Mohon tunggu...
Ade Juliasari Artaningsih
Ade Juliasari Artaningsih Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar - Universitas Pendidikan Ganesha

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembangunan Pesantren Jadi Tantangan Terhadap Budaya Lokal Bali? Sebuah Degradasi Sikap Multikulturalisme

15 Desember 2024   14:04 Diperbarui: 15 Desember 2024   14:21 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak keberagaman suku, agama, budaya, etnis, ras dan lainnya. Namun, keberagaman yang ada terkadang dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan kerap menjadi perselisihan jika dipandang sebagai suatu tantangan oleh masyarakat. Salah satu hal yang sering menjadi penyebab konflik adalah menganggap remeh budaya lain yang menyebabkan Indonesia sulit membiasakan diri dengan budaya baru yang terus berdatangan. Padahal, dalam konsep akulturasi budaya, terdapat pemahaman bahwa kita harus bisa menerima budaya baru yang terus berdatangan tanpa menghilangkan kebudayaan yang sudah ada.

Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keragaman budaya dan adat istiadat yang terkenal. Sebagai pulau dengan mayoritas penduduknya yang beragama Hindu, Bali sering dikenal dengan julukan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Salah satu contoh tantangan terhadap multikulturalisme di masyarakat adalah mengenai isu pembangunan pesantren di Bali. Dimana, hal ini dapat dipandang dari dua sisi, yakni satu sisi merupakan langkah positif untuk memperkuat multikulturalisme sebagai negara yang memiliki banyak keragaman, namun disisi lain hal ini dipandang dapat memberikan dampak terhadap budaya lokal.

Salah satu kekhawatiran Masyarakat Bali terkait hal ini adalah adanya anggapan bahwa pesantren dapat membawa perubahan terhadap nilai-nilai budaya lokal yang sudah ada secara turun temurun dan merupakan warisan leluhur di Bali. Dimana, Bali dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu khawatir dengan keberadaan pesantren yang dapat memengaruhi praktik keagamaan dan tradisi yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali. Keberadaan pesantren yang lazimnya bukan merupakan bagian dari agama Hindu memunculkan anggapan bahwa akan munculnya nilai-nilai yang tidak sejalan dengan kearifan lokal di Bali. Sebagaimana dalam sebagian kasus yang pernah terjadi, misalnya adanya ketegangan saat perayaan Nyepi yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, yang dimana terdapat perbedaan praktik agama yang seringkali menyebabkan kebingungan antara dua komunitas tersebut. Dimana agama Hindu harus menjalankan ritual Nyepi dan tetap menghormati umat Muslim yang menjalankan ibadahnya. Sehingga, tidak jarang terjadi insiden kecil saat pelaksanaan perayaan, contohnya saat perayaan Nyepi yang seharusnya tidak boleh beraktivitas dan tidak boleh menimbulkan kebisingan, namun terdapat segelintir orang yang keluar berkeliaran di jalan raya sehingga membuat keributan saat pelaksanaan hari raya Nyepi tersebut. Selain itu, semenjak terdapat kejadian Bom Bali, muncul stigma negatif oleh Masyarakat Bali terhadap pendatang terutama komunitas muslim. Masyarakat Bali mulai resisten terhadap adanya pendatang yang dapat menganggu ketentraman Masyarakat di Bali. Hal ini tentu saja dapat menciptakan ketegangan antara penduduk lokal dengan pendatang. Adanya pesantren di Bali memunculkan anggapan bahwa akan adanya sistem Pendidikan yang terfokus terhadap ajaran Islam tanpa menghargai atau memahami kebudayaan yang ada di Bali. Ketegangan-ketegangan ini menunjukkan bahwa meskipun Bali memiliki tradisi toleransi yang kuat, tantangan multikultural tetap ada dan perlu dikelola dengan bijak agar tidak mengganggu keharmonisan sosial yang telah terjalin.

Namun, disisi lain pembangunan pesantren di Bali dapat dianggap sebagai salah satu wujud multikulturalisme di Masyarakat, dimana masyarakat Hindu dapat belajar memahami kebudayaan yang berbeda. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu wujud toleransi dan saling menghormati antarumat beragama di negara multikultural. Adanya pesantren di Bali dapat berfungsi sebagai jembatan kerukunan antaragama, dimana Bali yang lazimnya merupakan daerah dengan mayoritas penduduk beragama Hindu harus mampu menjalin hubungan harmonis dengan umat beragama lainnya.

Masyarakat Hindu harus tetap mengindahkan dan menjaga kebudayaan-kebudayaan lokal yang sudah menjadi warisan turun-temurun di Bali agar tidak tergerusnya kebudayaan tersebut oleh budaya baru yang terus berdatangan.  Masyarakat Bali harus terus berupaya melestarikan tradisi dan budaya Bali dengan tetap menerima kebudayaan baru tanpa menghilangkan kebudayaan yang sudah ada. Masyarakat harus menyadari bahwa keberadaan pesantren tidak berarti mengorbankan identitas budaya mereka, tetapi sebagai salah satu wujud berjalannya multikulturalisme dengan baik di Indonesia. Hal ini mencerminkan nilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang memberikan pandangan bahwa walaupun terdapat perbedaan tetapi kerukunan dan keharmonisan mampu tercipta.

Untuk itu, diperlukan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan Masyarakat dalam menjaga persatuan di tengah banyaknya tantangan yang dapat menyebabkan gejolak multikulturalisme di Masyarakat. Perlu adanya dialog terbuka antarumat beragama agar dapat membangun kesadaran akan pentingnya toleransi dan penghargaan tehadap perbedaan yang ada. Pemerintah harus dapat memastikan bahwa pembangunan pesantren dan keberadaan pendatang di Bali tetap menghormati budaya lokal yang sudah ada secara turun temurun.

Sangat penting untuk menerapkan Pendidikan multikulturalisme di semua jenjang Pendidikan, hal ini membantu menciptakan kesadaran sejak dini akan pentingnya menghargai perbedaan, sikap toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan hidup rukun. Pendidikan multikultural menjadi kunci untuk mengurangi prasangka buruk dan membangun keharmonisan, sebagaimana konsep Tri Hita Karana sebagai pedoman Masyarakat Hindu untuk selalu menjalin hubungan yang harmonis antarsesama manusia, alam dan Tuhan yang Maha Esa sehingga mampu hidup rukun dan damai di dunia.

Pendidikan multikulturalisme mengajarkan bahwa perbedaan dan keberagaman adalah sebuah kekuatan bukan sebagai ancaman. Sangat penting adanya pemahaman mengenai nilai-nilai budaya yang berbeda agar Masyarakat dapat mengembangkan sikap inklusif akan perbedaan dimana mereka mampu menerima budaya baru tanpa menghilangkan identitas budaya lokal mereka. Dengan memberikan pemahaman yang baik tentang adanya berbagai praktik kebudayaan yang berbeda, maka Masyarakat dapat belajar untuk hidup berdampingan secara harmonis terlepas dari berbagai perbedaan yang ada di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun