Surabaya - Sebentar lagi Indonesia akan kedatangan tamu spesial dari negera Arab Saudi. Raja Salman akan berkunjung ke Indonesia. Kunjungan ini pertama kalinya setelah 46 tahun Raja Arab Saudi tidak berkunjung ke Indonesia. Fasilitas VVIP juga menjadi syarat penting kehadiran Raja Salman. Pemberitaanya pun meledak di semua media baik itu televisi dan media online.
Namun saya merasa ada yang ganjil dengan gencarnya pemberitaan media mengenai kunjungan Raja Salman. Kunjungan Raja Salman ini bersamaan dengan memanasnya hubungan pemerintah Indonesia dengan Freeport. Memanasnya hubungan ini setelah perusahaan tambang yang lama mengeruk sumber daya negara ini mengancam menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional, karena merasa hak-haknya dalam kontrak karya telah dilanggar.
Akar dari permasalahan ini adalah ketika pemerintah Indonesia menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Dalam IUPK ada kewajiban divestasi saham bagi PT Freeport sebesar 51%. Hal ini berbeda dengan Kontrak Karya yang mewajibkan divestasi hanya 30%. Jika IUPK diterima oleh Freeport maka pemerintah akan memiliki 51% saham Freeport dan bisa menjadi pintu masuk untuk kemakmuran masyarakat papua. Karena selama ini papua selalu terpinggirkan ditengah potensi alamnya yang luar biasa.
Namun hal ini bukanlah perkara mudah, pasalnya Freeport menolak dan tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab IUPK dianggap tidak memberikan stabilitas, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku, tak seperti KK yang pajaknya tidak akan berubah hingga masa kontrak berakhir. Terlebih lagi swasta akan kehilangan kendali atas Freeport ketika divestasi saham sebesar 51% oleh pemerintah Indonesia.
Sedikit melihat kebelakang, dari mulai presiden Soeharto sampai presiden Jokowi, hanya pemerintahan Jokowi yang berani melawan penjajah berkedok Freeport. Keberanian Jokowi untuk mendivestasi 51% saham Freeport patut diacungi jempol. Pasalnya ketika saham 51% Freeport berhasil dikuasai pemerintah. Amerika Serikat tak lagi punya kendali, tentunya hal ini akan mempengaruhi pendapatan negeri paman sam tersebut. Bak sebuah perang, pemerintah saat ini sudah siap untuk berperang. Konsolidasi militer sudah disiapkan jauh-jauh hari oleh Jokowi. Tak hanya militer, konsolidasi politik dan sosial semakin diperkuat oleh pemerintah dalam upayanya untuk menjaga kedaulatan negeri ini. Inilah bentuk kekuatan internal pemerintahan Jokowi.
Namun kekuatan internal belum cukup untuk melawan negeri adidaya sekelas Amerika Serikat. Maka taktik politik internasional Jokowi adalah mencari dukungan negeri China. Akan tetapi masyarakat tak paham bahwa kedekatan Jokowi dengan China adalah upaya menyelamatkan negeri ini. Mereka justru memunculkan isu PKI dan isu Tionghoa yang justru memecah belah bangsa ini. Seharusnya masyarakat mendukung langkah pemerintah dalam melepaskan diri dari belenggu penjajah Amerika Serikat sepanjang China tak mengancam kedaulatan Indonesia.
Dengan demikian, hal ini sudah seharusnya menjadi perhatian serius semua elemen masyarakat Indonesia. Pemerintah kita sedang berjuang melawan penjajah yang sudah lama menguasai pertambangan Papua. Apa yang dilakukan pemerintah saat ini merupakan perwujudan dari pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Hal demikian seharusnya menjadi perhatian khusus masyarakat agar tidak terbawa isu media massa dengan mengurusi kedatangan tamu yang saya rasa bisa di nomor sekiankan.
25 Februari 2017 ditulis dibawah pohon rindang oleh Ade Ivan Al Haroma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H