaan apakah ada larangan bahwa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan. Prof mudzakir dengan gamblang kembali menjelaskan bahwa ketika UU menyebutkan bahwa KPK diberikan kewenangan satu, dua dan tiga oleh UU, maka tidak boleh lahir kewenangan baru yaitu empat atas sebuah interpretasi dan alasan-alasan non-yuridis seperti alasan peradilan yang cepat dan murah. Kewenangan tetap harus lahir dari UU yang ditulis secara eksplisit karena kewenangan baru yang tidak disebutkan UU berpotensi abuse of power dan berpotensi merenggut hak-hak tersangka sebagai seorang warga negara karena sebuah kepentingan. Kepentingan hukum adalah supremasi hukum, bukan kepentingan-kepentingan atau nilai-nilai diluar hukum.
Bagaimana dengan putusan TPPU Wa Ode Nurhayati? Betul itu adalah keputusan TPPU yang inkrah yang pada saat itu penuntutannya dilakukan oleh KPK. Namun, karena putusan tersebut di dalamnya dijalankan oleh sebuah aturan yang melawan hukum, maka putusan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai sebuah yurisprudensi. Putusan-putusan berikutnya harus selaras dengan UU yaitu hanya Kejaksaan yang berwenanang melakukan penuntutan untuk perkara TPPU. Pemahaman ini juga telah diamini oleh 2 hakim dissenting opinion pada perkara TPPU Ahmad Fathanah.
Masalah lain yang cukup menarik adalah TPPU bukan pidana yang berdiri sendiri sebagaimana disebutkan oleh banyak pihak karena TPPU adalah sebuah pidana lanjutan yang terikat dengan pasal 2 UU TPPU. Analogi TPPU dengan interpretasi pasal penadahan semuanya dibantah dengan mudah oleh saksi ahli dengan sebuah penjelasan yang runut, tegas dan lugas sehingga argumen-aragumen Jaksa KPK menjadi tampak lucu, lugu. TPPU adalah sebuah pidana lanjutan dengan predicate crime sebagai syarat utama terpenuhinya pencucian uang. Pasal 69 UU TPPU yang menyebutkan tidak ajib dibuktikan terlebih dahulu hanya berlaku pada fase penyidikan dan penuntutan. Sedangkan putusannya tetap harus menunggu terbuktinya pidana asal yang kemudian baru TPPU diputuskan.
Dari jalannya persidangan pada hari kamis kemarin, penulis mengajak publik melalui tulisan ini untuk terus mengawasi proses peradilan agar hukum berjalan seadil-adilnya. Karena dari persidangan tersebut kita tahu bahwa selama ini proses peradilan berjalan tidak sesuai norma-norma yang semestinya menjadi acuan dalam menjalankan hukum. Hukum harus tegak atas sebuah keadilan seperti yang telah ditentukan oleh UU yang berlaku.
*ditulis dengan redaksi penulis tanpa mengurangi atau menambah substansi pendapat yang disampaikan oleh saksi ahli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H