Sudah lama diketahui, bahwa ekploitas batubara itu membahayakan. Baik dalam skala daerah penghasil batubara itu mapun dilihat dari skala nasional.
Ya, memang saat ini batubara menjadi salah satu bahan bakar utama, untuk melahirkan listrik di Pulau Jawa. Pembangkit-pembangkit listrik berdaya jutaan megaton, yang tersebar di seluruh pulau Jawa dan Bali, kebanyakan memakai batubara sebagai makanannya.
Tetapi, faktanya, tidak semua batubara yang ditambang itu digunakan untuk membangkitkan listrik. Pengusaha lebih memilih pasar ekspor, yang konon lebih menggiurkan. Walaupun saat ini, negara negara yang menjadi sasaran ekspor mulai mengurangi ketergantugannya akan bahan bakar fosil ini.
Alih-alih meningkatkan ekspor, banyaknya tambang batubara, mulai dari skala raksasa, hingga tambang ecek-ecek. Mulai dari yang serba modern, semi modern, hingga yang 100% menggunakan manusia untuk proses produksinya, membuat harga batubara menjadi turun. Penyebabnya, Batubaranya banyak, tapi yang beli sedikit.
Bingung untuk mendeskripsikan Indonesia dalam komoditas batubara ini. Media banyak mengatakan bahwa Indonesia hanya memiliki 3 persen cadangan batubara dunia. Di lain pihak, Indonesia adalah negara ekportir terbesar nomor 1 di bidang batubara. Ironisnya lagi, sektor ini hanya menyumbang 4% dari produk domestic bruto di Indonesia.
Memang, sisi positif dari adanya tambang batubara ini adalah membuka lapangan kerja. Mulai dari proses eksplorasi, produksi, dan rehabilitasi, banyak perusahaan yang terlibat. Tentu juga banyak manusia yang terlibat di sini. Belum lagi, usaha usaha sampingan, seperti rumah makan, laundry, penginapan, minimarket, dll.
Tetapi, apabila lebih banyak ruginya dibanding untungnya, berkontribusi kecil bagi perekonomian nasional, berdampak negatif pada lingkugan,  maka Batubara itu untuk siapa?