Mohon tunggu...
Adel Kalibar
Adel Kalibar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penyair

Menulis Membentuk Keabadian - Hidupmu adalah bait puisimu https://adelbertus88.wordpress.com/ https://www.kompasiana.com/adelbertus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ritual Nyobeng dan Gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kalimantan Barat

5 Agustus 2013   00:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:37 2471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1375637847577876409

Oleh: Adelbertus.

Ritual Nyobeng merupakan ritual memandikan atau membersihkan tengkorak kepala manusia hasil mengayau oleh nenek moyang suku Dayak Bidayuh. Ini dilakukan suku Dayak Bidayuh, satu diantara sub-suku Dayak di Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Nyobeng dulu sebenarnya berasal dari kata Nibakng atau Sibang yang merupakan kegiatan Ritual yang besar dan tidak bisa sembarangan. Pemerintah yang datang ke daerah dulu, mereka menyebutnya Sibakng itu adalah Sobeng. Kalau Sibakng lebih bagus kenapa kita tidak menyebutnya Nyobeng, kata mereka. Nibakng sebenarnya sama, yaitu pertama Nibakng ini merupakan kegiatan tahunan yang paling besar merupakan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tipaiakng (dalam bahasa sukuDayak Bidayuh), atas berkat panen padi yang diterima masyarakat suku Dayak Bidayuh dan yang kedua dulu merupaka ritual untuk menghormati kepala manusia hasil mengayau. Tetapi intinya adalah ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (tipaiakng) dalam bahasa suku DayakBidayuh, atas berkat panen padi yang melimpah, ini merupakan tujuan sesungguhnya dari ritual Nyobeng itu sendiri.

Mengayau adalah memengal kepala manusia dan tengkoraknya diawetkan. Sekarang tradisi mengayau sudah tidak dilakukan lagi. Upacara ini cukup mengharukan dan berlangsung selama tiga hari, mulai 15 – 17 juni yang harus di laksanakan setiap tahun. Pra kegiatan ritual Nyobeng dilakukan dengan buka rumah Baluk (rumah adat Suku Dayak Bidayuh) pada 13 Juni. Pembukaan rumah adat ini juga dilakukan dengan sebuah ritual, yaitu ritual buka rumah Baluk, ada beberapa sesajian yang menjadi syarat ritual ini, yaitu sirih, gambir, kapur, pinang, tuak, daun jeruk dan bawang kucai sebagai pewanginya. Setelah rumah Baluk di buka musik dengan alat tradisional yang ada di dalam rumah Baluk harus dimainkan terus, musik itu disebut musik simaniamas, yaitu musik santai dan persahabatan.

Inti dari ritual Nyobeng yakni, memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau yang disimpan dalam rumah Baluk. Sesuai aturan yang dipercaya secara turun temurun. Di mulai menyambut tamu di batas desa. Awalnya, ini dilakukan untuk menyambut anggota kelompok yang datang dari mengayau.

Proses ritual Nyobeng ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama ritual di mulai pukul 04.00 subuh, bertempat di rumah Baluk di pimpin oleh ketua adat. Ritual pertama ini disebut dengan Paduapm (dalam bahasa Dayak Suku Bidayuh) yang artinya memanggil atau menggundang roh-roh para leluhur untuk datang dalam ritual Nyobeng dan sekaligus memohon izin atas ritual yang akan dilaksanakan, supaya semuanya berjalan dengan baik dan mendapat berkat dari para leluhur (Tipaiakng; menyebut Tuhan dalam bahasa Suku Dayak Bidayuh).

Rumah Baluk merupakan rumah Adat Suku Dayak Bidayuh yang berupa rumah panggung dan berbentuk bulat. Untuk memasuki rumah adat ini, dibuat undakan yang terbuat dari bilah pohon atau kayu belian. Rumah Baluk dengan tinggi 16 meter dan berbentuk bulat, dengan 21 tiang penyanggah dari kayu belian, beratapkan daun sagu, dan dinding dari bambu yang terbelah. Dengan satu pintu utama, di bagian kiri dan kanan masing-masing satu buah jendela yang terbuka mengagak keatas dengan satu kayu penyanggah. Bagian belakang dengan dua jendela yang berlapis diatas dan bawah, terbuka mengagak keatas, didepan pintu masuk ada dua buah patung dari kayu belian yang berdiri dan saling berhadapan, disebelah kiri dan kanan. Patung ini merupakan patung nenek moyang suku Bidayuh. Rumah Baluk ini sangat menawan jika di lihat dari kejauhan. Rumah Baluk sudah ada sejak tahun 1997 dan sekarang sudah 14 tahun, dengan berlantai papan, berdinding bambu, dan beratap daun sagu masih tetap kokoh berdiri. Atap yang terbuat dari dau sagu tersebut harus diganti setiap tahunnya. Sebuah lapangan bola yang cukup luas dibawahnya menambah indahnya pesona rumah Baluk.

