KIP untuk Menekan Korupsi
Oleh Ade Jahran
Bangsa Indonesia yang memiliki sejarah buram dalam keterbukaan informasi publik (KIP), kini mulai memiliki kesadaran akan pentingnya KIP. Zaman orde baru telah membuat masyarakat memiliki sejarah kelam dalam persoalan KIP. Karena pada masa itu, informasi publik bisa diibaratkan sebagai informasi yang ‘sakral’ dan tidak boleh masyarakat luas tahu. Yang boleh tahu hanya kalangan birokrat dan kelompok tertentu saja. Semua elemen masyarakat dibelenggu oleh kekuasaan. Bahkan pers yang semestinya menjadi tumpuan masyarakat, juga tak banyak berperan. Pers yang memberitakan kinerja pemerintah yang kurang baik atau mengkritisi pemerintah langsung dibredel.
Artinya apa? Jangankan masyarakat biasa yang ingin mengetahui informasi publik, pers saja yang dinilai sebagai wahana sosial dan berkomunikasi masyarakat, tak bisa berbuat banyak menghadapi rezim orde baru. Dengan kondisi ini, masyarakat tak banyak tahu apa yang terjadi sebenarnya, terutama dengan informasi publik. Pers hanya boleh memberitakan hal-hal yang menyanjung atau kegiatan pembangunan pemerintah, itu pun setelah dilakukan penyensoran oleh pemerintah atau Departemen Penerangan. Pers pada masa itu tak ubahnya seperti corongnya pemerintah alias humas.
Berlahan tapi pasti, gejolak di masyarakat terus berlanjut yang menuntut rezim orde baru dan kesewenang-wenangan dihentikan. Puncaknya pada 1997 dan 1998, seluruh elemen masyarakat turun ke jalan menuntut agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Dengan lengsernya Soeharta maka berakhir rezim otoriter masa itu. Sedikit demi sedikit, kebebasan informasi mulai terbuka. Dengan dibukanya keran kebebasan, bermunculan berbagai media mengiringi reformasi. Ribuan media menjamur di mana-mana. Tak terbendung, meski ada media yang kebablasan.
Media semakin bebas setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU Pers disebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin. Pada Pasal 28F UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segaala jenis saluran yang tersedia.
Bila pada UU Pers hanya jurnalis saja yang bisa mencari, mengolah dan menyebarkan informasi, berbeda ketika Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan pemerintah. Karena UU KIP memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia (siapa saja). Paling tidak, dengan adanya UU KIP, masyarakat bisa mengetahui kegiatan atau pembangunan yang dilakukan pemerintahan, juga masyarakat bisa turut serta dalam pembangunan. Jadi bukan hanya jurnalis saja, tetapi semua warga negara berhak tahu atas semua informasi publik.
Adapun tujuan dalam UU KIP disebutkan bahwa menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Kemudian mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu yang transparan, efektif, efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Keberadaan UU KIP jelas berpengaruh terhadap paradigma pegawai pemerintah. Sebenarnya banyak cara dilakukan pemerintah dalam melakukan pembenahan terhadap SDM maupun kinerja pegawai pemerintahan. Salah satunya dengan absensi pegawai menggunakan sidik jari (finger print). Tujuannya bagaimana pegawai disiplin atau tepat waktu dalam bekerja, sehingga diharapkan mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat.
Paradigma pegawai harus diubah. Dulu mungkin pegawai pemerintahan sebagai orang yang harus dilayani, tetapi sekarang pegawai harus menjadi pelayan masyarakat, karena uang untuk menggaji pegawai berasal dari uang rakyat, baik dari pajak, retribusi, perizinan dan lain-lain. Lebih dari itu, pemerintah harus lebih transparan dan terbuka terhadap berbagai kegiatan, baik yang telah dilakukan, sedang dilakukan, maupun akan dilakukan. Selain sebagai tolak ukur pemerintahan yang bersih, keterbukaan informasi publik juga sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
KIP DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Banten sebagai provinsi yang baru 14 tahun berdiri, namanya terus melambung di tingkat nasional, bahkan dunia internasional. Bukan hanya prestasi yang telah diraih, tetapi dengan banyaknya kasus korupsi yang melanda, membuat Banten semakin terkenal. Kebanyakan orang yang mengenal Banten sebagai daerah yang religius dan ramah, tiba-tiba tersentak dan seolah tak percaya dengan ‘prestasi’ baru yang disandang Banten sebagai provinsi yang penuh dengan kasus korupsi. Semua orang tak membantah, bila kasus korupsi di Banten cukup booming. Lihat saja, gubernur perempuan pertama di Indonesia harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan dibumbui dalam pemberitaan di media, nama Banten pun semakin melambung dan sejajar dengan provinsi lain dalam kasus korupsi.
Bukan pucuk pimpinan Banten saja yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum, namun pejabat di bawahnya, seperti kepala SKPD, kepala bidang, kepala seksi, atau orang yang dekat denga kekuasaan, juga tak lepas dari bidikan aparat. Banyak yang dipenjara dan divonis bersalah gara-gara melakukan tindak pidana korupsi. Jelas perbuatan korupsi ini tak sejalan dengan komitmen pemerintah yang sedang semangat memberantas korupsi di Indonesia ini. Lihat saja jumlah kasus korupsi di Indonesia jumlahnya cukup banyak.