Bagian dalam rumah Baluk cukup luas dan ada banyak baranguntuk kegiatan ritual Nyobeng. Bagian dalam rumah Baluk di bagi menjadi tiga lantai, yaitu lantai dasar, lantai satu, dan lantai dua paling atas yang berukuran kecil. Pada lantai dasar rumah baluk, siapa saja boleh masuk, karena untuk umum yang bisa menampung sekitar 5 orang lebih bagi yang ingin menyaksikan ritual Nyombeng. Di tengah-tengah rumah baluk ada dapur yang biasa di gunakan oleh Suku Dayak Bidayuh untuk memasak, di sebelah kanan ada 4 buah Aguakng (bahasa Dayak Bidayuh) yang di gantungkan di dinding rumah Baluk, yaitu alat musik tradisional mirip seperti Tawak yang memiliki bunyi yang berbeda, dan sebelah kanannya ada 5 buah gutakng berukuran kecil kira-kira sebesar baskom kecil yang di simpan dalam satu tempat memanjang dari kayu, 1 buah sanakng yang digantungkan dekat pintu, dan 1 buah tawak juga di gantungkan dekat pintu sebelah kanan, dan semuanya memiliki bunyi yang berbeda, sangat menarik dan memanjakan teliga bagi yang mendengarnya. Dibagian tengah ada sibakng (bahasa Dayak Bidayuh) yang panjangnya 7 meter ke bawah hingga menembus lantai rumah baluk, yang terbuat dari batang pohon yang panjang dan di lubangi, besarnya kira-kira sepelukan orang dewasa, makin ke bawa semakin kuncup dan baian permukaan besar, di gantungkan dengan rantai. Selalu di bunyikan setelah rumah baluk di buka. Dibagian atas ada kabukng mirip gendang sebagai pengiring sibakng jika di mainkan.

Naik ke lantai satu hanya boleh tujuh orang dan tidak boleh lebih pada saat ritual Nyombeng dilakukan, ketujuh orang ini bukanlah orang sembarangan, orang-orang yang sudah mendapat kepercayaan, orang berani, merupakan tetua adat dan tujuh orang ini saling melengkapi pada saat ritual dilakukan.

Lantai keduanya paling atas dekat bumbungan dan berukuran kecil, merupakan tempat penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil mengayau nenek dulu, dan juga tulang-tulang binatang hasil berburu. Pada saat ritual memandikan tengkorak dengan darah babi, hanya satu orang yang melakukannya yaitu oleh ketua adat yang sudah sangat terpecaya oleh masyarakat.

Prosesi yang kedua pada acara ritual Nyobeng yaitu penyambutan tamu, biasa disebut Nabuai (bahasa Dayah Bidayuh). Dimulai menyambut tamu di batas desa. Awalnya dilakukan untuk menyambut anggota kelompok yang datang dari mengayau. Penyambut mengenakan selempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang hasil berburu yang dikalungkan. Dilengkapi dengan sumpit, Mandau, dan senapan lantak yang dibunyikan ketika para tamu undangan hendak memasuki batas desa. Sumpit dan Mandau juga di acungkan bersama-sama sambil berseru.

Letupan lantak dan seseruan tersebut juga berguna memangil roh para leluhur sekaligus meminta izin bagi pelaksanaan ritual Nyobeng. Para tamu undangan telah memanti diperbatasan desa tempat ritual akan dilaksanankan, kemudian rombongan ketua adat dan tetua-tetua adat datang dari rumah Baluk ke perbatasan desa untuk menyambut tamu tersebut. mereka datang dengan segala persiapan, berselempang kain merah, berkalungkan manik-manik dari taring binatang, dan memegang sumpit, Mandau, dan senapan lantak sambil berseru serempak sepajang jalan menuju perbatasan desa tempat tamu telah menunggu. Setibanya diperbatasan desa mereka tetap berseru sambil menyacungkan sumpit dan Mandau ke atas dan membuyikan senapan lantak beberapa kali. Ritual penyambutan tamu dilaksanakan, ketua adat telah siap dengan sesajian yang dibawanya. Tetua adat melemparkan ajing keudara, dengan Mandau, pihak kedua tamu rombongan harus menebasnya dengan Mandau hingga anjing itu mati, jika masih hidup harus dipotong begitu jatuh ketanah. Prosesi juga dilakukan untuk ayam, ketua adat melemparkan ayam ke udara, dan pihak ketiga rombongan tamu harus menebas ayam itu dengan Mandau sampai mati. Kemudian dilanjutkan dengan melemparkan telur ayam ke rombongan tamu undangan yang dilakukan oleh tetua adat perempuan, jika telur ayam tidak pecah, maka tamu undangan yang datang di anggap tidak tulus, sebaliknya jika pecah di badan bearti tamu undangan datang dengan ilkas.

Beras putih dan kuning dilempar sambil membaca mantra. Para gadis lalu menguyuhkan tuak dari pohon nau yang di campurkulit pohon pakak yang sudah dikeringkan. Usai minum, rombongan tamu diantar menuju rumah Baluk di tengah perkampungan Kampung Sebujit. Sambil berjalan menuju rumah Baluk, para tetua adat berjalan paling depan sambil menari dan diiringin musik untuk mengiringi rombongan tamu sampai ke rumah Baluk, ada yang berseru-seru. Ribuan orang datang dari berbagai daerah, bahkan dari luar Kalimantan hanya untuk menyaksikan ritual Nyobeng yang juga merupakan gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang ini yang memang dilaksanakan setiap tahunnya dan setiap 15-17 Juni.

Saat masuk tempat upacara ritual, rombongan diberi percikan air yang telah diberi mantra dengan daun anjuang, yang berfungsi sebagai tolak bala. Tujuanya agar para tamu terhindar dari bencana. Ketika masuk depan area rumah Baluk tempat upacara, para tamu harus menginjak buah kundur dan batang pisang yang telah di belah disimpan dalam baskom. Ritual ini lebih dikenal dengan ritual pepasan.

Bersama warga dan tetua adat, para tamu kemudian menari tari simaniamas sambil mengitari rumah Baluk. Maniamas adalah tarian untuk menyambut dan menghormati para pembela tanah leluhur yang baru datang dari mengayau. Sambil diiringin tetua-tetua adat dengan bernyayikan lagu dan berseru-seru beberapa kali dan sambil membaca mantra-mantra.

Ketua adat dan para tetua adat lainya masuk ke rumah Baluk. Sebelum acara dimulai, para tamu undangan istimewa, telah hadir Sebastianus Darwis (ketua DPRD Kabupaten Bengkayang), Bupati Bengkayang yang di wakili Sekda Kabupaten Bengkayang, anggota DPD Kabupaten Bengkayang, ketua dewan adat Kecamatan Siding (Deki Suprapto), para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang menghadiri pembukaan ritual Nyombeng menuju tempat yang telah di siapkan panitia menghadap ke rumah Baluk. Pembukaan acara ritual Nyobeng dilakukan dengan pemukulan sibakng sebanyak tujuh kali sebagai tanda dimulainya ritual Nyobeng, di rumah Baluk yang dilakukan langsung oleh ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Sebastianus Darwis, yang di dampinggi oleh ketua adat Suku Dayak Bidayuh, Bpk Amin.

Tema Gawai Dayak Sebujit tahun ini, yaitu “Mari Kita Menjunjung Tinggi Adat dan Budaya Kita dengan Tetap Mengedepankan Keharmonisan dalam Kebhinekaan”. dalam sambutanya, Georgius Gunawan, selaku putera daerah yang mampu membanggakan masyarakat Sebujit dan sebagai ketua panitia mengatakan, “mari kita sukseskan gawai ini dalam hal saling menghormati, walaupun banyak perbedaan diantara kita, berbeda-beda asal, daerah, suku, bahasa tetapi kita tetap satu juga”. Gunawan juga mengatakan, mari kita sukseskan gawai ini bersama-sama supaya dapat berjalan dengan aman dan tertib sampai selesai tetap aman. Bupati Bengkayang yang pada waktu itu diwakili oleh Seketaris Daerah, Kristianus Ayim, M.Si. Mengatakan, “Ritual Nyobeng bukan hanya memandikan tengkorak, tetapi melainkan manifestasi dari nilai-nilai yang di yakini masyarakat Dayak Bidayuh. Melalui rangkaian upacara Nyobeng kita mengetahui nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut adalah keyakina penghormatan terhadap leluhur, menghargai perbedaan, solidaritas sosial, dan ketaatan terhadap aturan dan adat istiadat, tradisi dan gawai adat Dayak Bidayuh tahun 2013 ini merupakan warisan leluhur yang terus dikembangkan dan dipertahankan sejak dahulu kala secara turun temurun, karena budaya merupakan karakter bangsa kita”. Menjaga agar kekuatan spiritual yang ada dalam tengkorak manusia jika diperlakukan dengan tepat dapat melindungi masyarakat dari berbagai macam bencana, menjadi penghubung kepada Jubata. Hal ini dipandang perlu untuk mengajarkan budaya bersyukur kepada Jubata penguasa alam semesta atas rezeki yang melimpah yang telah diterim, lanjut Ayim. Selain itu gawai Bidayuh mengandung makna filosofi merupakan rasa solidaritas, persamaan, persatuan, serta menumbuhkan rasa kecintaan terhadap nilai-nilai kesenian dan budaya itu sendiri. Serta menjadi modal yang kuat untuk menumbuhkan perekonomian masyarakat. Pada dasarnya pemerintah Kabupaten Bengkayang sangat mendukung kegiatan-kegiatan adat dan budaya seperti ini.