ICW juga menyebutkan bahwa Provinsi Banten merupakan provinsi yang paling besar terjadi korupsi bidang pendidikan dan merugikan negara Rp209 miliar. Sementara di posisi kedua Jawa Tengah Rp70,2 miliar, menyusul Sulawesi Selatan Rp59,9 miliar, Sumatera Selatan Rp55,5 miliar, DKI Jakarta Rp45,9 miliar, Nangroeh Aceh Darusalam Rp29,8 miliar. Sedangkan Jawa Timur Rp23,1 miliar, Jawa Barat 22,7 miliar, selanjutnya Sumatera Utara Rp23,1 miliar dan Lampung Rp13,8 miliar. Kendati tingkat kerugian negara terbesar di Provinsi Banten, namun tingkatan kasus temuan terbesar berada di Jawa Barat. (REPUBLIKA.CO.ID, 8 Oktober 2014).
Fakta ini terbalik dengan rakyat yang semakin sulit dalam mencari makan. Ini terlihat dengan jumlah warga miskin di Banten. Berdasarkan data dari BPS Banten disebutkan, angka kemiskinan di Banten tahun 2010 sebanyak 7,46 persen, tahun 2011 sebanyak 6,26 persen dan tahun 2012 sebanyak 5,71 persen. Kemudian tingkat partisipasi angkatan kerja tahun 2012 sebanyak 65,03 persen, tahun 2013 sebanyak 63,53 persen, dan tahun 2014 triwulan I sebanyak 66,47 persen. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka tahun 2012 sebanyak 10,13 persen, tahun 2013 sebanyak 9,90 persen, dan tahun 2014 triwulan I sebanyak 9,87 persen.
Dengan banyaknya korupsi maka rakyat jadi sengsara. Sehingga tak heran jika korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Karenan ini kejahatan luasr biasa maka penanganannya pun juga harus ekstra, bukanya hanya oleh satu instansi saja tetapi harus semua aparat penegak hukum bahu-membahu dan bekerja keras untuk bersama memberantas korupsi. Saru lagi, bukan hanya oleh aparat penegak hukum saja, tetapi penanganan korupsi bisa diminimalisir dilakukan oleh pegawai pemerintah, organisasi non pemerintah, semua elemen masyarakat, termasuk Komisi Informasi.
Mengaca dari berbagai kasus itu, sudah sepantasnya negara terus melakukan pembenahan dan merumuskan berbagai cara untuk memberantas tindak pidana korupsi. Termasuk di Banten ini. Memang semua elemen masyarakat harus turut serta dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga bisa bersama-sama mengawal jalannya roda pemerintahan. Salah satu elemen dinilai memili peran penting dalam memberantas korupsi adalah Komisi Informasi (KI).
Bila informasi publik itu mulai dibuka sejak peencanaan atau usulan hingga pelaksanaan maka celah korupsi bisa ditutup, karena semua orang bisa mengawasinya. Namun bila masyarakat juga acuh tak acuh terhadap informasi publik maka transparansi itu akan sia-sia. Artinya keterbukaan informasi akan berhasil dengan baik bila badan publik dan masyarakat sudah menyadari akan pentingnya informasi publik dalam rangka menciptakan pemerintahan yang trasparan dan bebas dari korupsi.
Penulis yakin bahwa semua elemen masyarakat mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, LSM, mahasiswa, pers, guru, dosen, dan lain-lain sependapat bila korupsi harus terus diperangi.
Harapan ke depan adalah keberadaan Komisi Informasi mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk mendapat haknya sebagai warga negara dalam hal keterbukaan informasi publik (KIP). Besar harapan bahwa dengan KIP bisa menekan angka tindak pidana korupsi, karena bila semua masyarakat berperan aktif dalam pengambilan kebijakan maka tindak pidana korupsi bisa dicegah sedini mungkin. Karena korupsi dilakukan bukan hanya ada celah dan keinginan, tetapi kurangnya pengawasan dari masyarakat sehingga bisa menyebabkan tindak pidana korupsi dilakukan pegawai dan pihak ketiga.
Semua sepakat bila semua aturan yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Tinggal bagaimana mengimplementasikan aturan tersebut, apakah sesuai harapan atau tidak. Meski aturan sudah bagus namun mental pegawai dan elemen masyarakat masih bobrok maka aturan itu tak bisa dijalankan dengan baik. Jadi aturan yang baik juga harus didukung oleh SDM yang baik pula, sehingga semua masyarakat memiliki integritas yang tinggi untuk menjadikan Provinsi Banten bebas dari korupsi.
Bila ingin menjadikan pemerintahan baik dan bersih maka semua elemen masyarakat harus bersama-sama, menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Kesadaran ini yang harus dimiliki oleh semua elemen. Integritas yang tinggi tentunya menjadi salah satu upaya mendorong pemberantasan tindak pidana korupsi.
*Penulis adalah Penulis adalah pengajar di UNMA BANTEN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H