Setelah upacara ritual Nyobeng ini di buka dengan pemukulan Sibakng sebanyak tujuh kali oleh ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Sebastianus Darwis dan setelah mendengankan beberapa sambutan dari beberapa tokoh masyarakat, acara dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar rumah Baluk yang telah di siapkan oleh panitia. Toleransi juga sangat tinggi, bagi yang tamu yang muslim telah disediakan makanan khusus bukan babi. Para tamu bebas memilih tempat yang enak untuk makan, karena makanan disediakan dalam bentuk kotak. Setelah makan tamu boleh meningalkan area rumah Baluk untuk istirahat. Ritual Nyobeng, memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau akan dilaksanakan makamnya di rumak Baluk sekitar pukul 21.00 WIB atau pukul 22.00 waktu Malaysia.

Malam harinya sekitar pukul 19.00 WIB atau pukul 20.00 waktu Malay, masyarakatsudah berkukpul di bawah rumah Baluk yang memiliki tinggi 16 meter dengan 21 tiang pengyanggah dari kayu belian Nampak kokoh berdiri di tengah-tengah perkampungan Sebujit yang juga menjadi kebanggaan masyarakat sebujit karena rumah Baluk ini juga sudah dibangun di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta (TMII). Masyarakat berharap hal ini akan terus berkembang dan tidah hanya sampai di Taman Mini Jakarta, bisa dikenal oleh seluruh lapisan bahkan sampai lapisan Nasional dan Internasional bisa mengenal rumah Baluk dan ritual Nyobeng di Kampung Sebujit ini. Sebelum memulai ritual Nyobeng yang merupakan ritual inti dari upacara ini. Ritual dimulai dengan memotong kepala anjing dan ayam di bawah rumah Baluk. Ayam akan diambil darahnya dan anjing akan diambil kepalanya untuk sesajian kepada para leluhur. Setelah itu dilanjutkan dengan tari-tarian dan menari bersama-sama masyarakat, para tamu, dan tetua adat dengan diiringi musik yang dimainakan dari dalam rumah Baluk, disebut dengan musik simaniamas yaitu, musik santai dan persahabatan yang memanjakan telinga, sehingga kita menari dengan santai dan bebas sesuai dengan iringan musik tradisional kebanggaan masyarakat Dayak Bidayuh Kampung Sebujit. Musik dan tari-tarian ini merupakan ritual sebagi pengantar ke ritual intin memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau.

Dua setengah jam lamanya masyarakat menari dengan iringan musik simaniamas, sekitar pukul 21.30 WIB, ketua adat Bpk. Amin sebagai pemimpin upacara ritual memandikan tengkorak danbeberapa para tetua adat naik kerumah Baluk dengan pakaian lengkap kain merah, berkalung manik-manik dari taring binatang, ikat kepala, dan dengan Mandau di tanggan. Seekor babi yang lumayan besar terikat pada sebatang kayu, siap untuk di jadikan kurban kira-kira beratnya hampir mencapai 50 kg, karena tidak harus ditentukan beratnya berapa. Para tamu dan masyarakat yang ingin menyaksikan langsung ritual ini diperkenankan masuk ke rumah Baluk, tetapi hanya pada lantai dasar yang boleh untuk umum, lantai satu tempat sesajian hanya boleh tujuh orang yaitu ketua adat dan para tetua adat. Lantai ketiga paling atas dan berukuran kecil merupakan tempat penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil mengayau dan tulang binatang lainya hasil berburu para nenek moyang Bidayuh. Hanya ketua adat yang bisa naik ke tempat ini.Ketua adat dan para tetua adat telah siap, semua mata tertuju pada mereka yang akan melakukan ritual tanda dimulainya ritual, didepan mereka seekor babi yang tak berdaya telah siap menjadi kurban. Sibakng di pukul sebanyak tujuh kali tanda dimulainya ritual, sementara itu para tetua adat sambil berseru-seru dan mengacungkan Mandau ke atas sambil membaca mantra-mantra. Setelah Sibakng di pukul, para tetua adat terus berseru-seru sambil membaca mantra, Mandau tetap diacungkan ke atas, setelah itu secara serempak tetua adat langsung menusukan Mandau yang di pegang kearah babi yang di jadikan kurban, ujung Mandau menancap dan menembus di bagian lengan babi, suasana serentak berubah menjadi menegangkan dan menyeramkan, jeritan babi menembus kesunyian malam, darahnya mengalir dari bekas tusukan Mandau yang masih menancap di lengan babi, semua mata tertuju pada babi yang menjerit. Para tetua adat terus berseru-seru sambil membacakan mantra-mantra. Setelah Mandau di tusukkan beberapa kali, ketua adat mengambil darah babi tersebut menggunakan tangan dan di simpan ke dalam mangkok kecil, setelah cukup darah yang diambil ketua adat diikuti beberapa tetua adat nak ke lantai dua meninggalkan babi yang sudah tak bernyawa sementara darahnya terus mengalir bagaikan anak sungai.

Tujuah orang tetuah adat naik ke lantai dua untuk ritual selanjutnya, tidak boleh lebih dari tujuh orang, setelah beberapa saat melakukan ritual, ketua adat dengan membawa darah babi naik kelantai tiga paling atasrumah Baluk yang merupakan tempat penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil mengayau dan tulang-tulang binatang lainnya hasil berburu. Kemudian ketua adat mengoleskan darah babi tersebut beberapa kali sambil membacakan mantra-mantra, setelah merasa sudah cukup, ketua adat pun turun kemudian semuanya turun ke lantai dasar rumah Baluk. Ritual selesai, dilanjutkan dengan memainkan musik simaniamas, merupakan musik santai dan persahabatan yang selalu memanjakan teliga yang mendengarnya. Iring-iringan musik simaniamas harus terus dimainkan, sementara itu para tamu dan masyarakat yang ikut menyaksikan ritual ini satu-persatu turun meninggalkan tempat ritual rumah Baluk. Bagian terakhir dari ritual ini yaitu para tetua adat menyiapkan sesajian terakhir, berupa hati babi, anjing, dan ayam diantar ke atas setelah itu para tetua adat makan adat terakhir dari sesajian yang disiapkan. Dengan begitu berakhirlah ritual Nyombeng memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau yang di lakukan di dalam rumah Baluk.

Keesokan harinya, hari ketua dari ritual Nyobeng ini adalah di isi dengan kiatan olahraga tradisional. Ada satu yang sangat unik sekali dari olahraga tradisional dan mungkin tidak dimiliki oleh daerah lain, yaitu panjat pinang terbalik dengan kaki ke atas dan kepala kebawah, aneh bukan?. Panjat pinang terbalik ini masih merupakan bagian dari ritual Nyobeng yang baru saja dilakukan tadi malam, jelas Gunawan selaku ketua panitia dan juga merupakan putera daerah yang sanggat di banggakan di Kampung Sebujit yang telah berhasil mengsukseskan acara Gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh, Kampung Sebujit ini.

Hari ketiganya, merupakan hari terakhir dari upacara ritual Nyobeng ini masih menyisakan satu ritual lagi, yaitu biasa disebut Balik Layar. Balik Layar ini merupakan ritual terakhir yaitu pertama ucapan terima kasih kepada roh-roh para leluhur atau Tipaiyakng yang telah datang pada ritual Nyobeng ini dan yang kedua ritual pengembalian roh-roh para leluhur atau Tipaiyakng ke tempat asal mereka berada di gunung-gunung sekitar Kampung Sebujit. Karena seperti ritual pertama di awal mereka di undang secara baik-baik untuk meminta izin dan untuk hadir dalam ritual Nyobeng, nah sekarang mereka juga akan dikembalikan lagi ketempat mereka supaya roh-roh leluhur tadi tetap bersahabat dengan masyarakat, melindungi masyarakat, dan memberikan rezeki yang melimpah. Dengan ritual terakhir inilah berakhir pula ritual Nyobeng Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat.

Ritual Nyobeng merupakan warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun, sebuah ucapan syukur kepada leluhur. Ritual ini harus dilaksanakan setiap tahunnya dan tidak bisa di tinggalkan. Ada konsekuensi tersendiri yang harus masyarakat Suku Bidayuh terima jika seandainya ritual ini tidak silaksanakan. Hal ini tentunya tidak diinginkan oleh masyarakat Bidayuh, sesuatu akan menimpa mereka dan sama halnya mereka menyumpah diri mereka sendiri, mungkin msyarakat Dayah Bidayuh tidak bisa hidup nyaman dan tentram seperti sekarang ini, rezeki akan terus diberikan kepada mereka oleh para leluhur atau Tipaiakng (Tuhan). Maka dari inilah masyarakat harus terus bersyukur kepada Tipaiakng (Tuhan) atas rezeki yang melimpah kepada mereka (masyarakata Dayak Bidayuh). Hal ini dijelaskan langsung oleh Bapak Amin selaku ketua adat Dayak Bidayuk, Kampung Sebujit dan Pak Gunawan, ketika wawancara langsung di rumah Baluk, Jumat (14/6) malamnya sekitar pukul 21.00 WIB.

Ritual Nyobeng sekaligus merupakan gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit ini akan digelar tahun depan 2014. Masyarakat sangat mengarapkan gawai tahun 2014 juga dapat terlaksana denagan baik dan ada sesuatu yang berbeda. Gunawan, SH. Selaku ketua patinitia gawai Dayak Bidayuh Sebujit, mengatakan “gawai 2014 mendatang aka nada sesuatu yang berbeda dan akan lebih ramai, akan mengundang tamu-tamu dari Malaysia. Rencananya gawai 2014 nanti, panitia akan menyiapkan sofenir-sofenir yang berupa rumah Baluk kecil untuk para pengunjung yang datang, ungkapnya”. Ini diharapkan, lanjut Gunawan, bisa menjadi satu cara yang bisa memikat para wisatawan dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri untuk datang kesebujit menyaksikan gawai Dayak Bidayuh ini. Dengan demikian para tamu yang datang tidak pulang dengan tangan kosong. Selain sofenir rumah Baluk, juga akan di siapkan barang-barang lainya. Bisa memperkenalkan budaya yang ada di sebujit ke pada dunia luar. Budaya ini jangan sampai punah di makan waktu, dan harus terus ada yang melestarikannya sampai kapanpun, Gunawan menyayangkan anak-anak muda sekarang ini, misalnya di kampung sebujit, sedikit sekali anak-anak muda yang peduli akan budayanya sendiri. Sikap cuek dan tidak mau berperan aktifmisalnya dalam kegiatan seperti ini yang hanya diadakan sekali dalam satu tahun. Dikhawatirkan dalam beberapa puluh tahun kedepan mungkin tidak ada lagi yang meneruskan budaya ini, tetapi ini jangan sampai terjadi, ungkap Gunawan saat di temui di rumahnya.

Ketua adat Suku Dayak Bidayuh, Kampung Sebujit, Bapak Amin berpesan kepada seluruh masyarakat Sebujit agar tetap mencintai, mempertahankan budaya kita ini, jangan sesekali kita melupakan budaya sendiri. Bahkan harus terus dikembangkan dan diperkenalkan kepada seluruh lapisan masyarakat di Kalbar, secara Nasional, bahkan Internasional yang belum mengenal budaya kita ini. Jangan sampai budaya yang sudah ada sejak dahulu kala ini merupakan warisan nenek moyang secara turun temurun ini di kalahkan bahkan di hapus oleh budaya yang baru sekarang ini yang datang dari luar. Kepada anak-anak muda Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, jangan hanya menjadi penonton di kampung sendiri ketika budaya kita di pamerkan kepada orang lain. Kita harus berperan aktif di dalamnya. Karena kalianlah para anak muda yang memengang kunci pertahanan dan perkembangan budaya ini, tegas Pak Amin. Begitulah pesan yang disampaikan Pak Amin selaku ketua adat Kampung Sebujit agar budaya itu tetap tumbuh dan berkembang sepanjang masa. **

Penulis,

Adelbertus

Penulis di Kalimantan Review

Pontianak, Kalimantan Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun